Kita bangsa Indonesia mempunyai kepercayaan bahwa datangnya tahun baru,
baik tahun masehi, tahun hijriyah atau tahun jawa ini perlu diperingati.
Beraneka ragam cara yang mereka lakukan dalam merayakannya mulai dari cara yang
sangat sederhana/kecil-kecilan sampai cara yang bersifat besar-besaran.
Demikian pula di kalangan kaum muslimin Indonesia, setiap bulan Muharram
ada tradisi mengadakan kegiatan rutin tahunan dalam rangka memperingati tahun
baru hijriyah, baik itu berupa kegiatan ritual atau kegiatan sosial.
Yang berupa kegiatan ritual misalnya melakukan shalat tasbih, puasa hari Tasu'a dan hari Asyura', membaca surat ikhlas dengan hitungan
tertentu. Adapun yang berupa kegiatan sosial misalnya bersilaturrahim/berkunjung
ke rumah sanak famili, bersedekah kepada fakir miskin, membuat anggota keluarga
merasa gembira dengan diberi hadiah.
Tradisi yang biasa mereka lakukan itu memang termasuk salah satu masalah
furu'iyah yang di dalamnya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama
yang timbulnya dikarenkan tidak adanya dalil yang sharih atau nash syar’i yang
khusus menjelaskan tentang masalah itu. Namun dalam beberapa dalil syar'i,
secara umum toh syari'at kita menganjurkan berbuat baik/beramal sholih, baik
yang berupa ibadah mahdlah atau ibadah ghairu mahdlah, yang bersifat qauliyah,
badaniyah, atau maliyah.
Perbedaan pendapat tersebut bisa kita lihat secara jelas dari tulisan para
ulama kita dalam kitabnya masing-masing. Antara lain :
Dalam kitab Nihayatuz Zain hal. 196 disebutkan :
وَنُقِلَ عَنْ
بَعْضِ اْلأَفَاضِلِ أَنَّ اْلأَعْمَالَ فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ اثْنَا عَشَرَ
عَمَلاً: الصَّلاَةُ، وَاْلأَوْلَى أَنْ تَكُوْنَ صَلاَةُ التَّسْبِيْحِ،
وَالصَّوْمُ، وَالصَّدَقَةُ، وَالتَّوْسِعَةُ عَلَى الْعِيَالِ وَاْلاِغْتِسَالُ،
وَزِيَارَةُ الْعَالِمِ الصَّالِحِ، وَعِيَادَةُ الْمَرِيْضِ، وَمَسْحُ رَأْسِ
الْيَتِيْمِ، وَاْلاِكْتِحَالُ، وَتَقْلِيْمُ اْلأَظَافِرِ، وَقِرَاءَةُ سُوْرَةِ
اْلإِخْلاَصِ أَلْفَ مَرَّةٍ، وَصِلَةُ الرَّحِمِ. وَقَدْ وَرَدَتْ
اْلأَحَادِيْثُ فِي الصَّوْمِ وَالتَّوْسِعَةِ عَلَى الْعِيَالِ. وَأَمَّا غَيْرُهُمَا
فَلَمْ يَرِدْ فِي اْلأَحَادِيْثِ. وَقَدْ ذَكَرَ إِمَامُ الْمُحَدِّثِيْنَ
ابْنُ حَجَرٍ الْعَسْقَلاَنِيِّ فِيْ شَرْحِ الْبُخَارِيْ كَلِمَاتٍ مَنْ قَالَهَا
فِيْ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ لَمْ يَمُتْ قَلْبُهُ، وَهِيَ: سُبْحَانَ اللهِ مِلْءُ
الْمِيْزَانِ .... إِلى أن قال: وَنَقَلَ سَيِّدِيْ عَلِيْ اْلأَجْهُوْرِيْ أَنَّ
مَنْ قَالَ يَوْمَ عَاشُوْرَاءَ سَبْعِيْنَ مَرَّةً: حَسْبِيَ اللهُ وَنِعْمَ
الْوَكِيْلُ نِعْمَ الْمَوْلَى وَنِعْمَ النَّصِيْرُ، كَفَاهُ اللهُ تَعَالَى
شَرَّ ذَلِكَ الْعَامِ.
Artinya :
"Diriwayatkan dari sebagian orang-orang yang
mempunyai sifat utama bahwa amalan pada hari asyura'/10 Mkuharram itu ada dua
belas macam, yakni : shalat, -yang afdlol shalat tasbih- puasa, bersedekah,
membuat anggota keluarga merasa gembira, mandi, manziarahi orang alim/orang
shalih, menjenguk orang sakit mengusap kepala/menyantuni anak yatim, memakai
celak, memotong kuku, membaca surat al-Ikhlash 1.000 x dan silaturrahim.
Mengenai anjuran puasa dan membuat gembira kepada anggota keluarga ada hadits
yang menerangkannya. Selain dua hal tersebut tidak ada hadits yang
menerangkannya. Imam Ibnu Hajar menyebutkan bahwa barang siapa yang membaca
kalimat ini pada hari Asyura', maka hatinya tidak mati, yaitu subhanallah
mil'al mizan dan seterusnya. Sayyid Al-Ajhuri meriwayatkan bahwa barang siapa
yang membaca hasbiyallah wani'mal wakil, ni'mal maula wa ni'man nashir 70 x
pada hari Asyura' maka Allah akan menghindarkan orang tersebut dari keburukan
dalam tahun ini.
Dalam kitab
Asnal Mathalib fi Ahaditsa Mukhtalifatil Maratib juz II hal 586 disebutkan:
(أَحَادِيْثُ فَضْلِ يَوْمِ عَاشُوْرَاءَ) ثَبَتَ
مِنْهَا أَحَادِيْثُ الصِّيَامِ، فَفِي الْبُخَارِي وَمُسْلِمٍ عَنْ عَائِشَةَ
رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ
فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ رَسُوْلُ اللهِ يَصُوْمُهُ فِيْ الْجَاهِلِيَّةِ
فَلَمَّا قَدِمَ الْمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ، فَلَمَّا فُرِضَ
رَمَضَانُ تَرَكَ عَاشُوْرَاءَ، فَمَنْ شَاءَ صَامَهُ وَمَنْ شَاءَ تَرَكَهُ.
وَأَمَّا حَدِيْثُ التَّوْسِعَةِ وَلَفْظُهُ: مَنْ وَسَّعَ عَلَى عِيَالِهِ يَوْمَ
عَاشُوْرَاءَ وَسَّعَ اللهُ عَلَيْهِ فِيْ سَنَتِهِ كُلِّهَا، فَفِيْهِ خِلاَفٌ.
Artinya :
"(Beberapa hadits tentang keutamaan hari Asyura')
Telah tercatat dalam beberapa hadits antara lain tentang puasa (Asyura').
Dalama kitab shahih Bukhari dan Muslim dari A'isah ra, dia berkata : bahwa kaum
Quraisy di zaman Jahiliyah berpuasa pada hari Asyura'. Rasulullah SAW. juga
berpuasa pada hari itu. Sewaktu beliau hadir/hijrah ke Madinah masih juga
beliau melakukan dan memerintahkan puasa Asyura' tetapi ketika puasa Ramadlan
telah diwajibkan, beliau meninggalkannya, barang siapa menghendaki puasa
disilahkan berpuasa, dan barang siapa yang menghendaki tidak berpuasa boleh
meninggalkannya. Adapun hadits "tausi'ah" yang lafdznya : barang siapa
membuat gembira kepada keluarganya pada hari Asyura', maka Allah akan
memberikan kelapangan kepadanya sepanjang tahun. Hadits tersebut masih
diperselisihkan oleh para ahli hadits tentang keshahihannya.
Dalam kitab
I'anatut Thalibin juz II hal. 266 diterangkan :
قَالَ الْعَلاَّمَةُ
اْلأَجْهُوْرِيْ: وَلَقَدْ سَأَلْتُ بَعْضَ أَئِمَّةِ الْحَدِيْثِ وَالْفِقْهِ
عَنِ الْكُحْلِ، وَطَبْخِ الْحُبُوْبِ، وَلُبْسِ الْجَدِيْدِ، وَإِظْهَارِ
السُّرُوْرِ، فَقَالَ: لَمْ يَرِدْ فِيْهِ حَدِيْثٌ صَحِيْحٌ عَنِ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَلاَ عَنْ أَحَدٍ مِنَ الصَّحَابَةِ وَلاَ
اسْتَحَبَّهُ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ الْمُسْلِمِيْنَ.
Artinya :
“Imam Ajhuri berkata : sungguh saya telah menanyakan
kepada sebagian dari para imam ahli hadits dan ahli fiqih tentang memakai
celak, menanak biji-bijian, memakai pakaian yang serba baru dan memperlihatkan
kegembiraan, beliau menjawab : mengenai hal itu tidak ada riwayat hadits yang
shahih dari Nabi atau salah seorang sahabat dan tidak ada salah seorang pun
dari para pemimpin Islam yang menganjurkannya”.
Walaupun demikian, karena sudah menjadi tradisi, maka hal tersebut bisa
saja dilestarikan (jangan ditinggalkan), namun dengan catatan : bagi yang
melakukannya jangan mempunyai i'tikad/anggapan bahwa yang dilakukan itu merupakan
anjuran khusus dari Rasulullah SAW. kecuali beberapa amalan yang memang sudah
dinash dalam hadits nabi. Ketentuan ini sesuai dengan keterangan dalam kitab
mafahim yang ditulis oleh Sayyid Muhammad Alawi, hal. 314 :
جَرَتْ عَادَاتُنَا أَنْ نَجْتَمِعَ لإِحْيَاءِ جُمْلَةٍ مِنَ الْمُنَاسَبَاتِ
التَّارِيْخِيَّةِ كَالْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ، وَذِكْرَى اْلإِسْرَاءِ
وَالْمِعْرَاجِ، وَلَيْلَةِ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ، وَالْهِجْرَةِ
النَّبَوِيَّةِ، وَذِكْرَى نُزُوْلِ الْقُرْآنِ وَذِكْرَى غَزْوَةِ بَدْرٍ. وَفِي
اعْتِبَارِنَا أَنَّ هَذَا اْلأَمْرَ عَادِيٌّ لاَ صِلَةَ لَهُ بِالدِّيْنِ، فَلاَ
يُوْصَفُ بِأَنَّهُ مَشْرُوْعٌ أَوْ سُنَّةٌ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ مُعَارِضًا
لأَصْلٍ مِنْ أُصُوْلِ الدِّيْنِ، لأَنَّ الْخَطَرَ هُوَ فْي اعْتِقَادِ
مَشْرُوْعِيَّةِ شَيْءٍ لَيْسَ بِمَشْرُوْعٍ.
Artinya :
"Kita
mempunyai tradisi yang sudah berlaku yaitu kita berkumpul untuk perayaan
sejumlah hari-hari yang bernilai sejarah, seperti kelahiran nabi, peringatan
Isra' Mi'raj, malam NishfuSya'ban, peringatan hijrahnya nabi, malam nuzulul
qur'an dan peringatan perang badar. Menurut anggapan kita, perkara semacam itu
merupakan suatu tradisi semata tidak ada sangkut pautnya dengan syari'at agama,
maka tidak bisa dikatakan bahwa hal tersebut disyari'atkan atau disunnatkan.
Namun amalan tadi sama sekali tidak bertentangan dnegan prinsip-prinsip agama.
Karena yang menjadi kekhawatiran itu hanya lah timbulnya anggapan adanya
anjuran syari’at terhadap hal-hal yang sebenarnya tidak disyari’atkan.
0 komentar:
Posting Komentar