Ke-NU-an adalah segala sesuatu
yang ada kaitannya dengan NU. Materi ke-NU-an dimaksudkan sebagai suatu materi
yang membahas tentang masalah yang ada hubungannya dengan Nahdlatul
Ulama’. Baik mengenai pengertiannya, dasar dan tujuannya, sejarah perjuangannya
maupun struktur organisasi.
NU adalah kepanjangan dari
Nahdlatul Ulama yang secara harfiah artinya Kebangkitan Ulama. Pada hakekatnya
Nahdlatul Ulama adalah organisasi umat Islam Indonesia yang berhaluan
Ahlussunnah Wal Jama’ah.
Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah
golongan yang tetap teguh setia mengikuti dan memegang teguh segala apa yang
datang dari Nabi Muhammad Saw baik berupa sabda, tindakan maupun ketetapan
nabi, dan memegang teguh kepada segala yang datang dari sahabat-sahabatnya.
Ahlussunnah Wal Jama’ah landasan dasar/hukum berpedoman kepada Kitabullah AL-qur’an, Sunnah Nabi ( Hadis ), Ijma’ dan Qiyas.
Dalam masalah aqidah, Ahlussunnah
Wal Jama’ah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al
Maturidi, dibidang Fiqh mengikuti salah satu Madzhab empat yaitu : Imam
Hanafi,Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, sedang dibidang tasawuf
mengikuti Imam Abul Qosim Al Junaidi dan Imam Ghozali.
Secara formal NU lahir pada
Tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan Tanggal 31 Januari 1926 M di
Surabaya. Namun pada hakekatnya ajaran yang dianut dan diperjuangkan oleh
NU ini telah bersamaan dengan masuknya agama Islam di Indonesia.
Jika KH. Hasyim Asy’ari dikatakan
sebagai pendiri NU, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah sebagai orang yang
mewujudkan gerakan tersebut menjadi suatu organisasi. Sepulang dari belajar di
Makkah, KH. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathon (1916) di
Surabaya. Organisasi ini bergerak pada bidang kepemudaan dan pada tahun
1924 di Surabaya sedang bergejolak perjuangan politik melawan Belanda,
disamping iti disana sini sedang membaranya masalah khilafiyah dikalangan umat.
KH. Abdul Wahab Hasbullah sering terlibat dalam perdebatan sengit dengan ulama
islam yang terkenal pada waktu itu untuk mencapai titik penyelesaiannya.
Sehubungan dengan pergolakan di
Arab Saudi, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah membentuk komite Hijaz yang
merupakan delegasi untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud guna membicarakan masalah
tersebut. Komite Hijaz inilah yang mengilhami berdirinya NU karena pertemuan
yang diadakan pada tanggal 16 Rajab 1344 itu memutuskan dua macam
keputusan :
1. Mengirim utusan ulama Indonesia ke Kongres dunia
islam dengan memperjuangkan hukum ibadah berdasarkan madzhab empat.
2. Membentuk organisasi (Jam’iyyah) yang akan
mengirimkan utusan tersebut atas usul KH. AlwiAbdul Azis yang diberi nama
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Adapun nama ulama yang hadir pada waktu itu antara
lain :
Ć¼
KH. Hasyim Asy’ari
Ć¼
KH. Bisyri Samsyuri
Ć¼
KH. Ridlwan
Ć¼
KH. Abdul Wahab Hasbullah
Ć¼
KH. Nahrowi
Ć¼
KH. Raden Asnawi
Ć¼
KH. Raden Hambali
Ć¼
KH. Nawawi
Ć¼
KH. Kholil
Pada masa penjajahan Belanda sikap NU adalah
tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci terhadap
penjajah, maka para Ulama mengharamkan sesuatu yang berbau Belanda
(Contoh : Pakai Celana, Dasi dll). Meskipun pada zaman Belanda tidak merupakan
partai politik akan tetapi lapangan usahanya yang tidak hanya di bidang sosial
keagamaan saja, namun international. Dalam melaksanakan dan mencerdaskan bangsa,
sejak berdirinya NU telah mendirikan Pondok Pesantren, Madrasah yang tersebar
luas diseluruh cabang-cabang di Indonesia.
Dalam melaksanakan usahyanya, NU selalu menempuh
cara-cara ayang lazim dalam ajaran Islam yaitu : Musyawarah, Demokrasi. Setiap usaha untuk mempersatukan umat Islam, NU
aktif mempelopori acara tersebut dengan segala upaya untuk terwujudnya ukhuwah
Islamiyah. Pada zaman penjajahan Jepang karena gigihnya
melawan penjajah, NU termasuk organisasi yang dibubarkan oleh
facisme Jepang. Menjelang masa Kemerdekaan, NU ikut aktif dalam
BPUPKI, bahkan KH.Wahid Hasyim ikut aktif dalam mempelopori sebagai panitia
perumus UUD1945 dan Pancasila.
Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda masih
tetap aktif ingin menjajah kembali bangsa Indonesia, waktu itu Belanda
mendaratkan tentaranya di Surabaya dengan berkedok sekutu maka NU tampil
kedepan dengan pandangan Resolusi Jihadnya pada tanggal 22 Oktober 1945 yang
menyatakan Fardlu ‘ain hukumnya jihad melawan kafir Belanda, sehingga mampu
menggerakkan arek-arek Surabaya itu pada tanggal 10 Nopember 1945 melawan
Belanda.
Sejak terbentuknya kabinat Syahrir Ketia ( 1946
) sampai dengan kabinet Pembangunan Pertama 1973, NU selalu diberi kepercayaan
jabatan sebagai Menteri – menteri. Ketika terjadiaffair Madiun (PKI) 1948, dengan
laskar Hizbullah dan dibawah pimpinan Zaenul Arifin dan Sabilillah dipimpin KH.
Masykur turut aktif menumpas PKI. Sejak tahun 1952 NU menjelma sebagai partai
politik dan peranan NU semakin nyata dalam segala aktifitasnya yang bersifat
politis kenegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Pada waktu terjadi G.30 S PKI, NU tampil sebagai
pelopor yang pertama untuk menuntut pada pemerintah/presiden agar PKI dan
Banomnya dibubarkan (oktober1965)
Didalam menumpas PKI dan penumbangan ORLA,
manunggalnya ABRI bersama rakyat NU sangat menentukan. Pada waktu itu H. Subhan
ZE menjadi ketua aksi penggayangan gestapu. GP.Ansor/Banser tampil terdepan
dalam penggayangan tersebut. Pelajar dan mahasiswa NU turut ambil bagian
terdepan dalam melaksanakan aksi penumbangan Orla dan Menegakkan Orba. Setelah adanya penyederhanaan partai 1975 dimana
partai-partai Islam berfusi ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan maka NU
menyatakan menjadi Jam’iyyah sebagai kelahirannya 1926. Didalam masa pembangunan ini, partisipasi NU
dalam negara dan bangsa digarap melalui bidang-bidang pokok :
o
Bidang da’wah dan penyiaran agama.
o
Bidang ekonomi dan pembangunan.
o
Bidang sosial dan kesejahteraan ( Mabarot )
ASAS / AQIDAH, TUJUAN
DAN LAMBANG NU
Aqidah
:
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah
Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam menurut Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan
Hambali.
Asas
:
Dalam Kehidupan Berbangsa Dan
Bernegara, Nahdlatul Ulama Berpedoman Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa,
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin
Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan Dan Keadilan Sosial
Bagi Seluruh Indonesia.
Tujuan
:
Berlakuanya ajaran Islam
yangberhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab 4
ditengah-tengah kehidupan masyarakat didalam wadah Negara Republik Indonesia
yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Lambang :
NU mempunyai lambang berupa
gambar bola diikat dengan tali, dilingkari oleh lima bintas diatas garis
khatulistiwa, sehingga seluruhnya berjumlah sembilan bintang, serta terdapat
tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab yang melintang bola dunia dan
menelusuri garis khatulistiwa. Lambang tersebut diciptakan oleh KH. RIDLWAN
ABDULLAH, dilukis dengan warna putih diatas warna hijau.
STRUKTUR ORGANISASI
1.
Kepengurusan NU terdiri dari Musytasyar,
Suriyah, Tanfidliyah.
2.
Mustasyar adalah pembina, pembimbing, penasehat
kegiatan NU.
3. Syuriah merupakan berfungsi sebagai pengelola,
pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan Jam’iyyah yang berlaku.
4.
Tanfidliyah merupakan pelaksana sehari-hari
kegiatan NU.
5.
Mustasyar dibentuk hanya untuk tingkatan
pengurus Besar, Wilayah dan Cabang.
6. Hak dan kewajiban syuriah dan Tanfidliyah diatur
dalam Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga.
PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN ULAMA
DALAM NU
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah
merupakan kumpulan para ulama yang bangkit dan membangkitkan
pengikut-pengikutnya untuk dapat mengamalkan syariat Islam Ahlusunnah Wal
jama’ah.
Kedudukan Ulama didalam NU
menempati posisi sentral yaitu :
1 Ulama
sebagai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
2 Ulama
sebagai Pengelola Nahdlatul Ulama.
3 Ulama
sebagai Pengendali Kebijakan – kebijakan Nahdlatul Ulama.
Ulama
sebagai panutan dan contoh tauladan bagi seluruh warga Nahdlatul Ulama
dan kaum Muslimin khususnya.
Itulah sebabnya, maka antara NU
dan Ulama tidak dapat dipisah-pisahkan, artinya saling membesarkan, saling
mengambil dan memberi manfaat. Nahdlatul Ulama tanpa Ulama akan gersang tidak
ada artinya sama sekali, dan Ulama yang keluar dari Nahdlatul Ulama
berkurang bahkan hilang kemanfaatannya bagi masyarakat Islam Ahlussunnah Wal
Jama’ah.
Dengan demikian posisi Ulama dan
peranannya didalam Nahdlatul Ulama sangat penting, oleh karenanya secara organisatoris
Ulama didalam NU disediakan lembaga khusus yang dinamakan “Lembaga Syuriah”.
Lembaga ini berfungsi sebagai
pengelola, pengendali, Pengawas dan penentu semua kebijaksanaan dalam Nahdlatul
Ulama, sehingga dapatlah dikatakan dan memang demikian kenyataannya, bahwa
Ulama dan Nahdlatul Ulama merupakan tiang penyangga utama atau soko guru.
Ulama dan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan, karena Jam’iyyah NU merupakan wadah untuk mempersatukan diri. Disamping itu NU juga merupakan wadah untuk menyatukan langkah. Dalam rangka usaha melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal jama’ah.
Merupakan kenyataan sejarah yang
tidak bisa dibantah, bahwa keberadaan Ulama dan Nahdlatul Ulama tidak
dapat dipisahkan dengan perkembangan umat Islam dan Nahdlatul Ulama tidak dapat
dipisahkan dengan perkembangan umat Islam di Indonesia, semenjak masuknya
sampai sekarang.
A. Peran Nahdlatul Ulama Pada
Masa Penjajahan Belanda
Nahdlatul Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa
dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari
nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada
Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu
ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang
menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari
peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi
Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam
dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.
Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara
aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul
Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun
1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI
tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam
perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab baik dilihat dari sudut
historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah
lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.
MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap
aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi
kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik
mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun
tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia
berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan
politik non cooperation (tidak mau kerja sama) dengan Belanda. Untuk menanamkan
rasa benci kepada penjajah, para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau
Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajah.Hal ini
terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad
(DPR masa Belanda).
Di samping itu para ulama Nahdlatul Ulama juga memberikan fatwa kepada umat
Islam untuk tidak meniru pakaian model Belanda, seperti celana panjang atau
pakaian berdasi, dengan sebuah landasan (qaul) yang Artinya : Barang siapa
menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.
Fatwa para ulama tersebut sangat
ditaati oleh para santri, sehingga mereka lebih suka memakai sarung daripada
celana panjang, meskipun sebenarnya tidak ada larangan dalam Islam untuk
memakai celana panjang.
Di saat Belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil
mengultimatum agar Indonesia menyerah, Nahdlatul Ulama mengeluarkan
mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Resolusi Jihad pada tanggal 22
Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Adapun isi
Resolusi Jihad tersebut adalah :
Kemerdekaan
RI yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
Republik
Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
Umat
Islam Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata
melawan penjajah Belanda dan kawan-kawannya yang hendak menjajah
Indonesia kembali.
Kewajiban
itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban umat Islam yang berada pada
radius 94 km (jarak diperbolehkannya menjama’ shalat). Adapun yang berada di
luar radius itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam
radius km tersebut.
Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa
Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan
massal, yang di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama ikut terlibat
aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal
dengan Hari Pahlawan.
Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut, terbentuklah
organisasi-organisasi perlawanan terhadap Belanda, antara lain Hizbullah di
bawah pimpinan KH. Zainul Arifin dan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masjkur.
B. Peran Nahdlatul Ulama Pada
Masa Pendudukan Jepang
Sejarah bangsa Indonesia mencatat perkembangan baru setelah Maret 1942 Jepang
menggantikan kedudukan Belanda. Pada mulanya kedatangan Jepang disambut dengan
baik oleh bangsa Indonesia, tetapi berubah menjadi kebencian setelah diketahui
bahwa Jepang tidak lebih baik dari Belanda.
Rezim baru ini segera tampak lebih represif (menekan). Jendral Imamura
(Panglima Jepang pertama di Jawa) mengeluarkan dekrit yang membekukan aktivitas
organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan. Larangan ini sama
artinya dengan membunuh aktivitas organisasi politik dan organisasi sosial
kemasyarakatan, termasuk Nahdlatul Ulama dan MIAI. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Mahfudz Shiddiq ditahan oleh Jepang.
Ketika aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan dibekukan, perjuangan ulama
Nahdlatul Ulama difokuskan melalui jalur diplomasi. KH. Abdul Wahid Hasyim dan
beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In (parlemen buatan
Jepang). Melalui parlemen ini KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang mengizinkan
Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali dan pada bulan September 1943 permintaan
tersebut dikabulkan.
Pada akhir Oktober 1943 perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui
berdirinya wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama Majelis
Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai
pemimpin tertinggi dan KH. Abdul Wahid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi
adalah kelanjutan dari MIAI yang dibubarkan Jepang.
Melalui Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang melatih kemiliteran para
santri di pesantren secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944 permintaan
itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah. Permintaan ini
merupakan akal cerdik KH. Abdul Wahid Hasyim, sebab pada akhirnya nanti, justru
akan mengadili Jepang dengan pucuk senjata.
Sementara di bidang politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim
juga duduk sebagai pimpinan tertinggi Shumubu (Kantor Urusan Agama)
menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Shumubu pada awalnya dipimpin oleh Kolonel
Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam,
terutama terhadap pendidikan Islam.
Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada
perintah untuk melakukan seikere(ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan
posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam ruku’ dalam shalat).
Perintah ini diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, setiap
pagi sebelum melakukan aktivitas. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada seluruh
umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena
hukumnya haram.
Semasa pendudukan Jepang aktivitas Nahdlatul Ulama terpusat pada perjuangan
membela tanah air baik secara fisik maupun politik. Nahdlatul Ulama sudah tidak
lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan dan keagamaan saja,
melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik.
C. Peran Nahdlatul Ulama Dalam
Membentuk Dasar Negara
Bahwa
perjuangan umat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan
kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama. Begitu
pula ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya.
Umat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam mempersiapkan lahirnya
Negara Indonesia merdeka, yaitu melalui para pemimpinnya, umat Islam ikut
menentukan wujud, asas dan hukum negara yang akan lahir itu.
Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29
April 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik
Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) yang anggotanya berjumlah
62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya juga di
dalamnya KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai anggota.
Selanjutnya KH.
Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan
dasar negara bersama tokoh lain, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad
Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis
dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut Panitia Sembilan. Mereka membubuhkan
tanda tangannya pada Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.
Piagam Jakarta sendiri merupakan kesepakatan awal antara golongan Islam dengan
golongan nasionalis dalam hal perumusan Undang-Undang Dasar. Kesepakatan itu
termaktub dalam suatu naskah yang akan dijadikan sebagai preambul atau
pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa
Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.
Bagi Nahdlatul Ulama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan
Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan dan akan
terus dipertahankan kelestariannya, telah menjadi salah satu bukti bahwa
Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.
D. Peran Nahdlatul Ulama
Dalam Bidang Keagamaan Dan Ekonomi
1.
Bidang Keagamaan
Sejak berdiri Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan
Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk
meningkatkan mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan
kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga
terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil
‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah SWT :
ŁŁ
Ų§
Ų£Ų±Ų³ŁŁŲ§Ł Ų„ŁŲ§ Ų±ŲŁ
Ų© ŁŁŲ¹Ų§ŁŁ
ŁŁ
Artinya : Tidaklah Kami
mengutusmu (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam.
(QS. Ali Imran 107)
Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan
dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip
persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan
antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai
keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan
kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.
Sebagai organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan
yang dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain :
Didirikan
karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau lainnya.
Berasas
keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik perjuangannya
selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama.
Bercita-cita
keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin(kejayaan Islam dan kaum muslimin)
menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam).
Menitikberatkan
kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan,
seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan sebagainya.
Ciri
keagamaan tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok,
dengan mengutamakan :
Pembinaan
pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya menuju
terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).
Dorongan
dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan mampu melakukan
kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar meluhurkan
kalimah Allah SWT.
Mengorganisasikan
kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata kerja dan tata
tertib berdasar musyawarah.
2.
Bidang Ekonomi
Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat
untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama,
berekonomi adalah perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan
dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara
kelangsungan hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat
sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara.
Berekonomi dalam Islam adalah sekedar memenuhi
kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan
pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang paling minim bagi diri
dan keluarganya saja.
Islam mendorong secara tegas supaya para pemeluknya
memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga mampu
melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat berarti memiliki harta benda
sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari kewajiban itu setelah ternyata
tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan, bahkan mengajarkan
pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban membayar zakat.
Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam
program kerjanya yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam
berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan
oleh agama.
Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d
ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan
ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati
hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi
kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah
yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.
Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak
lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu :
Mendorong
para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi meningkatkan
kemampuan ekonominya.
Membimbing
para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan mengikuti hukum dan
ajaran Islam.
Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul
Ulama dapat mewujudkannya dengan cara :
Membentuk
koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.
Menciptakan
jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan pedesaan,
perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.
Nahdlatul
Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang penentuan skala
prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.
Nahdlatul Ulama
juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren, karena terbukti
sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan memungkinkan
lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-gagasan
pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh
masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu
Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program
ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.
B. Peran Nahdlatul
Ulama Dalam Bidang Pendidikan
Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak,
melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung
jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga.
Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan
berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi.
Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan
manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua,
untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang
pembangunan bangsa.
Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul
Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan
Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi
penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan
oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul
Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan
mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur.
Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama
memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan
terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul
Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.
Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang
khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu
bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula
masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental,
percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa
penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan
bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.
Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September
1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang
membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan
dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik.
Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan
Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan
demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan
misi yang dimaksud adalah :
1. Visi
o
Terciptanya manusia unggul yang mampu
berkompetisi dan sains dan teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
o
Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap,
terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang
berakhlak karimah.
o
Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang
mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2. Misi
o
Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas
unggul dan menjadi idola masyarakat.
o
Menjadikan lembaga pendidikan yang independen
dan sebagai perekat komponen bangsa.
Selain sekolah
atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren.
Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan
besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan
tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah.
Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren
memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri,
mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren
tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi
kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.
Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal
sebagai berikut :
o
Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
o
Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan
kajian.
o Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi
(pola terpimpin, pola mandiri dan ekspresi).
o
Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan
tingkatan pesantren.
Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam
pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi
yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang
lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti
keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.
C. Peran Nahdlatul Ulama
Pada Masa Reformasi
Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru
merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri.
Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh
penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi,
terutama dalam hal aktivitas politiknya.
Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran
pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas
Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang
mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar
Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses
reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal dengan Refleksi
Reformasi.
Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
a. Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral
untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
b. Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus
ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan)
dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih
demokratis, jujur dan berkeadilan.
c. Reformasi jangan sampai berhenti di tengah
jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara.
d. Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan
hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen
bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
e.
Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus
disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
f.
TNI harus berdiri di atas semua golongan.
g. Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius
dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu
h. Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus
segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.
Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya
menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan
jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998
yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj,
M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.
Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting
dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional
yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10
Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH.
Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan
Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH.
Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu
belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.
Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang
sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan
sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi
delapan tuntutan reformasi, yaitu :
a. Menghimbau kepada semua pihak agar tetap
menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
b. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan
memberdayakan lembaga perwakilan sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
c. Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat
sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
d.
Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam
perspektif kepentingan yang akan datang.
e.
Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana
independent.
f. Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap,
paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
g.
Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali
dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
h.
Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM
Swakarsa.
Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak
segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah
Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar
bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda.
Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di
Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan
penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan
mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.
D. Peran Nahdlatul Ulama
Dalam Bidang Politik
Menurut
KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman
Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik
kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik,
terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena
Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu
memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an,
kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh
nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.
Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik
kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah
perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa
untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda
Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara
structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut kepentingan
rakyat kecil.
Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan
atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis
politik yang paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam
catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan
dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu
persiapan yang relative sangat pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar
dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang
sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada tahun 1971,
dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah Golongan Karya.
Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia politik
praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting Nahdlatul Ulama
lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah yang
menjadi terbengkalai.
Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para
anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan demi
mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama
memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :
a. Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga
Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju
integrasi bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
c. Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai
kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung
jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
d. Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika
dan budaya sesuai dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila.
e. Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran
nurani dan moral agama.
f. Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh
consensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah
sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
g. Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh
dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
h. Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam
suasana persaudaraan dan saling menghargai.
i. Berpolitik menuntut adanya komunikasi
kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.
Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid,
Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu
berpegang pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa
dan negara serta agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama,
baik secara jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga,
orang-orang Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi
Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politik praktis.
Selanjutnya dalam merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul
Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai
tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin
berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada
gilirannya menjadi negarawan.
Pada sisi lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk
memasuki partai politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai
politisi sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika
berpolitik nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah
dan tidak kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul
Ulama.
Di antara ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah
keberadaan Al-Qur'an yang diyakini sebagai kitab Allah SWT yang diwahyukan
kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk dan pembimbing manusia. Ahlussunnah
Wal Jama'ah juga mengajarkan bahwa Nabi Muhammad SAWadalah manusia biasa yang
sempurna, sehingga ia mampu berperan sebagai teladan sekaligus panutan yang
baik.
Doktrin di atas di internal kaum nahdliyin melahirkan pemikiran dan tradisi
pemuliaan sekaligus panutan yang baik. Di bawah ini dijelaskan sebagian
amalan-amalan tersebut.
A. Dasar Dan Hakekat Do’a
Qunut
Qunut adalah do’a yang dibaca pada saat
tertentu dan karena keadaan tertentu. Qunut dibagi dua macam, yaitu qunut witir
atau qunut subuh dan qunut nazilah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa qunut sunnah
dibaca dalam shalat subuh berdasarkan hadits dari Anas bin Malik yang
menyatakan : Rasulullah SAW senantiasa membaca qunut
pada shalat subuh hingga beliau wafat. (HR. Ahmad bin Hambal). Apa yang
dilakukan Rasulullah SAW itu kemudian diikuti oleh para sahabat, seperti Umar
bin Khattab ra.
Qunut dalam shalat subuh adalah sunnah muakkad, andaikata ditinggalkan, baik
sengaja atau karena lupa, tidak batal shalatnya, akan tetapi melakukan sujud
sahwi. Qunut dalam shalat subuh dilakukan setelah mengangkat kepala dari ruku’
dalam rakaat kedua. Do’a qunut juga dilakukan pada separuh akhir bulan Ramadlan
dalam rakaat terakhir dari shalat witir.
Sedangkan qunut nazilah adalah qunut yang dibaca kaum muslimin dalam shalat
fardlu ketika umat Islam menghadapi bahaya, wabah penyakit, tantangan, bencana
dan permusuhan dari orang-orang kafir. Apabila bahaya yang mengancam itu sudah
berakhir, maka berakhir pula pembacaan qunutnya.
Pembacaan qunut nazilah berdasarkan atas sunnah Rasulullah SAW, “ Rasulullah
SAW mengadakan qunut selama satu bulan untuk mendo’akan pembunuh-pembunuh para
sahabatnya di Bir al-Maunah “ (HR. Bukhari dan Muslim).
Hadits lain dari Abu Hurairah ra menyebutkan, “ Sesungguhnya apabila ingin
mendo’akan seseorang, Nabi Muhammad SAW membaca qunut sesudah ruku’ “ (HR.
Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambal).
B. Arti Penting
Ziarah Kubur
Nahdlatul
Ulama akrab dengan budaya ziarah kubur, yaitu mendatangi makam-makam orang tua,
kakek, nenek, anak, leluhur, para ulama, wali dan lain sebagainya untuk
mendo’akan atau bertawasul kepada mereka. Biasanya waktu yang dipilih adalah
Kamis sore atau Jum’at pagi. Di atas makam mereka membaca tahlil dan ayat-ayat
Al-Qur’an, yang pahalanya dihadiahkan pada ahli kubur tersebut. Bagi mereka
yang peka lingkungan, sebelum kirim do’a, terlebih dahulu membersihkan
lingkungan dari sampah dedaunan atau mengganti bunga-bunga yang sudah kering di
atas makam.
Pada masa awal Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh Rasulullah SAW. Hal itu
dimaksudkan untuk menjaga aqidah mereka yang belum kuat, agar tidak menjadi
musyrik dan penyembah kuburan. Namun setelah Islam kuat dan aqidah mereka juga
kuat, Rasulullah justru menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya. Hal ini
berdasar pada Hadits : “Dahulu saya melarang menziarahi kubur,
adapun sekarang berziarahlah ke sana, karena yang demikian itu akan
mengingatkanmu akan hari akhirat “. (HR. Ahmad, Muslim dan Asbahus Sunan)
Ziarah kubur sangat dianjurkan dalam Islam, sebab manfaat di dalamnya sangat
besar, baik bagi orang yang sudah meninggal dunia berupa hadiah pahala bacaan
Al-Qur’an maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan
manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.
Dipilihnya hari Kamis sore atau Jum’at pagi, karena hari Jum’at adalah hari
paling mulia (penanggalan hijriyah dimulai dari tenggelamnya matahari) dan
diyakini para arwah sedang diberi kebebasan pada hari itu untuk menengok
keluarganya, sekaligus menunggu kiriman dari mereka berupa amal.
Sedangkan ziarah di bulan suci Ramadlan ataupun di Hari Raya sebenarnya tidak
ada perintah dan tidak ada larangan. Karena tidak ada larangan, orang yang suka
ziarah mengambil inisiatif, alangkah indahnya jika dapat kirim do’a pada
hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (Ramadlan) dan hari yang bahagia (Idul
Fitri). Justru akan sangat bermakna bagi orang-orang yang mudik ke kampong
kalau mereka mengunjungi makam orang tua.
Di samping maksud utama ziarah kubur itu mendo’akan terhadap mereka yang sudah
wafat, agar mendapatkan maghirah (ampunan) dan rahmat dari Allah SWT, juga
mengandung beberapa hikmah yang sangat bermanfaat, antara lain :
1.
Mengingat akan alam akhirat
Kelak di alam akhirat, manusia yang telah meninggal
dunia akan dihidupkan kembali oleh Allah SWT untuk menerima keadilan dan
balasanNya atas segala amal perbuatan manusia semasa hidupnya. Semua amal
perbuatan manusia tidak ada yang tertinggal, masing-masing akan mendapatkan
balasan sekalipun amal itu tidak terlihat oleh sesama manusia.
2.
Berzuhud terhadap dunia
Zuhud terhadap dunia berarti meninggalkan dunia untuk
berbakti kepada Allah SWT. Manusia jangan sampai terpikat hati dan pikirannya
dengan tipu muslihat dunia, tetapi justru dapat memanfaatkan harta benda yang
diperolehnya di jalan yang diridhai Allah SWT sebelum ajal mendatanginya.
3.
Mengambil suri tauladan
Setiap manusia pasti akan mengalami kematian, yang
waktunya tak dapat diketahui sebelumnya. Oleh karena itu sebelum ajal datang,
manusia perlu selalu memperbanyak amal kebaikannya dan meninggalkan amal
keburukan serta bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT.
4.
Mendapatkan barokah
Hal ini jika yang diziarahi adalah orang yang shalih,
dimana ketika hidupnya telah dimintai barokahnya. Setelah wafatnya, orang
tersebut boleh menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk kita mohon
barokahnya.
5.
Membulatkan niat mencari ridha Allah SWT
Seoang muslim yang berziarah hendaknya wajib
meyakinkan hatinya bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat dan madharat,
kecuali kekuasaan Allah SWT. Yakinkan niat bahwa berziarah itu semata-mata
mencari ridha Allah SWT.
Berziarah berarti memberi nasihat kepada yang hidup tentang kematian, bukan
memberi nasihat kepada yang mati, karena yang mati tak perlu lagi menerima
nasihat dan tidak mempunyai hubungan dengan yang masih hidup. Namun sebaliknya
manusia hidup masih mempunyai hubungan dengan yang sudah mati.
Perempuan ziarah kubur di kalangan warga Nahdlatul Ulama tidak begitu popular.
Sebab mereka sudah paham bahwa ziarah kubur bagi perempuan tidak diperkenankan.
Alasannya perempuan pada umumnya banyak mendatangkan madharat ketimbang
manfaat.
Dalam melakukan ziarah kubur perlu diperhatikan beberapa petunjuk, antara lain
:
a.
Berwudlu dahulu sebelum berziarah.
b.
Mengucapkan salam.
c. Membaca ayat-ayat atau surat-surat dari Al-Qur’an,
seperti tahlil, surat Yasin, ayat kursi dan lain-lain.
d.
Menghadap kiblat ketika membaca do’a.
e.
Ziarah dilakukan dengan penuh khidmat dan
khusyu’.
0 komentar:
Posting Komentar