Gus Dur : Islam, Ideologis ataukah Kultural ?
Oleh: Abdurrahman Wahid
Beberapa partai masih mencantumkan Islam sebagai asas/dasar negara, begitu juga beberapa perkumpulan lain non-politis. Ketika hal itu ditanyakan pada penulis, maka jawabannya adalah biar saja, karena itu adalah kehendak mereka. Dengan rasa heran, yang bertanya mengemukakan: aneh sekali, anda dari dahulu selalu menentang negara Islam, mengapakah partai politik yang berasaskan Islam tidak anda tolak? Bukankah ini berarti anda menerima pandangan mereka? Bukankah kedua hal itu saling bertentangan, tapi anda terima?
Jawabannya justru karena penulis menolak negara Islam. Jadi jelas, penulis menolak negara Islam di Indonesia, tidak di tempat lain yang penduduknya homogen (berpandangan tunggal). Karena bangsa kita beraneka ragam dalam pandangan hidup, dengan sendirinya negara tidak dapat hanya melayani mereka yang berpandangan negara Islam saja. Orang muslim pun, seperti penulis yang tidak menerima negara Islam di Indonesia, harus dihargai pendapat dan sikap hidup mereka. Apalagi yang tidak beragama Islam, yang jumlahnya melebihi 10 % bangsa ini. Adalah tindakan gegabah untuk menganggap konsep negara Islam diterima kaum muslimin di negeri ini, hanya karena mereka merupakan mayoritas penduduk.
Itulah yang membuat mengapa penulis menolak gagasan negara Islam di sini, karena penulis tidak ingin menyangkal kebenaran yang dibawakan oleh statistik. Lain halnya dengan bangsa Pakistan, yang ingin mendirikan negara sendiri karena persamaan agama, dan untuk itu mereka berani berpindah tempat ke kawasan tersebut dari daerah asal dan di
Pakistan membentuk kelompok kaum pendatang (muhajirin). Dapat dimengerti mengapa mereka menginginkan Republik Islam Pakistan pada waktu ini, walaupun tidak sejalan dengan pikiran penulis sendiri.
*****
Kembali pada masalah asas Islam bagi partai politik maupun perkumpulan lain. Karena yang beratribut Islam adalah partai politik dan/atau perkumpulan-perkumpulan lain, maka tidak ada sangkut pautnya dengan negara. Kalau mereka memperjuangkan Piagam Jakarta, untuk dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar kita, maka itu adalah hak mereka juga untuk merubah konstitusi dan dasar negara. Ini adalah konskwensi berdemokrasi, bahkan di Amerika Serikat pun ada orang yang ingin agar Undang-Undang Dasar-nya diubah menjadi Undang-Undang Dasar Komunis. Masalahnya tinggal apakah rakyat mau menerimanya dalam pemilu atau tidak. Sikap membedakan kehidupan negara dari kehidupan perkumpulan yang seperti ini, adalah sikap sehat dan demokratis yang harus ditegakkan, kalau kita ingin mengembangkan demokrasi di negara kita. Dasar dari sikap ini adalah keyakinan rakyat banyak yang tahu apa yang harus dilakukan, walaupun mayoritas tidak berpendidikan tinggi, dan bahkan masih besar prosentase mereka yang buta huruf. Kalau dalam hal ini saja kita sudah tidak memiliki keberanian, maka mereka yang bercita-cita mendirikan negara Islam tidak memperoleh tempat untuk menyuarakan kehendak, dan mereka akan menempuh jalan pemberontakan bersenjata.
Karenanya, kita harus memberikan tempat bagi perbedaan pendapat dan kemerdekaan berbicara, artinya adalah kebebasan menyatakan pikiran tanpa dikekang sama sekali. Inilah yang mendasari pendapat penulis, bahwa TAP MPRS No. 25 tahun 1966 harus dicabut. Karena TAP itu melarang penyebaran paham Marxisme-Leninisme atau Komunisme. Sebagai sebuah paham, pikiran itu hanya dapat diperangi oleh pendidikan dan penerangan, bukan oleh sebuah Ketetapan MPR ataupun produk hukum apapun. Lain halnya, kalau yang dilarang adalah lembaga atau institusi seperti Partai Komunis Indonesia (PKI), karena itu dapat dilarang oleh negara, seperti halnya kita melarang lembaga bernama free mason (lembaga yang berpikiran bebas tanpa agama). Di sinilah diperlukan ketelitihan kita, agar produk-produk kenegaraan kita tidak merugikan diri sendiri.
*****
Hal sekecil ini, yaitu perbedaan-perbedaan antara paham dan lembaga harus dilakukan dengan cermat. Tanpa kecermatan seperti itu, kita dapat berjalan di arah yang salah, yaitu menindak hal yang tidak perlu diperhatikan dan membiarkan sesuatu yang memerlukan tindakan. Inilah letaknya arti penting dari perembugan/permusyawaratan, seperti yang
dibuat oleh Undang-Undang Dasar kita: Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) yang seringkali dianggap sebagai ajang percaturan kekuasaan, antara dua hal yang berjalan sendiri-sendiri. Kekurangan memahami situasi seperti ini hanya akan memperparah keadaan, karena timbul dari kurangnya pengetahuan yang mendalam tentang peranan pemerintah dalam menjaga kepentingan negara.
Ini adalah sesuatu yang berjalan dari sebuah generasi yang diwariskan dari generasi penerus. Joko Tingkir, umpamanya, mempunyai keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin dari Kajen, Pati, yang sangat tunduk pada Amangkurat IV di Surakarta. Ada semacam kontinuitas cara yang dipertahankan dengan segala kekuatan, karena Joko Tingkir alias Sultan
Hadiwidjaya adalah penguasa kesultanan Demak yang digulingkan oleh Sutawidjaya, pendiri dinasti Mataram yang kemudian bergelar Panembahan Senopati Ing Ngalaga Sayyidin Panatagama Kalifatullah Ing Tanah Jawi. Karena penulis masih keturunan Kyai Haji Ahmad Mutamakin, berarti masih terkait dengan Sunan Benawa di Kendal, ayah Sunan Pakubuwana I, dengan sendirinya para penguasa Mataram masih menghormati penulis.
Kenyataan inilah yang harus diperhatikan dalam mengikuti sistem politik Jawa, karena kuatnya kontinuitas tradisi tersebut. Karena sistem politik Jawa masih memiliki bekasnya yang mendalam atas sistem politik nasional yang kita miliki sekarang, dengan sendirinya tali temali ini harus diperhatikan juga. Ini memperkuat pendapat penulis, bahwa kita tidak
memiliki acuan negara Islam bagi sistem politik yang kita kembangkan. Karena hal ini diabaikan oleh sementara pihak dalam wujud sistem politik kita yang ada, maka pemilu adalah satu-satunya tempat untuk menguji kebenaran pendapat penulis ini.
Menurut dugaan penulis, kurang dari 20 % pemilih akan memberikan suara kepada partai-partai politik yang menginginkan Islam sebagai dasar negara. Sejarahlah yang akan menjawab, benarkah apa yang disangkakan penulis itu akan terjadi?
Pada waktu penulis berkunjung ke Pusat Persatuan Muslim Tiongkok, penulis menyatakan persamaan antara kaum muslimin Tiongkok dan Indonesia. Kedua negeri diatur oleh Undang-Undang Dasar (UUD) yang mengingkari Islam sebagai dasar negara. Dalam struktur seperti itu, Islam tidak berfungsi sebagai hukum negara, melainkan sebagai jalan
hidup masyarakat. Dalam hal ini, tentulah masyarakat yang memilih berkeyakinan Islam di Indonesia, dan masyarakat yang menentukan untuk tidak menampakkan afiliasi agamanya seperti di Tiongkok. Persamaan mendasar ini, harus dipakai selaku tali pengikat antara kedua negara itu dalam hubungan formal dan non-formal antara mereka.
Namun, antara kedua negeri itu terdapat perbedaan yang sangat besar, yang sering luput dari perhatian kita. mengingat perbedaan tersebut, maka pentinglah arti sejarah bagi pembentukan pandangan umum sebuah negeri. Hal ini sering diabaikan orang, hingga secara tidak terasa kita terjerumus kepada sikap menyamakan hal yang tidak sama. Karenanya, dalam tulisan ini dicoba untuk menyoroti hal itu, agar kita tidak terus-menerus melakukan kesalahan. Dengan cara inilah kita melakukan koreksi atas kesalahan-kesalahan masa lampau yang diperbuat, dalam menyongsong masa depan.
Salah satu hal yang membedakan kedua negeri adalah sejarah masing-masing yang saling berbeda. Karena sejak semula Tiongkok berpenduduk sangat banyak, pemerintahan dapat berkembang lebih seragam. Keseragaman itu dilambangkan oleh sistem administrasi yang sama dan birokrasi yanag tunggal di semua propinsi, mengikuti apa yang ditetapkan di ibu Kota Nanking maupun Beijing. Kedudukan Han Lim sebagai wadah tunggal pendidikan tenaga administrasi pemerintahan, telah ada semenjak ratusan tahun yang lalu. Sementara APDN (Akademi Pegawai Dalam Negeri) dan IIP (Institut Ilmu Pemerintahan) di negeri kita baru berlangsung puluhan tahun lamanya, itupun dengan hasil yang sudah sangat menggembirakan. Di Jepang (Universitas Tokyo) dan Perancis (Ecole Superieur) yang berusia sedikit lebih tua juga mencatat hal yang sama.
*****
Perbedaan sangat mencolok antara kedua bangsa dapat ditelusuri pada sejarah masing-masing, satu sebagai negara daratan (land-based country) di Tiongkok dan satu lagi sebagai negara maritim, sudah tentu dengan lebih banyak keseragaman di China dan keragaman kerajaan-kerajaan di negeri kita. Kalau daratan Tiongkok terkenal dengan sistem agraris yang berintikan sawah dan padang rumput (lengkap dengan tradisi penggembalaannya), maka perairan negeri kita justru menunjukkan ciri perbedaan sangat besar dalam cara hidup masing-masing daerah. Ada yang bergantung pada hasil hutan yang sangat besar, seperti di Jambi dan Pulau Kalimantan, ada pula yang lebih mengandalkan perdagangan laut
antar pulau, seperti terdapat dalam kebudayaan Bugis dan Madura. Hanya di Jawa, Sultan Agung Hanyakra Kusuma dapat menegakkan cara hidup agraris lengkap dengan sistem kepegawaiannya.
Namun, pengenalan anthropologis antara keduanya, dengan yang satu menggunakan konsep agraris dan yang kedua dengan konsep maritim, harus diimbangi dengan analisa sosiologis, yang juga akan menunjukkan perbedaan dan persamaan mereka. Umpamannya saja, kita tunjukkan pada kuatnya akar kekuasaan pihak yang memerintah (the ruling class). Sebenarnya, nama Mandarin untuk bahasa nasional Tiongkok saat ini, diambil dari nama kelompok birokrat pemerintahan yang menguasai negeri itu semenjak lebih dari 2000 tahun lampau. Kelompok birokrat ini, sanggup bertahan bahkan menghadapi tantangan kaum pendekar bersenjata yang menguasai pedalaman Tiongkok selama ratusan tahun terakhir ini.
Sekarangpun, masih belum diketahui bagaimana mereka hilang dalam pemerintahan dan sistem politik yang ada, walaupun kekuasaan komite Militer di lingkungan Partai Komunis Tiongkok masih sangat besar. Apakah klas bersenjata itu diserap ke dalam komite militer tersebut dengan bawahan-bawahannya, juga tidak kita ketahui.Di negeri kita pun kekuasaan kaum priyayi dengan nilai-nilainya sendiri terasa sangat besar di masa lampau. Hanya saja, dalam beberapa puluh tahun terakhir ini, kaum agamawan muslim (dikenal dengan nama kaum santri) tampak menyelusup ke dalam jantung kekuatan kaum priyayi tersebut. Jalan yang dilalui ada dua model, yaitu jalur kekuasaan politik dan jalur pengembangan profesi. Kalau ini kita lupakan, sama saja artinya dengan membiarkan diri hidup di masa lampau tanpa mengenal hidup masa kini dan masa mendatang.
*****
Jelaslah, tampak betapa besar perbedaan antara Tiongkok dan Indonesia, serta betapa besar pula persamaan antara keduanya. Kalau kita proyeksikan bayangan masa depan, sistem-sistem politik yang dianut kedua negeri itu –di masa kini dan masa depan, akan bertambah nyata persamaan maupun perbedaan antara kedua bangsa tersebut. Bagaimana masing-masing menjawab tantangan yang dihadapi, yang datang dari proses modernisasi yang penuh dengan persaingan, adalah pengenalan akan dua buah proses yang sama-sama menarik untuk dikaji. Di sinilah, terasa betapa pentingnya diskripsi historis yang dikemukakan oleh kedua sistem politik yang digunakan kedua bangsa itu (ethnografi, yang sangat dikuasai oleh administrasi pemerintahan kolonial Hindia-Belanda).
Mengingat hal itulah perlu kita sadari betapa pentingnya catatan-catatan historis yang dikenal oleh kedua belah pihak. Ini adalah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri dalam perjalanan sejarah kedua bangsa. Bahwa perbedaan-perbedaan dari orkestra-kamar (chamber orchestra) yang memang tidak sama sejarahnya itu adalah hal yang wajar, merupakan sebuah kenyataan yang tidak dapat dibantah. Tetapi, membandingkan antar keduanya, untuk mencari pelajaran yang dapat kita gunakan untuk mengenal cara hidup kita sendiri, adalah sebuah hal yang wajar pula.
Karenanya, segala macam tulisan dan rekaman suara yang memberikan gambaran akan perjalanan sejarah kedua bangsa itu, jelas akan sangat menarik hati para pengamat. Akankah kita menjadi sebuah bangsa yang hanya menopang dominasi masa lampau, terlepas sama sekali dari kontek historis yang sedang berjalan? Ataukah justru kita menjadi bangsa yang
tidak dapat menatap masa depan sendiri, semuanya terpulang kepada kita sendiri. Di sinilah perlunya kita mengenal kedua bangsa secara lebih mendalam, baik sebagai bangsa yang sama-sama bukan negara agama, walaupun mempunyai perkembangan sejarah (historical developments) yang berbeda?


Sumber : Kedaulatan Rakyat


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top