Sejak masih muda, Kiai Syarifuddin memang akrab dengan dunia
pesantren. Bahkan waktunya banyak dihabiskan di pesantren, di antanya di
Pesantren Zainul Hasan, Genggong, Probolinggo.
Setelah dewasa, Kiai Syarif –sapaan akrabnya-- diambil menantu oleh
Kiai Somber di Dusun Selok Besuki, Desa Wonorejo, Lumajang untuk
dinikahkan dengan putrinya, Khosyi’ah. Di situlah Kiai Syarif bersama
mertuanya merintis berdirinya Pesantren “Tahsinul Mubtadi’in” dengan
santri awal hanya 3 orang.
Sekuat tenaga Kiai Syarif berjuang meretas kemungkaran yang saat itu masih merajalea di mana-mana. Selain ngopeni
santri, Kiai Syarif juga mengobarkan semangat patriotisme melawan
penjajah. Untuk menghadapi kemungkaran dan penjajah itu, Kiai Syarif
membekali para pejuang dan santrinya dengan “ilmu kekebalan”.
Sebenarnya Kiai Syarif tidak suka masyarakat terjebak dengan ilmu
kekebalan, tirakat atau hal-hal lain sejenisnya. Tapi karena sudah
terpaksa, maka itupun dilakukan. Kepada anak-anaknya sendiri ia malah
menganjurkan untuk tidak menggunakan kekebalan. “Kalau kamu cukup baca
shalawat saja, akhlaqnya yang baik, insyaallah selamat,” ujar Kiai
Syarif seperti ditirukan cucunya, KH. Adnan Syarif.
Kiai Syarif sangat mencintai ilmu sehingga nyaris semua waktunya
tersita untuk mengajar. Baginya, mengajar sangat penting untuk memapah
langkah masyarakat agar tidak keliru arah. “Selama saya masih punya
akal, saya akan teus mengajar,” tekadnya.
Pernah suatu ketika, Kiai Syarif menegur santrinya yang kedapatan
berpuasa tirakat. Bukan benci kepada tirakat, tapi ia ingin menunjukkan
bahwa yang lebih penting dari tirakat adalah belajar, apalagi masih
muda. “Jangan puasa macam-macam, kecuali yang fardlu. Yang penting
ngajinya dulu,” ucapnya.
Di luar itu, Kiai Syarif juga pecinta seni islami. Ini dibuktikan
dengan didirikannya kelompok Burdah di pesantren yang dikelolanya.
Burdah adalah membaca puji-pujian dan pengagungan asma Allah yang
diiringi dengan musik bedug. Ia juga pengagum berat Umi Kulsum, sang
legenda gambus asal Mesir. Saking begitu sukanya kepada Umi
Kulsum, sampai-sampai ia mengimpikan keturunannya bisa belajar di Mesir.
Dan ternyata kelak, impian itu jadi kenyataan. KH. Adnan Syairf,
cucunya belajar di sana selama beberapa tahun.
Di usianya yang senja, ia masih terus mendarmabaktikan ilmunya dengan mengajar dan mengajar. Hingga akhirnya Allah memanggil Kiai Syarif untuk kembali kepada Sang Pencipta. Sore itu pada tahun 1972, ia masih mengajar kitab Fathul Qorib.
Kamis malam ketika mau shalat tahajjud, Kiai Syarif terpeleset di kamar
mandi, lalu tak sadarkan diri sampai akhirnya Ahad dini hari, ajang
menjemputnya. Untuk mengenang jasanya, para ahli waris Kiai Syarif mengubah nama
Pesantren “Tashilul Mubtadi’in” menjadi Pesantren “Kiai Syarifuddin”.
Kiai Syarif meninggalkan 4 orang putera. Mereka telah dikarunianya 14
anak. Dua diantaranya adalah KH Syuhada Syarif, pernah menjadi Ketua
PCNU Kencong (almarhum). Dan KH. Adenan Syarif, pengasuh Pesantren
Syarifuddin yang sampai saat ini berkembang cukup pesat. Ya, Kiai Syarif tidak hanya patut dikenang di papan nama, tapi juga
layak diteladani segala sepak terjangnya dalam kehidupan nyata.
0 komentar:
Posting Komentar