Oleh: Abdurrahman Wahid
Sebuah pertanyaan diajukan kepada penulis: apakah reaksi NU (Nahdlatul
Ulama) terhadap gagasan Negara Islam (NI), yang dikembangkan oleh beberapa
partai politik yang menggunakan nama tersebut?[1] Pertanyaan ini sangat menarik
untuk dikaji terlebih dahulu dan dicarikan jawaban yang tepat atasnya. Ini
berarti, keingintahuan akan hubungan NU dan keadaan bernegara yang kita jalani
sekarang ini dipersoalkan orang. Dengan kata lain, pendapat NU sekarang bukan
hanya menjadi masalah intern organisasi yang didirikan tahun 1926 itu saja,
melainkan sudah menjadi “bagian” dari kesadaran umum bangsa kita. Dengan
berupaya menjawab pertanyaan tersebut, penulis ingin menjadi bagian dari proses
berpikir bangsa ini yang sangat luas. Sebuah keinginan yang pantaspantas saja
dimiliki seseorang yang sudah sejak lama tergoda oleh gagasan NI.
Dalam sebuah tesis Magister – yang dibuatnya beberapa tahun yang lalu,
Pendeta Einar Martahan Sitompul[2], yang di kemudian hari menjadi Sekretaris
Jenderal Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP), menuliskan bahwa Muktamar
NU tahun 1935 di Banjarmasin (Borneo Selatan), harus menjawab sebuah
pertanyaan, yang dalam tradisi organisasi tersebut dinamai bahts
al-masâ’il (pembahasan
masalah)[3]. Salah sebuah masalah yang diajukan kepada muktamar tersebut
berbunyi: wajibkah bagi kaum muslimin untuk mempertahankan kawasan Kerajaan
Hindia Belanda, demikian negara kita waktu itu disebut, padahal diperintah
orangorang nonmuslim? Muktamar yang dihadiri oleh ribuan orang ulama itu,
menjawab bahwa wajib hukumnya secara agama, karena adanya dua sebab. Sebab pertama,
karena kaum muslimin merdeka dan bebas menjalankan ajaran Islam. Sebab kedua,
karena dahulu di kawasan tersebut telah ada Kerajaan Islam. Jawaban kedua itu,
diambilkan dari karya hukum agama di masa lampau, berjudul “Bughyah
al-Mustarsyidîn”.[4]
Jawabaan di atas seolah memperkuat pandangan Ibn Taimiyyah, beberapa abad
yang lalu. Dalam pendapat pemikir ini, hukum agama Islam (fiqh) memperkenankan adanya “pimpinan
berbilang” (ta’addud al-a’immah), yang
berarti pengakuan akan kenyataan bahwa kawasan dunia Islam sangatlah lebar di
muka bumi ini, hingga tidak dapat dihindarkan untuk dapat menjadi efektif (syaukah). Konsep ini, yaitu adanya pimpinan
berbilang yang khusus berlaku bagi kawasan yang bersangkutan, telah
diperkirakan oleh kitab suci al-Qurân dengan firman Allah; “Sesungguhnya Aku
telah menciptakan kalian dari jenis lakilaki dan perempuan dan Kujadikan
kalian berbangsabangsa dan bersukusuku bangsa, agar kamu sekalian saling
mengenal (innâ khalaqnâkum min dzakarin wa untsâ wa ja’alnâkum syu’ûban wa qabâ’ila
li ta’ârafû)” (QS alHujurat
[49]:13). Firman Allah ini juga yang menjadi dasar adanya perbedaan pendapat di
kalangan kaum muslimin, walaupun dilarang adanya perpecahan diantara mereka,
seperti kata firman Allah juga: “Berpeganglah kalian (eraterat) kepada tali
Allah secara keseluruhan, dan ja nganlah terbelahbelah/saling bertentangan (wa’tashimû bi
ha- bli Allâhi jamî’an wa lâ tafarraqû)” (QS aliImran [3]:103).
Dengan keputusan Muktamar Banjarmasin tahun 1935 itu, NU dapat menerima
kenyataan tentang kedudukan negara Hindia Belanda (Indonesia) dalam pandangan
Islam. Menurut pendapat organisasi tersebut tidak perlu NI didirikan. Dalam hal
ini, diperlukan sebuah klarifikasi yang jelas tentang perlu tidaknya didirikan
sebuah NI.
Di sini ada dua pendapat, pertama; sebuah NI harus ada, seperti pendapat
kaum elit politik di Saudi Arabia, Iran, Pakistan dan Mauritania. Pendapat
kedua, seperti dianut oleh NU dan banyak organisasi Islam lainnya, tidak perlu
ada NI. Ini disebabkan oleh heterogenitas sangat tinggi di antara warga negara
Indonesia, di samping kenyataan ajaran Islam menjadi tanggungjawab masyarakat,
dan bukannya negara. Pandangan NU ini bertolak dari kenyataan bahwa Islam tidak
memiliki ajaran formal yang baku tentang negara, yang jelas ada adalah mengenai
tanggungjawab tiap kaum muslim untuk melaksanakan Syari’ah Islam.
Memang, diajukan pada penulis argumentasi dalam bentuk firman Allah; “Hari
ini telah Ku-sempurnakan agama kalian, Kusempurnakan bagi kalian (pemberian)
nikmatKu dan Kurelakan Islam “sebagai” agama (al-yauma
akmaltu lakum dînakum wa atmamtu ‘alaikum nikmatî wa radhîtu lakum al Islâma
dînan)” (QS alMaidah
[5]:3). Jelaslah dengan demikian, Islam tidak harus mendirikan negara agama,
melainkan ia berbicara tentang kemanusiaan secara umum, yang sama sekali tidak
memiliki sifat memaksa, yang jelas terdapat dalam tiap konsep tentang negara.
Demikian pula, firman Allah; “Masuklah kalian ke dalam Islam (kedamaian) secara
keseluruhan (udkhulû fî al- silmi kâffah)” (QS alBaqarah (2): 208). Ini berarti kewajiban bagi kita untuk
menegakkan ajaranajaran kehidupan yang tidak terhingga, sedangkan yang
disempurnakan adalah prinsipprinsip Islam. Hal itu menunjukkan, Islam sesuai
dengan tempat dan waktu manapun juga, asalkan tidak melanggar prinsipprinsip
tersebut. Inilah maksud dari ungkapan Islam tepat untuk segenap waktu dan
tempat (al-Islâm shalihun likulli zamânin wa makânin).
Sebuah argumentasi sering dikemukakan, yaitu ungkapan Kitab Suci; “Orang
yang tidak ‘mengeluarkan’ fatwa hukum (sesuai dengan) apa yang diturunkan
Tuhan, maka orang itu (terma suk) orang yang kafir – atau dalam variasi lain
dinyatakan orang yang dzalim atau orang yang munafiq- (wa man lam
yahkum bimâ anzala Allâhu faulâika hum al kâfirûn)” (QS alMaidah [5]:44).[5] Namun bagi
penulis, tidak ada alasan untuk melihat keharusan mendirikan NI, karena hukum
Islam tidak bergantung pada adanya negara, melainkan masyarakat pun dapat
memberlakukan hukum agama. Misalnya, kita bersholat Jum’at juga tidak karena
undangundang negara, melainkan karena itu diperintahkan oleh syari’at Islam.
Sebuah masyarakat yang secara moral berpegang kepada Islam dan dengan
sendirinya melaksanakan syari’at Islam, tidak lagi memerlukan kehadiran sebuah
negara agama, seperti yang dibuktikan para sahabat di Madinah setelah Nabi
Muhammad Saw wafat.
Inilah yang membuat mengapa NU tidak memperjuangkan Indonesia menjadi NII,
Negara Islam Indonesia. Kemajemukan (heterogenitas) yang tinggi dalam kehidupan
bangsa kita, membuat kita hanya dapat bersatu dan kemudian mendirikan negara,
yang tidak berdasarkan agama tertentu. Kenyataan inilah yang sering dikacaukan
oleh orang yang tidak mau mengerti bahwa mendirikan sebuah NI tidak wajib bagi
kaum muslimin, tapi mendirikan masyarakat yang berpegang kepada ajaranajaran
Islam adalah sesuatu yang wajib. Artinya, haruskah agama secara formal
ditubuhkan dalam bentuk negara, atau cukup dilahirkan dalam bentuk masyarakat
saja? Orang “berakal sehat” tentu akan berpendapat sebaiknya kita mendirikan
NI, kalau hal itu tidak memperoleh tentangan, dan tidak melanggar prinsip
persamaan hak bagi semua warga negara untuk mengatur kehidupan mereka.
Telah disebutkan di atas tentang fatwa Ibn Taimiyyah, tentang kebolehan
Imam berbilang yang berarti tidak adanya keharusan mendirikan NI. Lalu
mengapakah fatwafatwa beliau tidak digunakan sebagai rujukan oleh Muktamar NU
itu? Karena, pandangan beliau dirujuk oleh wangsa yang berkuasa di Saudi Arabia
bersamasama dengan ajaranajaran Madzhab Hambali (disebutkan juga dalam bahasa
Inggris Hambalite School), yang secara de facto melarang
orang bermadzhab lain. Kenyataan ini tentu saja membuat orangorang NU bersikap
reaktif ter hadap madzhab tersebut. Tentu saja hal itu secara resmi tidak
dilakukan, karena sikap Saudi Arabia terhadap madzhabmadzhab nonHambali juga
tidak bersifat formal. Dengan kata lain, pertentangan pendapat antara
“pandangan kaum Wahabi” yang secara de facto demikian keras terhadap madzhabmadzhab
lain itu, melahirkan reaksi yang tidak kalah kerasnya. Ini adalah con toh dari
sikap keras yang menimbulkan sikap yang sama dari “pihak seberang”.
Contoh dari sikap saling menolak, dan saling tak mau mengalah itu membuat
gagasan membentuk NI di negara kita (menjadi NII), sebagai sebuah utopia yang
terdengar sangat indah, namun sangat meragukan dalam kenyataan. Ini belum kalau
pihak nonmuslim ataupun pihak kaum muslimin nominal (kaum abangan),
berkeberatan atas gagasan mewujudkan negara Islam itu. Jadi gagasan yang semula
tampak indah itu, pada akhirnya akan dinafikan sendiri oleh bermacam-macam
sikap para warga negara Indonesia, yang hanya sepakat dalam mendirikan negara
bukan agama. Inilah yang harus dipikirkan sebagai kenyataan sejarah. Kalaupun tohdipaksakan –sekali lagi untuk
mewujudkan gagasan NI itu di negara kita, maka yang akan terjadi hanya lah
serangkaian pemberontakan bersenjata seperti yang terjadi di negara kita tahuntahun
50an. Apakah deretan pemberontakan bersenjata seperti itu, yang ingin kita
saksikan kembali dalam sejarah modern bangsa kita.
Ketika berada di Makassar pada minggu ke tiga bulan Februari 2003, penulis
di wawancarai oleh TVRI di studio televisi kawasan tersebut, yang direlay oleh studiostudio TVRI seluruh
Indonesia Timur. Penulis memulai wawancara itu dengan menyatakan, menyadari
sepenuhnya bahwa masih cukup kuat sekelompok orang yang menginginkan negara
Islam (NI). Pengaruh almarhum Kahar Mudzakar[1] yang dinyatakan meninggal dalam
paruh kedua tahun 60an ternyata masih besar. Karenanya, penulis menyatakan
dalam wawancara tersebut, pembicaraan sebaiknya ditekankan pada pembahasan
tentang pembentukan NI di Sulawesi Selatan itu. Penulis menyatakan, bahwa ia
menganggap tidak ada kewajiban mendirikan NI, tapi ia juga tidak memusuhi orangorang
yang berpikiran seperti itu.
Dalam dialog interaktif yang terjadi setelah itu, penulis dihujani
pertanyaan demi pertanyaan tentang hal itu. Bahkan ada yang menyatakan, penulis
adalah diktator karena tidak menyetujui pemikiran adanya NI. Penulis menjawab,
bahwa saya menganggap boleh saja menganut paham itu, dan berbicara terbuka di
muka umum tentang gagasan tersebut, itu sudah berarti saya bukan diktator.
Salah satu tanda kediktaktoran adalah tidak adanya dialog dan orang menerima
saja sebuah gagasan dan tidak boleh membicarakannya secara kritis dan terbuka.
Dari dialog interaktif itu dapat diketahui bahwa pengaruh luar pun harus
dipikirkan, seperti pengaruhnya bagi berbagai kawasan dunia Islam lainnya dan
juga kadar pengetahuan agama Islam yang rendah.
Rendahnya pengetahuan agama yang dimiliki itu, digabungkan dengan rasa
kekhawatiran sangat besar lembaga/institusi keIslaman melihat tantangan
modernisasi, membuat mereka melihat bahaya di manamana terhadap Islam. Proses
pemahaman keadaan seperti itu, yang terlalu menekankan pada aspek kelembagaan/institusional
Islam belaka, dapat dinamakan sebagai proses pendangkalan agama kalangan kaum
muslimin. Pihakpihak lain yang nonmuslim juga mengalami pendangkalan seperti
itu, dan juga memberikan responsi yang salah terhadap tantangan keadaan. Kalau
kita melihat pada budaya/ kultur kaum muslimin dimanamana, sebenarnya
kekhawatiran demikian besar seperti itu tidak seharusnya ada di kalangan
mereka. Cara hidup, membaca al-Qurân dan Hadist, main rebana, tahlil, berbagai
bentuk “seni Islam” dan lainlainnya, justru mampu menumbuhkan rasa percaya
diri yang besar, dalam diri kaum muslimin.
Salah seorang penanya dalam dialog interaktif itu mengutip al-Qurân “Barang
siapa tidak (ber) pendapat hukum dengan apa yang di turunkan Allah, mereka
adalah orang yang kafir (wa man lam yahkum bimâ anzala Allâh fa’ulâika hum al-kâ- firûn)” (QS alMaidah [5]:44). Lalu bagaimana
mungkin kita menjalankan hukum Allah, tanpa NI? Jawab penulis, karena ada
masyarakat yang menerapkan hal itu, dan, atau mendidik kita agar melaksanakan
hukum Allah. Jika negara yang melakukan itu, maka dapat saja lembaga bikinan
manusia ini ditinggalkan. Jadi, untuk memelihara pluralitas bangsa, tidak ada
kewajiban mendirikan NI atau menentang mereka yang menentang adanya gagasan
mendirikan NI. Netralitas seperti inilah yang sebenarnya jadi pandangan Islam
dalam soal wajib tidaknya gagasan mendirikan NI.
Netralitas ini sangat penting untuk dijunjung tinggi, karena hanya dengan
demikian sebuah Negara Kesatuan Republik Indonesia dapat didirikan. Dengan
berdirinya NII, maka pihak minoritas, baik minoritas agama maupun minoritas
lainlain nya, tidak mau berada dalam negara ini dan menjadi bagian dari negara
tersebut. Dengan demikian, yang dinamakan Republik Indonesia tidak dapat
diwujudkan, karena ketidaksediaan tersebut. Akhirnya, Indonesia akan tidak
terwujud sebagai kesatuan, karena ada negara Aceh, negara bagian Timur dan
Selatan dari Sumatra Utara, negara Sumatra Barat, Jambi, Bengkulu, Sumatra
Selatan, Lampung, Seluruh pulau Jawa, NTB, Kalimantan Barat, Kalimantan Timur,
Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tengah, Sulawesi Utara, dan
sebagian Maluku dan lain lainnya, berada di luar susunan kenegaraan NKRI,
karena berdasarkan agama mayoritas penduduknya itu.
Karenanya, keputusan para wakil berbagai organisasi Islam dalam Panitia
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) untuk menghilangkan Piagam Jakarta[2]
dari Pembukaan UndangUndang Dasar 1945, pada tanggal 18 Agustus 1945 adalah
sebuah sikap yang sangat bijaksana dan harus di pertahankan. Keputusan itu
diikuti oleh antara lain: Resolusi Jihad , yang dikeluarkan PBNU pada tanggal 22 Oktober 1945, adalah sesuatu yang
sangat mendasar, dengan menyatakan bahwa mempertahankan wilayah Republik
Indonesia adalah kewajiban agama bagi kaum muslimin. Dengan rangkaian kegiatan
seperti itu, termasuk mendirikan Markas Besar Oelama Djawa–Timoer (MBODT) di
Surabaya dalam bulan Nopember 1945, adalah salah satu dari kegiatan bermacammacam
untuk mempertahankan Republik Indonesia, yang notabene bukanlah sebuah NI.
Diteruskan dengan perang gerilya melawan tentara pendudukan Belanda di tahuntahun
berikutnya. Dengan peran aktif para ulama dan pesantrenpesantren yang mereka
pimpin, selamatlah negara kita dari berbagai rongrongan dalam dan luar negeri,
hingga tercapainya penyerahan kedaulatan dalam tahun 1949 1950. Perkembangan
sejarah setelah itu menunjukkan bahwa agama Islam tidak berkurang perannya
dalam kehidupan bangsa, walaupun beberapa kali usaha merubah Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) berhasil digagalkan, seperti dalam Dewan Konstituante
di tahun 19561959. Demikian juga beberapa kali pemberontakan bersenjata
terhadap NKRI dapat digagalkan seperti DITII dan APRA (Bandung 1950). Ini
tidak berarti Islam dibatasi ruang geraknya dalam negara, seperti terbukti dari
kiprah yang dilakukan oleh AlAzhar di Kairo.
Siapapun tidak dapat menyangkal bangsa Indonesia adalah memiliki jumlah
terbesar kaum muslimin. Ini berbeda dari bangsabangsa lain, Indonesia justru
memiliki jumlah yang sangat besar kaum “muslimin statistik” atau lebih dikenal
dengan sebutan “muslim abangan”. Walaupun demikian, kaum muslim yang taat
beragama dengan nama “kaum santri” masih merupakan minoritas. Karena itu,
alangkah tidak bijaksananya sikap ingin memaksakan NI atas diri mereka.
Lalu, bagaimana dengan ayat kitab suci al-Qurân yang disebutkan di atas?
Jawabnya, kalau tidak ada NI untuk menegakkan hukum agama maka masyarakatlah
yang berkewajiban. Da lam hal ini, berlaku juga sebuah kenyataan sejarah yang
telah berjalan 1000 tahun lamanya yaitu penafsiran ulang (reinterprensi) atas
hukum agama yang ada. Dahulu kita berkeberatan terhadap celana dan dasi, karena
itu adalah pakaian orangorang nonmuslim. Sebuah diktum mengemukakan, “Barang
siapa menyerupai sesuatu kaum ia adalah sebagian dari mereka (man
tasyâbbaha bi qaumin fahuwa min hum).”[4] Tetapi sekarang, tidak ada lagi persoalan tentang hal itu karena
esensi Islam tidak terletak pada pakaian yang dikenakan melainkan pada akhlak
yang dilaksanakan.
Karena itu, kita lalu mengerti mengapa para wakil berbagai gerakan Islam
dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) memutuskan untuk
menghilangkan Piagam Jakarta dari UUD 1945. Mereka inilah yang berpandangan
jauh, dapat melihat bersungguhnya kaum muslim menegakkan ajaranajaran agama
mereka tanpa bersandar kepada negara. Dengan demiki an, mereka menghidupi baik
agama maupun negara. Sikap inilah yang secara gigih dipertahankan Nahdlatul
Ulama (NU), sehingga agama Islam terus berkembang dan hidup di negeri kita.
Dikutip sepenuhnya dari Abdurrahman
Wahid. 2006. Islamku Islam Anda Islam Kita. Jakarta: The Wahid
Institute.
0 komentar:
Posting Komentar