TOKOH; Catatan Sang Pendakwah Sejati Habib Mundzir Al Musawa
Ayah saya bernama Fuad Abdurrahman Al Musawwa, yang lahir di Palembang, Sumatera Selatan, dibesarkan di Makkah Al Mukarramah, dan kemudian mengambil gelar sarjana di New York University United States, di bidang Jurnalistik. Kemudian kembali ke Indonesia dan berkecimpung di bidang jurnalis, sebagai wartawan luar negeri, di harian Berita Yudha, yang kemudian di harian Berita Buana, beliau menjadi wartawan luar negeri selama kurang lebih empat puluh tahun, pada tahun 1996 beliau wafat dan dimakamkan di Cipanas cianjur jawa barat.
Nama saya Munzir bin Fuad bin Abdurrahman Al Musawwa, saya dilahirkan di Cipanas Cianjur Jawa barat, pada hari Jum’at 23 Februari 1973, bertepatan 19 Muharram 1393 H.
Setelah saya menyelesaikan sekolah menengah atas, saya mulai mendalami Ilmu Syariah Islam di Ma’had Assaqafah Al Habib Abdurrahman Assegaf di Bukit Duri Jakarta Selatan, lalu mengambil kursus Bahasa Arab di LPBA Assalafy Jakarta Timur, lalu memperdalam lagi Ilmu Syariah Islamiyah di Ma’had Al Khairat, Bekasi Timur, kemudian saya meneruskan untuk lebih mendalami Syari’ah ke Ma’had Darul Musthafa, Tarim Hadhramaut Yaman, selama empat tahun, disana saya mendalami Ilmu Fiqh, Ilmu tafsir Al Qur’an, Ilmu hadits, Ilmu sejarah, Ilmu tauhid, Ilmu tasawuf, mahabbaturrasul SAW, Ilmu dakwah, dan ilmu ilmu syariah lainnya.
Saya adalah seorang anak yg sangat dimanja oleh ayah saya, ayah saya selalu memanjakan saya lebih dari anaknya yang lain, namun dimasa baligh (dewasa), justru saya yang putus sekolah, semua kakak saya wisuda, ayah bunda saya bangga pada mereka, dan kecewa pada saya, karena saya malas sekolah, saya lebih senang hadir majelis maulid Almarhum Al Arif billah Alhabib Umar bin Hud Alattas, dan Majelis taklim Kamis sore di Empang Bogor, masa itu yang mengajar adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Husein bin Abdullah bin Muhsin Alattas dengan kajian Kitab Fathul Baari. Sisa hari-hari saya adalah bershalawat 1000 siang 1000 malam, zikir beribu kali, dan puasa Nabi Daud as, dan shalat malam berjam jam, saya pengangguran, dan sangat membuat ayah bunda malu.
Ayah saya 10 tahun belajar dan tinggal di Makkah, guru beliau adalah Almarhum Al Allamah Alhabib Alwi bin Abbas Al Maliki, ayah dari Almarhum Al Allamah Assayyid Muhammad bin Alwi Al Maliki, ayah saya juga sekolah di Amerika serikat, dan mengambil gelar sarjana di New York University. Almarhum ayah sangat malu, beliau mumpuni dalam agama dan mumpuni dalam kesuksesan dunia, beliau berkata pada saya "Kau ini mau jadi apa?", jika mau agama maka belajarlah dan tuntutlah ilmu sampai keluar negeri, jika ingin mendalami ilmu dunia maka tuntutlah sampai keluar negeri. Namun saranku tuntutlah ilmu agama saja, aku sudah mendalami keduanya, dan aku tak menemukan keberuntungan apa-apa dari kebanggaan orang yang sangat menyanjung negeri barat, walau aku sudah lulusan New York University, tetap aku tidak bisa sukses di dunia kecuali dengan kelicikan, saling sikut dalam kerakusan jabatan, dan aku menghindari itu. Maka ayahanda almarhum hidup dalam kesederhanaan di cipanas, cianjur, Puncak. Jawa Barat. Beliau lebih senang menyendiri dari ibukota, membesarkan anak-anaknya, mengajari anak-anaknya mengaji Alqur'an, membaca wirid Ratibul Haddad dan Athos, dan shalat berjamaah. Namun saya sangat mengecewakan ayah bunda karena boleh dikatakan dunia tidak akhiratpun tidak.
Namun saya sangat mencintai Rasul SAW, menangis merindukan Rasul SAW, dan sering dikunjungi Rasul SAW dalam mimpi. Rasul SAW selalu menghibur saya jika saya sedih, suatu waktu saya mimpi bersimpuh dan memeluk lutut beliau SAW, dan berkata wahai Rasulullah SAW aku rindu padamu, jangan tinggalkan aku lagi, butakan mataku ini asal bisa jumpa denganmu, atau matikan aku sekarang, aku tersiksa di dunia ini, Rasul SAW menepuk bahu saya dan berkata "Munzir, tenanglah, sebelum usiamu mencapai 40 tahun kau sudah jumpa dengan ku". maka saya pun terbangun.
Akhirnya karena ayah pensiun, maka ibunda membangun losmen kecil didepan rumah berupa 5 kamar saja, disewakan pada orang yang baik-baik, untuk biaya nafkah, dan saya adalah pelayan losmen ibunda saya. Setiap malam saya jarang tidur, duduk termenung dikursi penerimaan tamu yang cuma meja kecil dan kursi kecil mirip pos satpam, sambil menanti tamu, sambil tafakkur, merenung, melamun, berdzikir, menangis dan shalat malam demikian malam-malam saya lewati,
Siang hari saya puasa Nabi Daud as, dan terus dilanda sakit asma yang parah, maka itu semakin membuat ayah bunda kecewa. Bahkan berkata ibunda saya bahwa kalau kata orang, jika banyak anak, mesti ada satu yang gagal, ibu tak mau percaya pada ucapan itu, tapi apakah ucapan itu kebenaran ?. Saya terus menjadi pelayan di losmen itu, menerima tamu, memasang seprei, menyapu kamar, membersihkan toilet, membawakan makanan dan minuman pesanan tamu, berupa teh, kopi, air putih, atau nasi goreng buatan ibunda jika dipesan tamu.
Sampai semua kakak saya lulus sarjana, saya kemudian tergugah untuk mondok, maka saya memutuskan untuk masuk pesantren di Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf di Bukitduri Jakarta Selatan. Namun disana hanya dua bulan saja, saya tidak betah dan sakit sakitan, asma saya terus kambuh, maka saya pulang. Ayah makin malu, bunda makin sedih, lalu saya dipriivatkan kursus Bahasa Arab dikursus Assalafi, pimpinan Almarhum Habib Bagir Alattas, ayahanda dari Habib Hud Alattas yang kini sering hadir di majelis kita di Almunawar.
Saya harus pulang pergi Jakarta Cipanas yang saat itu ditempuh dalam 2-3 jam, dengan ongkos sendiri, demikian setiap dua kali seminggu, ongkos itu ya dari losmen ibunda tadi. Saya selalu hadir maulid di Almarhum Al Arif Billah Alhabib Umar bin Hud Alattas yang saat itu diadakan di Cipayung. Jika tak ada ongkos maka saya numpang truk dan sering hujan-hujanan pula.
Sering saya datang ke maulid beliau di malam Jumat dalam keadaan basah kuyup, dan saya diusir oleh pembantu dirumah beliau, karena karpet tebal dan mahal itu sangat bersih, tak pantas saya yang kotor dan basah menginjaknya, saya terpaksa berdiri saja berteduh dibawah pohon sampai hujan berhenti dan tamu-tamu berdatangan, maka saya duduk di luar teras saja karena baju basah dan takut dihardik sang penjaga.
Saya sering pula ziarah ke Luar Batang, makam Al Habib Husein bin Abubakar Alaydrus. Suatu kali saya lupa membawa peci, karena datang langsung dari Cipanas. Maka saya berkata dalam hati, wahai Allah SWT, aku datang sebagai tamu seorang wali-Mu, tak beradab jika aku masuk ziarah tanpa peci, tapi uangku pas pasan, dan aku lapar, kalau aku beli peci maka aku tak makan dan ongkos pulangku kurang.
Maka saya memutuskan beli peci berwarna hijau, karena itu yang termurah saat itu di emperan penjual peci. Saya membelinya dan masuk berziarah, sambil membaca Surat Yaasin untuk dihadiahkan pada almarhum, saya menangisi kehidupan saya yang penuh ketidaktentuan, mengecewakan orang tua, dan selalu lari dari sanak kerabat, karena selalu dicemooh, mereka berkata "Kakak-kakakmu semua sukses, ayahmu lulusan Makkah dan New York University, kenapa anaknya jadi pembantu losmen?." Maka saya mulai hari itu selalu menghindari kerabat, saat lebaranpun saya jarang berani datang, karena akan terus diteror dan dicemooh.
Walhasil dalam tangis itu saya juga berkata dalam hati, wahai wali Allah, aku tamumu, aku membeli peci untuk beradab padamu, hamba yang shalih disisi Allah, pastilah kau dermawan dan memuliakan tamu, aku lapar dan tak cukup ongkos pulang. Lalu dalam hati saya merenung, datanglah rombongan teman teman saya yang sekamar di pesantren di Habib Umar bin Abdurrahman Assegaf dengan satu mobil, mereka senang jumpa saya, sayapun ditraktir makan, saya langsung teringat ini berkah saya beradab di makam wali Allah.
Lalu saya ditanya dengan siapa dan mau kemana, saya katakan saya sendiri dan mau pulang ke kerabat ibu saya di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jakarta Selatan. Lalu mereka berkata “Ayo bareng saja, kita antar sampai Kebon Nanas, maka sayapun semakin bersyukur pada Allah, karena memang ongkos saya tak akan cukup jika pulang ke Cipanas, saya sampai larut malam di kediaman bibi dari Ibu saya, di di Pasar Sawo, Kebon Nanas, Jakarta Selatan. Lalu esoknya saya diberi uang cukup untuk pulang, sayapun pulang ke Cipanas..
Tak lama saya berdoa, wahai Allah, pertemukan saya dengan guru dari orang yang paling dicintai Rasul SAW, maka tak lama saya masuk pesantren Al Habib Hamid Nagib bin Syeikh Abubakar di Bekasi Timur, dan setiap saat mahalul qiyam maulid saya menangis dan berdoa pada Allah untuk rindu pada Rasul SAW, dan dipertemukan dengan guru yang paling dicintai Rasul SAW, dalam beberapa bulan saja datanglah Guru Mulia Al Musnid Al Allamah Al Habib Umar bin Hafidz ke pondok itu, kunjungan pertama beliau yaitu pada tahun 1994.
Selepas beliau menyampaikan ceramah, beliau melirik saya dengan tajam. Saya hanya menangis memandangi wajah sejuk itu, lalu saat beliau sudah naik ke mobil bersama Almarhum Alhabib Umar Maulakhela, maka guru mulia memanggil Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, guru mulia berkata bahwa beliau ingin saya dikirim ke Tarim Hadramaut Yaman untuk belajar dan menjadi murid beliau,
Guru saya Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar mengatakan saya sangat belum siap, belum bisa Bahasa Arab, murid baru dan belum tahu apa apa, mungkin beliau salah pilih. Maka guru mulia menunjuk saya. Beliau berkata : “Itu, anak muda yang pakai peci hijau itu. Anak itu yang saya inginkan”. Maka Guru saya Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar memanggil saya untuk jumpa beliau, lalu guru mulia bertanya dari dalam mobil yang pintunya masih terbuka : “siapa namamu?”, dalam Bahasa Arab tentunya, saya tak bisa menjawab karena tak faham, maka guru saya Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar menjawab : “Kau ditanya siapa namamu?”. Maka saya jawab nama saya, lalu guru mulia tersenyum.
Keesokan harinya saya jumpa lagi dengan guru mulia (Habib Umar Hadlromaut; red) di kediaman Almarhum Habib Bagir Alattas, saat itu banyak para habaib dan ulama mengajukan anaknya dan muridnya untuk bisa menjadi murid guru mulia, maka guru mulia mengangguk-angguk sambil kebingungan menghadapi serbuan mereka, lalu guru mulia melihat saya dikejauhan, lalu beliau berkata pada almarhum Umar Maulakhela : “Itu, anak itu yang pakai peci hijau, jangan lupa dicatat”.
Guru mulia kembali ke Yaman, sayapun langsung ditegur guru saya Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar, seraya berkata : “Wahai Munzir, kau harus siap-siap dan bersungguh-sungguh, kau sudah diminta berangkat, dan kau tak akan berangkat sebelum siap”. Dua bulan kemudian datanglah Almarhum Alhabib Umar Maulakhela ke pesantren, dan menanyakan saya, Almarhum Alhabib Umar Maulakhela berkata pada Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar : “Mana itu Munzir anaknya Habib Fuad Almusawa?, dia harus berangkat minggu ini, saya ditugasi untuk memberangkatkannya”. Maka Habib Nagib Bin Syeikh Abubakar berkata bahwa saya (Munzir; red) belum siap, namun Almarhum Alhabib Umar Maulakhela dengan tegas menjawab : “Saya tidak mau tahu, namanya sudah tercantum untuk harus berangkat, ini permintaan Al Habib Umar bin Hafidz, dan kamu harus berangkat dalam dua minggu ini bersama rombongan pertama.
Saya persiapkan pasport dan segala keperluannya, namun ayah saya keberatan, beliau berkata : “Kau sakit-sakitan, kalau kau ke Mekkah ayah tenang, karena banyak teman disana, namun ke Hadramaut itu ayah tak ada kenalan, disana negeri tandus, bagaimana kalau kau sakit?, siapa yang menjaminmu?”. Saya pun datang mengadu pada Almarhum Al Arifbillah Alhabib Umar bin Hud Alattas, beliau sudah sangat sepuh, dan beliau berkata : “Katakan pada ayahmu, saya yang menjaminmu, berangkatlah!”.
Saya katakan pada ayah saya, maka ayah saya diam, namun hatinya tetap berat untuk mengizinkan saya berangkat, saat saya mesti berangkat ke bandara, ayah saya tak mau melihat wajah saya, beliau buang muka dan hanya memberikan tangannya tanpa mau melihat wajah saya, saya kecewa namun saya dengan berat tetap melangkah ke mobil travel yang akan saya naiki, namun saat saya akan naik, terasa ingin berpaling ke belakang, saya lihat nun jauh disana ayah saya berdiri dipagar rumah dengan tangis melihat keberangkatan saya. Beliau melambaikan tangan tanda ridho, rupanya bukan beliau tidak ridho, tapi karena saya sangat disayanginya dan dimanjakannya, beliau berat berpisah dengan saya, saya berangkat dengan airmata sedih.
Singkat cerita, saya sampai di Tarim Hadramaut Yaman dikediaman guru mulia Al Habib Umar bin Muhammad bin Hafidz. Beliau mengabsen nama santri barunya satu persatu, ketika sampai ke nama saya dan beliau memandang saya dan tersenyum indah. Tak lama kemudian terjadi perang Yaman Utara dan Yaman Selatan. Kami di Yaman Selatan, pasokan makanan berkurang, makanan sulit, listrik mati, kamipun harus berjalan kaki. Kami harus menempuh jalan 3-4 km untuk taklim karena biasanya dengan mobil-mobil milik guru mulia namun dimasa perang pasokan bensin sangat minim. Suatu hari saya dilirik oleh guru mulia dan berkata : “Namamu Munzir, (Munzir = Pemberi Peringatan), saya mengangguk, lalu beliau berkata lagi : “Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak!”. Maka saya tercenung, dan terngiang-ngiang ucapan beliau : “Kau akan memberi peringatan pada jamaahmu kelak!’. Satu hal yang kemudian selalu menjadi pertanyaanku adalah apakah benar saya akan punya jamaah?, saya miskin begini bahkan untuk mencuci bajupun tak punya uang untuk beli sabun cuci.
Bahkan saya mencucikan baju teman saya dengan upah agar saya kebagian sabun cucinya, tapi malah saya dihardik : “Cucianmu tidak bersih!, orang lain saja yang mencuci baju ini”. Maka saya terpaksa mencuci dari air bekas mengalirnya bekas mereka mencuci, air sabun cuci yang mengalir itulah yang saya pakai mencuci baju saya.
Hari demi hari guru mulia makin sibuk, maka saya mulai berkhidmat pada beliau, dan lebih memilih membantu segala permasalahan santri, makanan mereka, minuman, tempat menginap dan segala masalah rumah tangga santri, saya tinggalkan pelajaran demi bakti pada guru mulia membantu beliau, dengan itu saya lebih sering jumpa beliau.
Dua tahun di Yaman, ayah saya sakit, dan telepon, beliau berkata : “Kapan kau pulang wahai anakku?,  aku rindu”.  Saya jawab : “Dua tahun lagi insya Allah ayah”. Ayah menjawab dengan sedih ditelepon, “Duh, masih lama sekali. Kemudian telepon ditutup, 3 hari kemudian ayah saya wafat.
Saya menangis sedih, sungguh kalau saya tahu bahwa saat saya pamitan itu adalah terakhir kali jumpa dengan beliau, dan beliau buang muka saat saya mencium tangan beliau, namun beliau rupanya masih mengikuti saya, keluar dari kamar, keluar dari rumah, dan berdiri di pintu pagar halaman rumah sambil melambaikan tangan sambil mengalirkan airmata. Duhai, kalau saya tahu itulah terakhir kali saya melihat beliau rahimahullah.
Tak lama saya kembali ke Indonesia, tepatnya pada 1998, mulai dakwah sendiri di Cipanas, namun kurang berkembang. Maka saya mulai dakwah di Jakarta, saya tinggal dan menginap berpindah pindah dari rumah kerumah murid sekaligus teman saya, majelis malam Selasa saat itu masih berpindah pindah dari rumah kerumah. Mereka murid-murid yang lebih tua dari saya, dan mereka kebanyakan dari kalangan awam, maka walau saya sudah duduk untuk mengajar, mereka belum datang, saya menanti, setibanya mereka yang cuma belasan saja, mereka berkata : “Nyantai dulu ya Habib, ngerokok dulu ya, ngopi dulu ya”. Saya terpaksa menanti sampai mereka puas, baru mulai Maulid Dhiya’ullami. Ketika jamaah makin banyak, mulai tak cukup dirumah-rumah, maka pindah, dari musholla ke musholla lain. Kemudian hari jamaah makin bertambah banyak, maka tak cukup pula musholla, mulai berpindah-pindah dari masjid ke masjid.
Lalu saya membuka Majelis dihari lainnya, dan malam Selasa mulai ditetapkan di Masjid Almunawar, saat itu baru seperempat masjid saja. Saya berkata : “Jamaah akan semakin banyak, nanti akan setengah masjid ini, lalu akan memenuhi masjid ini, lalu akan sampai keluar masjid insya allah”. Lalu jamaah mengaminkan doa saya itu. Mulailah dibutuhkan kop surat, untuk undangan dan keperluan kesekretariatan majelis. Maka majelis belum diberi nama, dan saya merasa majelis dan dakwah tak butuh nama. Mereka sarankan majelis Habib Munzir Almusawwa saja, tapi saya menolak. Ya sudah, akhirnya majelis ini dinamakan Majelis Rasulullah SAW.
Kini jamaah Majelis Rasulullah sudah jutaan, di Jabodetabek, Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Mataram, Kalimantan, Sulawesi, Papua, Singapura, Malaysia, bahkan sampai ke Jepang. Dan salah satunya kemarin hadir di Majelis Haul Badr kita di Monas, yaitu Profesor dari Jepang yang menjadi dosen disana, dia datang ke Indonesia dan mempelajari bidang sosial. Namun kedatangannya juga karena sangat ingin jumpa dengan saya, karena ia pengunjung setia web majelisrasulullah.org, khususnya yang versi english. Sungguh agung anugerah Allah SWT pada orang yang mencintai Rasulullah SAW, yang merindukan Rasulullah SAW. Itulah awal mula hamba pendosa ini sampai majelis ini demikian besar, usia saya kini 38 tahun jika dengan perhitungan hijriah, dan 37 tahun jika dengan perhitungan masehi. Saya lahir pada Jumat pagi 19 Muharram 1393 H, atau 23 Februari 1973 M.
Perjanjian Jumpa dg Rasul saw adalah sblm usia saya tepat 40 tahun, kini sudah 1432 H. Mungkin sebelum sempurna 19 Muharram 1433 H saya sudah jumpa dengan Rasul SAW, namun apakah Allah SWT akan menambah usia pendosa ini? Wallahu a’lam.
Adapun guru-guru beliau antara lain:
ü  Habib Umar bin Hud Al-Athas (Cipayung)
ü  Habib Aqil bin Ahmad Alaydarus
ü  Habib Umar bin Abdurahman Assegaf
ü  Habib Hud Bagir Al-Athas
ü  Al Ustadz Al-Habib Nagib bin Syeikh Abu Bakar (Pesantren Al-Khairat)
ü  Al Imam Al Allamah Al Arifbillah Al Hafidh Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim (Rubath Darul Mustafa,Hadramaut)
ü  Al-Allamah Al-Arifbillah Al-Habib Salim Asy-Syatiri (Rubath Tarim).

Dan yang paling berpengaruh didalam membentuk kepribadian beliau adalah Guru mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim.
Salah satu sanad Guru beliau adalah Al-Habib Munzir bin Fuad Al-Musawa berguru kepada Guru Mulia Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Musnid Al-Arifbillah Sayyidi Syarif Al-Habib Umar bin Muhammad bin Hafidh bin Syeikh Abu Bakar bin Salim, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdulqadir bin Ahmad Assegaf, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdullah Assyatiri, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ali bin Muhammad Al-Habsyi (Simtuddurar), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Abdurrahman Al-Masyhur (Shohibulfatawa), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Husen bin Thohir, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Umar bin Seggaf Assegaf, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Hamid bin Umar Ba’alawiy, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Habib Al-Hafizh Ahmad bin Zein Al-Habsyi, Dan beliau berguru kepada Al-Imam Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdullah bin Alawi Al-Haddad (Shohiburratib), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Husein bin Abubakar bin Salim, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Al-Allamah Al-Habib Abubakar bin Salim (Fakhrulwujud), Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Ahmad bin Abdurrahman Syahabuddin, Dan beliau berguru kepada Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman bin Ali (Ainulmukasyifiin), Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Abubakar Assakran, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abubakar bin Abdurrahman Assegaf, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Habib Abdurrahman Assegaf, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Muhammad Mauladdawilah, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Musnid Al-Habib Ali bin Alwi Alghayur, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Hafizh Al-Imam Faqihilmuqaddam Muhammad bin Ali Ba’alawiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali bin Muhammad Shahib Marbath, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Shahib Marbath bin Ali, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Khali’ Qasam bin Alwi, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Muhammad, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad bin Alwi, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Alwi bin Ubaidillah, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ahmad Al-Muhajir bin Isa Arrumiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqib, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Annaqib bin Ali Al-Uraidhiy, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Al-Uraidhiy bin Ja’far Asshadiq, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ja’far Asshadiq bin Muhammad Al-Baqir, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Muhammad Al-Baqir bin Ali Zainal Abidin, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Allamah Al-Imam Ali Zainal Abidin Assajjad, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Husein ra, Dan beliau berguru kepada ayahnya Al-Imam Ali bin Abi Thalib ra, Dan beliau berguru kepada Semulia-mulia Guru, Sayyidina Muhammad Rasulullah SAW, maka sebaik-baik bimbingan guru adalah bimbingan Rasulullah SAW.
Sanad guru beliau sampai kepada Rasulullah SAW, begitu pula nasabnya.
Silsilah/nasab habib munzir :
Munzir bin Fuad bin Abdurrahman bin Ali bin Abdurrahman bin Ali bin Aqil bin Ahmad bin Abdurrahman bin Umar bin Abdurrahman bin Sulaiman bin Yaasin bin Ahmad Almusawa bin Muhammad Muqallaf bin Ahmad bin Abubakar Assakran bin Abdurrahman Assegaf bin Muhammad Mauladdawilah bin Ali bin Alwi Alghayur bin Muhammad Faqihil Muqaddam bin Ali bin Muhammad Shahib Marbath bin Ali Khali’ Qasim bin Alwi bin Muhammad bin Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Almuhajir bin Isa Arrumiy bin Muhammad Annaqibm Ali Al Uraidhiy bin Jakfar Asshadiq bin Muhammad Albaqir bin Ali Zainal Abidin bin Husein Dari Sayyidatina Fathimah Azahra Putri Rasul SAW.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top