Ke-NU-an adalah segala sesuatu yang ada kaitannya dengan NU. Materi ke-NU-an dimaksudkan sebagai suatu materi yang membahas tentang  masalah yang ada hubungannya dengan Nahdlatul Ulama’. Baik mengenai pengertiannya, dasar dan tujuannya, sejarah perjuangannya maupun struktur organisasi.

NU adalah kepanjangan dari Nahdlatul Ulama yang secara harfiah artinya Kebangkitan Ulama. Pada hakekatnya Nahdlatul Ulama adalah organisasi umat Islam Indonesia yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Ahlussunnah Wal Jama’ah adalah golongan yang tetap teguh setia mengikuti dan memegang teguh segala apa yang datang dari Nabi Muhammad Saw baik berupa sabda, tindakan maupun ketetapan nabi, dan memegang teguh kepada segala yang datang dari sahabat-sahabatnya.

Ahlussunnah Wal Jama’ah landasan dasar/hukum berpedoman kepada Kitabullah AL-qur’an, Sunnah Nabi ( Hadis ), Ijma’ dan Qiyas.

Dalam masalah aqidah, Ahlussunnah Wal Jama’ah mengikuti Imam Abul Hasan Al Asy’ari dan Imam Abu Mansur Al  Maturidi, dibidang Fiqh mengikuti salah satu Madzhab empat yaitu : Imam Hanafi,Imam Maliki, Imam Syafi’i, Imam Hambali, sedang dibidang tasawuf mengikuti Imam Abul Qosim Al Junaidi dan Imam Ghozali.

Secara formal NU lahir pada Tanggal 16 Rajab 1344 H bertepatan dengan Tanggal 31 Januari 1926 M di Surabaya. Namun pada hakekatnya ajaran yang dianut dan diperjuangkan oleh  NU ini telah bersamaan dengan masuknya agama Islam di Indonesia.

Jika KH. Hasyim Asy’ari dikatakan sebagai pendiri NU, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah adalah sebagai orang yang mewujudkan gerakan tersebut menjadi suatu organisasi. Sepulang dari belajar di Makkah, KH. Abdul Wahab Hasbullah mendirikan Nahdlatul Wathon (1916)  di Surabaya. Organisasi ini bergerak pada bidang kepemudaan  dan pada tahun 1924 di Surabaya sedang bergejolak perjuangan politik melawan Belanda, disamping iti disana sini sedang membaranya masalah khilafiyah dikalangan umat. KH. Abdul Wahab Hasbullah sering terlibat dalam perdebatan sengit dengan ulama islam yang terkenal pada waktu itu untuk mencapai titik penyelesaiannya.

Sehubungan dengan pergolakan di Arab Saudi, maka KH. Abdul Wahab Hasbullah membentuk komite Hijaz yang merupakan delegasi untuk menghadap Raja Ibnu Sa’ud guna membicarakan masalah tersebut. Komite Hijaz inilah yang mengilhami berdirinya NU karena pertemuan yang diadakan pada tanggal 16 Rajab 1344 itu  memutuskan dua macam keputusan :

1.    Mengirim utusan ulama Indonesia ke Kongres dunia islam dengan memperjuangkan hukum ibadah berdasarkan madzhab empat.
2.      Membentuk organisasi (Jam’iyyah) yang akan mengirimkan utusan tersebut atas usul KH. AlwiAbdul Azis yang diberi nama Jam’iyyah Nahdlatul Ulama. Adapun nama ulama yang hadir pada waktu itu antara lain :

Ć¼  KH. Hasyim Asy’ari
Ć¼  KH. Bisyri Samsyuri
Ć¼  KH. Ridlwan
Ć¼  KH. Abdul Wahab Hasbullah
Ć¼  KH. Nahrowi
Ć¼  KH. Raden Asnawi
Ć¼  KH. Raden Hambali
Ć¼  KH. Nawawi
Ć¼  KH. Kholil

             Pada masa penjajahan Belanda sikap NU adalah tidak mau bekerja sama dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci terhadap penjajah, maka para Ulama mengharamkan sesuatu  yang berbau Belanda (Contoh : Pakai Celana, Dasi dll). Meskipun pada zaman Belanda tidak merupakan partai politik akan tetapi lapangan usahanya yang tidak hanya di bidang sosial keagamaan saja, namun international. Dalam melaksanakan dan mencerdaskan bangsa, sejak berdirinya NU telah mendirikan Pondok Pesantren, Madrasah yang tersebar luas diseluruh cabang-cabang di Indonesia.

                 Dalam melaksanakan usahyanya, NU selalu menempuh cara-cara ayang lazim dalam ajaran Islam yaitu : Musyawarah, Demokrasi. Setiap usaha untuk mempersatukan umat Islam, NU aktif mempelopori acara tersebut dengan segala upaya untuk terwujudnya ukhuwah Islamiyah. Pada zaman penjajahan Jepang karena gigihnya melawan penjajah, NU termasuk organisasi  yang dibubarkan oleh facisme Jepang. Menjelang masa Kemerdekaan, NU ikut aktif dalam BPUPKI, bahkan KH.Wahid Hasyim ikut aktif dalam mempelopori sebagai panitia perumus UUD1945 dan Pancasila.

        Setelah proklamasi kemerdekaan, Belanda masih tetap aktif ingin menjajah kembali bangsa Indonesia, waktu itu Belanda mendaratkan tentaranya di Surabaya dengan berkedok sekutu maka NU tampil kedepan dengan pandangan Resolusi Jihadnya pada tanggal 22 Oktober 1945 yang menyatakan  Fardlu ‘ain hukumnya jihad melawan kafir Belanda, sehingga mampu menggerakkan arek-arek Surabaya itu pada tanggal 10 Nopember 1945 melawan Belanda.

                Sejak terbentuknya kabinat Syahrir Ketia ( 1946 ) sampai dengan kabinet Pembangunan Pertama 1973, NU selalu diberi kepercayaan jabatan sebagai Menteri – menteri. Ketika terjadiaffair Madiun (PKI) 1948, dengan laskar Hizbullah dan dibawah pimpinan Zaenul Arifin dan Sabilillah dipimpin KH. Masykur turut aktif menumpas PKI. Sejak tahun 1952 NU menjelma sebagai partai politik dan peranan NU semakin nyata dalam segala aktifitasnya yang bersifat politis kenegaraan maupun sosial kemasyarakatan. Pada waktu terjadi G.30 S PKI, NU tampil sebagai pelopor yang pertama untuk  menuntut pada pemerintah/presiden agar PKI dan Banomnya  dibubarkan (oktober1965)

                 Didalam menumpas PKI dan penumbangan ORLA, manunggalnya ABRI bersama rakyat NU sangat menentukan. Pada waktu itu H. Subhan ZE menjadi ketua aksi penggayangan gestapu. GP.Ansor/Banser tampil terdepan dalam penggayangan tersebut. Pelajar dan mahasiswa NU turut ambil bagian terdepan dalam melaksanakan aksi penumbangan Orla dan Menegakkan Orba. Setelah adanya penyederhanaan partai 1975 dimana partai-partai Islam berfusi ke dalam wadah Partai Persatuan Pembangunan maka NU menyatakan menjadi Jam’iyyah sebagai kelahirannya 1926. Didalam masa pembangunan ini, partisipasi NU dalam negara dan bangsa digarap melalui bidang-bidang pokok :
o   Bidang da’wah dan penyiaran agama.
o   Bidang ekonomi  dan pembangunan.
o   Bidang sosial dan kesejahteraan ( Mabarot )

ASAS / AQIDAH, TUJUAN DAN LAMBANG NU
Aqidah    :   
Nahdlatul Ulama sebagai Jam’iyyah Diniyah Islamiyah beraqidah/berasas Islam menurut Faham Ahlussunnah Wal Jama’ah dan menganut salah satu dari madzhab empat: Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hambali.
Asas    :   
Dalam Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Nahdlatul Ulama Berpedoman Kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan Dan Keadilan Sosial Bagi Seluruh Indonesia.
Tujuan     :   
Berlakuanya ajaran Islam yangberhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah dan mengikuti salah satu madzhab 4 ditengah-tengah kehidupan masyarakat didalam wadah Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Lambang     :   
NU mempunyai lambang berupa gambar bola diikat dengan tali, dilingkari oleh lima bintas diatas garis khatulistiwa, sehingga seluruhnya berjumlah sembilan bintang, serta terdapat tulisan Nahdlatul Ulama dengan huruf Arab yang melintang bola dunia dan menelusuri garis khatulistiwa. Lambang tersebut diciptakan oleh KH. RIDLWAN ABDULLAH, dilukis dengan warna putih diatas warna  hijau.

STRUKTUR ORGANISASI
1.           Kepengurusan NU terdiri dari Musytasyar, Suriyah, Tanfidliyah.
2.           Mustasyar adalah pembina, pembimbing, penasehat kegiatan NU.
3.       Syuriah merupakan berfungsi sebagai pengelola, pengendali, pengawas, dan penentu kebijakan Jam’iyyah yang berlaku.
4.           Tanfidliyah merupakan pelaksana sehari-hari kegiatan NU.
5.           Mustasyar dibentuk hanya untuk tingkatan  pengurus Besar, Wilayah dan Cabang.
6.         Hak dan kewajiban syuriah dan Tanfidliyah diatur dalam Anggaran Dasar  dan Anggaran Rumah Tangga.

PENGERTIAN DAN KEDUDUKAN ULAMA DALAM NU
Jam’iyyah Nahdlatul Ulama adalah merupakan kumpulan para ulama yang bangkit dan membangkitkan pengikut-pengikutnya untuk dapat mengamalkan syariat Islam Ahlusunnah Wal jama’ah.
Kedudukan Ulama didalam NU menempati posisi sentral yaitu :
1         Ulama sebagai pendiri Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.
2        Ulama sebagai Pengelola Nahdlatul Ulama.
3        Ulama sebagai Pengendali Kebijakan – kebijakan Nahdlatul Ulama.
     Ulama sebagai panutan dan contoh tauladan bagi seluruh  warga Nahdlatul Ulama dan kaum Muslimin khususnya.

Itulah sebabnya, maka antara NU dan Ulama tidak dapat dipisah-pisahkan, artinya saling membesarkan, saling mengambil dan memberi manfaat. Nahdlatul Ulama tanpa Ulama akan gersang tidak ada artinya sama sekali, dan Ulama  yang keluar dari Nahdlatul Ulama berkurang bahkan hilang kemanfaatannya bagi masyarakat Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.

Dengan demikian posisi Ulama dan peranannya didalam Nahdlatul Ulama sangat penting, oleh karenanya secara organisatoris Ulama didalam NU disediakan lembaga khusus yang dinamakan “Lembaga Syuriah”.
Lembaga ini berfungsi sebagai pengelola, pengendali, Pengawas dan penentu semua kebijaksanaan dalam Nahdlatul Ulama, sehingga dapatlah dikatakan dan memang demikian kenyataannya, bahwa Ulama dan Nahdlatul Ulama  merupakan tiang penyangga utama atau soko guru.

Ulama dan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan, karena Jam’iyyah NU merupakan wadah untuk mempersatukan diri. Disamping itu NU juga merupakan wadah untuk menyatukan langkah. Dalam rangka usaha melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal jama’ah.
Merupakan kenyataan sejarah yang tidak bisa dibantah, bahwa keberadaan Ulama dan Nahdlatul Ulama  tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan umat Islam dan Nahdlatul Ulama tidak dapat dipisahkan dengan perkembangan umat Islam di Indonesia, semenjak masuknya sampai sekarang. 

A. Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Penjajahan Belanda

            Nahdlatul Ulama dalam setiap langkahnya selalu mengutamakan kepentingan bangsa dan negara. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, juga didasari nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.

            Peranan Nahdlatul Ulama pada masa penjajahan Belanda dapat dilihat pada Muktamar Nahdlatul Ulama ke-II di Banjarmasin pada tahun 1936. Pada saat itu ditetapkan kedudukan Hindia Belanda (Indonesia) sebagai Dar al-Salam, yang menegaskan keterikatan Nahdlatul Ulama dengan nusa-bangsa. Meskipun disadari peraturan yang berlaku tidak menggunakan Islam sebagai dasarnya, akan tetapi Nahdlatul Ulama tidak mempersoalkan, karena yang terpenting adalah umat Islam dapat melaksanakan syariat agamanya dengan bebas.

            Pada pekembangan selanjutnya, tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama mulai terlibat secara aktif dalam dunia politik. Hal ini terlihat pada saat tokoh-tokoh Nahdlatul Ulama ikut memprakarsai lahirnya Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) pada tahun 1937, yang kemudian dipimpin oleh KH. Abdul Wachid Hasyim. Ide mendirikan MIAI tidak bisa lepas dari kerangka usaha pengembangan Nahdlatul Ulama dalam perjuangan bangsa Indonesia sebelum kemerdekaan. Sebab baik dilihat dari sudut historis maupun semangat yang membentuk diri MIAI menjadi besar, tidak pernah lepas dari peranan Nahdlatul Ulama.

            MIAI pada dasarnya bergerak di bidang keagamaan, namun dalam setiap aktivitasnya sarat dengan muatan politik. MIAI berusaha mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik, melalui pengajuan tuntutan kepada penguasa, baik mengenai hal-hal yang secara langsung terkait dengan masalah keagamaan maupun tidak, bahkan masalah internasional. Tuntutan tersebut antara lain : Indonesia berparlemen, persoalan Palestina dan mencabut Guru Ordonantie tahun 1925.
            Pada masa penjajahan Belanda sikap Nahdlatul Ulama jelas, yaitu menerapkan politik non cooperation (tidak mau kerja sama) dengan Belanda. Untuk menanamkan rasa benci kepada penjajah, para ulama mengharamkan segala sesuatu yang berbau Belanda, sehingga semakin menumbuhkan rasa kebangsaan dan anti penjajah.Hal ini terlihat ketika Nahdlatul Ulama menolak mendudukkan wakilnya dalam Volksraad (DPR masa Belanda).

            Di samping itu para ulama Nahdlatul Ulama juga memberikan fatwa kepada umat Islam untuk tidak meniru pakaian model Belanda, seperti celana panjang atau pakaian berdasi, dengan sebuah landasan (qaul) yang Artinya : Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka ia menjadi bagian dari mereka.

Fatwa para ulama tersebut sangat ditaati oleh para santri, sehingga mereka lebih suka memakai sarung daripada celana panjang, meskipun sebenarnya tidak ada larangan dalam Islam untuk memakai celana panjang.

            Di saat Belanda datang lagi dengan membonceng tentara sekutu sambil mengultimatum agar Indonesia menyerah, Nahdlatul Ulama mengeluarkan mengeluarkan pernyataan yang dikenal dengan Resolusi Jihad pada tanggal 22 Oktober 1945 untuk mempertahankan kemerdekaan Republik Indonesia. Adapun isi Resolusi Jihad tersebut adalah :

 Kemerdekaan RI yang telah diproklamasikan tanggal 17 Agustus 1945 wajib dipertahankan.
Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintah wajib dibela dan dipertahankan.
Umat  Islam  Indonesia terutama warga Nahdlatul Ulama wajib mengangkat senjata melawan penjajah Belanda  dan kawan-kawannya yang hendak menjajah Indonesia kembali.

Kewajiban itu adalah suatu jihad yang menjadi kewajiban umat Islam yang berada pada radius 94 km (jarak diperbolehkannya menjama’ shalat). Adapun yang berada di luar radius itu berkewajiban membantu saudara-saudaranya yang berada dalam radius km tersebut.

            Resolusi jihad yang dikeluarkan oleh Nahdlatul Ulama berdampak besar di Jawa Timur. Pada tanggal 10 Nopember 1945 di Surabaya, terjadi sebuah pemberontakan massal, yang di dalamnya terdapat banyak pengikut Nahdlatul Ulama ikut terlibat aktif, di bawah pimpinan Bung Tomo. Peristiwa inilah yang kemudian dikenal dengan Hari Pahlawan. 

            Dalam rangka mempertahankan kemerdekaan tersebut, terbentuklah organisasi-organisasi perlawanan terhadap Belanda, antara lain Hizbullah di bawah pimpinan KH. Zainul Arifin dan Sabilillah di bawah pimpinan KH. Masjkur.
           
B. Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Pendudukan Jepang

            Sejarah bangsa Indonesia mencatat perkembangan baru setelah Maret 1942 Jepang menggantikan kedudukan Belanda. Pada mulanya kedatangan Jepang disambut dengan baik oleh bangsa Indonesia, tetapi berubah menjadi kebencian setelah diketahui bahwa Jepang tidak lebih baik dari Belanda.

            Rezim baru ini segera tampak lebih represif (menekan). Jendral Imamura (Panglima Jepang pertama di Jawa) mengeluarkan dekrit yang membekukan aktivitas organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan. Larangan ini sama artinya dengan membunuh aktivitas organisasi politik dan organisasi sosial kemasyarakatan, termasuk Nahdlatul Ulama dan MIAI. Bahkan KH. Hasyim Asy’ari dan KH. Mahfudz Shiddiq ditahan oleh Jepang.

            Ketika aktivitas organisasi sosial kemasyarakatan dibekukan, perjuangan ulama Nahdlatul Ulama difokuskan melalui jalur diplomasi. KH. Abdul Wahid Hasyim dan beberapa ulama lain masuk sebagai anggota Chuo Sangi-In (parlemen buatan Jepang). Melalui parlemen ini KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang mengizinkan Nahdlatul Ulama diaktifkan kembali dan pada bulan September 1943 permintaan tersebut dikabulkan.

            Pada akhir Oktober 1943 perjuangan diplomasi terus ditingkatkan melalui berdirinya wadah perjuangan baru bagi umat Islam Indonesia yang bernama Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi). KH. Hasyim Asy’ari diangkat sebagai pemimpin tertinggi dan KH. Abdul Wahid Hasyim duduk sebagai wakilnya. Masyumi adalah kelanjutan dari MIAI yang dibubarkan Jepang.

            Melalui Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim meminta Jepang melatih kemiliteran para santri di pesantren secara khusus dan terpisah. Pada 14 Oktober 1944 permintaan itu dikabulkan dengan dibentuknya Hizbullah dan Sabilillah. Permintaan ini merupakan akal cerdik KH. Abdul Wahid Hasyim, sebab pada akhirnya nanti, justru akan mengadili  Jepang dengan pucuk senjata.

            Sementara di bidang politik, selain aktif dalam Masyumi KH. Abdul Wahid Hasyim juga duduk sebagai pimpinan tertinggi Shumubu (Kantor Urusan Agama) menggantikan KH. Hasyim Asy’ari. Shumubu pada awalnya dipimpin oleh Kolonel Horrie yang bertugas mengawasi secara ketat organisasi-organisasi Islam, terutama terhadap pendidikan Islam.

            Sikap menentang keras Nahdlatul Ulama terhadap Jepang terlihat ketika ada perintah untuk melakukan seikere(ritual penghormatan kepada Tenno Heika dengan posisi siap membungkukkan badan 90 derajat semacam ruku’ dalam shalat). Perintah ini diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia tanpa kecuali, setiap pagi sebelum melakukan aktivitas. KH. Hasyim Asy’ari menyerukan kepada seluruh umat Islam khususnya warga Nahdlatul Ulama untuk tidak melakukan seikere karena hukumnya haram.

            Semasa pendudukan Jepang aktivitas Nahdlatul Ulama terpusat pada perjuangan membela tanah air baik secara fisik maupun politik. Nahdlatul Ulama sudah tidak lagi mengkhususkan diri pada urusan sosial kemasyarakatan dan keagamaan saja, melainkan juga melibatkan diri pada urusan politik.

C. Peran Nahdlatul Ulama Dalam Membentuk Dasar Negara

            Bahwa perjuangan umat Islam Indonesia untuk menolak penjajahan dan memperjuangkan kemerdekaan bangsa dari tangan penjajah telah berlangsung sejak lama. Begitu pula ketika perjuangan merebut kemerdekaan sudah mendekati keberhasilannya. Umat Islam memberikan saham yang sangat besar dalam mempersiapkan lahirnya Negara Indonesia merdeka, yaitu melalui para pemimpinnya, umat Islam ikut menentukan wujud, asas dan hukum negara yang akan lahir itu.

            Untuk mematangkan persiapan Indonesia menyambut kemerdekaannya, pada tanggal 29 April 1945 dibentuklah Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, BPUPKI) yang anggotanya berjumlah 62 orang diketuai oleh Soekarno dan Mohammad Hatta sebagai wakilnya juga di dalamnya KH. Abdul Wahid Hasyim sebagai anggota.

            Selanjutnya KH. Abdul Wahid Hasyim juga terlibat aktif dalam perumusan konstitusi dan  dasar negara bersama tokoh lain, yaitu : Soekarno, Mohammad Hatta, Muhammad Yamin, Achmad Soebardjo, Abikoesno Tjokrosoejoso, H. Agus Salim, A.A. Maramis dan Abdul Kahar Muzakkir yang disebut Panitia Sembilan. Mereka membubuhkan tanda tangannya pada Piagam Jakarta pada tanggal 22 Juni 1945.

            Piagam Jakarta sendiri merupakan kesepakatan awal antara golongan Islam dengan golongan nasionalis dalam hal perumusan Undang-Undang Dasar. Kesepakatan itu termaktub dalam suatu naskah yang akan dijadikan sebagai preambul atau pembukaan Undang-Undang Dasar. Dalam naskah pembukaan itulah disebutkan bahwa Pancasila menjadi dasar negara Indonesia.

            Bagi Nahdlatul Ulama Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 merupakan bentuk final dari sistem kebangsaan dan akan terus dipertahankan kelestariannya, telah menjadi salah satu bukti bahwa Nahdlatul Ulama memiliki semangat nasionalisme yang tinggi.

D.  Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Keagamaan Dan Ekonomi

1.    Bidang Keagamaan

            Sejak berdiri Nahdlatul Ulama menegaskan dirinya sebagai organisasi keagamaan Islam (Jam’iyyah Diniyyah Islamiyah). Nahdlatul Ulama didirikan untuk meningkatkan mutu pribadi-pribadi muslim yang mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya dengan ajaran agama Islam serta mengembangkannya, sehingga terwujudlah peranan agama Islam dan para pemeluknya sebagai rahmatan lil ‘alamin (sebagai rahmat bagi seluruh alam) sebagaimana firman Allah SWT :

ŁˆŁ…Ų§ Ų£Ų±Ų³Ł„Ł†Ų§Łƒ Ų„Ł„Ų§ Ų±Ų­Ł…Ų© Ł„Ł„Ų¹Ų§Ł„Ł…ŁŠŁ†

Artinya : Tidaklah  Kami  mengutusmu  (Muhammad) kecuali menjadi rahmat bagi seluruh alam. (QS. Ali Imran 107)

                        Sebagai organsasi keagamaan, Nahdlatul Ulama merupakan bagian tak terpisahkan dari umat Islam Indonesia yang senantiasa berusaha memegang teguh prinsip persaudaraan (ukhuwah), toleransi (tasamuh), kebersamaan dan hidup berdampingan antar sesama umat Islam maupun dengan sesama warga negara yang mempunyai keyakinan atau agama lain untuk bersama-sama mewujudkan cita-cita persatuan dan kesatuan bangsa yang kokoh dan dinamis.

            Sebagai organisasi keagamaan, tentunya Naahdlatul Ulama memiliki ciri keagamaan yang dapat dilihat dalam beberapa hal, antara lain :

Didirikan karena motif keagamaan, tidak karena dorongan politik, ekonomi atau lainnya.

Berasas keagamaan sehingga segala sikap tingkah laku dan karakteristik perjuangannya selalu disesuaikan dan diukur dengan norma hukum dan ajaran agama.

Bercita-cita keagamaan yaitu Izzul Islam wal Muslimin(kejayaan Islam dan kaum muslimin) menuju Rahmatan lil ‘Alamin (menyebar rahmat bagi seluruh alam).

Menitikberatkan kegiatannya pada bidang-bidang yang langsung berhubungan dengan keagamaan, seperti masalah ubudiyyah, mabarrat, dakwah, ma’arif, muamalah dan sebagainya.

             Ciri keagamaan tersebut dijabarkan dalam strategi dan wujud kegiatan-kegiatan pokok, dengan mengutamakan :

Pembinaan pribadi-pribadi muslim supaya mampu menyesuaikan hidup dan kehidupannya menuju terwujudnya Jama’ah Islamiyah (masyarakat Islam).

Dorongan dan bimbingan kepada umat terutama pada warganya untuk mau dan mampu melakukan kegiatan-kegiatan yang bermanfaat dan rangkaian perjuangan besar meluhurkan kalimah Allah SWT.

Mengorganisasikan kegiatan-kegiatan tersebut dalam wadah perjuangan dengan tata kerja dan tata tertib berdasar musyawarah.

2.    Bidang Ekonomi

Bagi semua orang, berekonomi dalam pengertian berbuat untuk mendapat nafkah hidup adalah suatu kebutuhan mutlak. Bagi orang beragama, berekonomi adalah perintah Allah SWT dan pelaksanaannya harus disesuaikan dengan ajaran dan hukum agama. Berekonomi adalah sarana mutlak untuk memelihara kelangsungan hidup dan di dalam hidup itulah orang dapat ibadah, berbuat sesuatu untuk kepentingan agama, bangsa dan Negara.

Berekonomi dalam Islam adalah sekedar memenuhi kebutuhan pokok bagi diri sendiri dan keluarga. Tetapi Islam tidak membiarkan pemeluknya hanya sekedar mampu memenuhi kebutuhan yang paling minim bagi diri dan keluarganya saja.

Islam mendorong secara tegas supaya para pemeluknya memiliki harta benda yang berlebih dari kebutuhan pokoknya, sehingga mampu melaksanakan kewajiban berzakat. Mampu berzakat berarti memiliki harta benda sedikitnya satu nisab. Orang baru terlepas dari kewajiban itu setelah ternyata tidak mampu, Islam tidak menyenangi kemiskinan, bahkan mengajarkan pemberantasan kemiskinan antara lain dengan kewajiban membayar zakat.

Nahdlatul Ulama tidak melupakan aspek ekonomi dalam program kerjanya yang permanen, karena seluruh warganya berekonomi dan dalam berekonomi itu harus ditaati dan diikuti ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh agama.

Dalam Anggaran Dasar Nahdlatul Ulama pasal 6 huruf d ditegaskan bahwa di bidang ekonomi, mengusahakan terwujudnya pembangunan ekonomi dengan mengupayakan pemerataan kesempatan untuk berusaha dan menikmati hasil-hasil pembangunan dengan mengutamakan tumbuh dan berkembangnya ekonomi kerakyatan. Dengan demikian jelas bahwa kesejahteraan umat merupakan masalah yang menjadi perhatian utama Nahdlatul Ulama dalam kiprahnya di bidang ekonomi.

Program berekonomi Nahdlatul Ulama dibatasi tidak lebih dari pokok-pokok ajaran agama dalam berekonomi, yaitu :

Mendorong para anggotanya untuk meningkatkan kegiatannya berekonomi demi meningkatkan kemampuan ekonominya.

Membimbing para anggotanya supaya dalam berekonomi selalu mentaati dan mengikuti hukum dan ajaran Islam.

Berangkat dari pokok-pokok di atas, maka Nahdlatul Ulama dapat mewujudkannya dengan cara :

Membentuk koperasi tingkat bawah yang tumbuh dari kebutuhan nyata.

Menciptakan jaringan-jaringan kerja ekonomi antara tingkat pedesaan dengan pedesaan, perkotaan dengan perkotaan dan pedesaan dengan perkotaan.

Nahdlatul Ulama selalu mengajukan gagasan, ajakan dan pengawasan tentang penentuan skala prioritas pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Nahdlatul Ulama juga mengembangkan ekonomi melalui peran serta pesantren, karena terbukti sangat efektif. Letak pesantren yang pada umumnya di pedesaan memungkinkan lembaga ini memahami persoalan-persoalan desa, sehingga gagasan-gagasan pengembangan kesejahteraan yang datang dari luar dapat diserap dengan baik oleh masyarakat setelah diolah dan disampaikan oleh pesantren. Disamping itu Nahdlatul Ulama juga memiliki perangkat organisasi yang mendukung program ekonominya, seperti : lembaga perekonomian dan lembaga pengembangan pertanian.

B.   Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Pendidikan

            Nahdlatul Ulama memaknai pendidikan tidak semata-mata sebagai sebuah hak, melainkan juga kunci dalam memasuki kehidupan baru. Pendidikan merupakan tanggung jawab bersama dan harmonis antara pemerintah, masyarakat dan keluarga. Ketiganya merupakan komponen pelaksana pendidikan yang interaktif dan berpotensi untuk melakukan tanggung jawab dan harmonisasi.

            Fungsi pendidikan bagi Nahdlatul Ulama adalah, satu, untuk mencerdaskan manusia dan bangsa sehingga menjadi terhormat dalam pergaulan bangsa di dunia, dua, untuk memberikan wawasan yang plural sehingga mampu menjadi penopang pembangunan bangsa.

            Gerakan pendidikan Nahdlatul Ulama sebenarnya sudah dimulai sebelum Nahdlatul Ulama sebagai organisasi secara resmi didirikan. Cikal bakal pendidikan Nahdlatul Ulama dimulai dari berdirinya Nahdlatul Wathan, organisasi penyelenggara pendidikan yang lahir sebagai produk pemikiran yang dihasilkan oleh forum diskusi yang disebut Tashwirul Afkar, yang dipimpin oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah. Organisasi ini mempunyai tujuan untuk memperluas dan mempertinggi mutu pendidikan sekolah atau madrasah yang teratur.

            Dalam mengusahakan terciptanya pendidikan yang baik, maka Nahdlatul Ulama memandang perlunya proses pendidikan yang terencana, teratur dan terukur.Sekolah atau madrasah menjadi salah satu program permanen Nahdlatul Ulama, disamping jalur non formal seperti pesantren.

            Sekolah atau madrasah yang dimiliki Nahdlatul Ulama memiliki karakter yang khusus, yaitu karakter masyarakat. Diakui sebagai milik masyarakat dan selalu bersatu dengan masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat. Sejak semula masyarakat mendirikan sekolah atau madrasah selalu dilandasi oleh mental, percaya pada diri sendiri dan tidak menunggu bantuan dari luar. Pada masa penjajahan, Nahdlatul Ulama secara tegas menolak bantuan pemerintah jajahan bagi sekolah atau madrasah dan segala bidang kegiatannya.

            Lembaga Pendidikan Ma’arif (LP Ma’arif) yang berdiri pada tanggal 19 September 1929 M atau bertepatan dengan 14 Rabiul Tsani 1347 H adalah lembaga yang membantu Nahdlatul Ulama di bidang pendidikan yang selalu berusaha meningkatkan dan mengembangkan sekolah atau madrasah menjadi lebih baik.

            Sebagai lembaga yang diberi kewenangan untuk mengelola pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama, LP Ma’rif mempunyai visi dan misi yang selalu diperjuangkan demi meningkatkan kualitas pendidikan di lingkungan Nahdlatul Ulama. Visi dan misi yang dimaksud adalah :

1.   Visi
o   Terciptanya manusia unggul yang mampu berkompetisi dan sains dan teknologi serta berwawasan Ahlussunnah Wal Jama’ah.
o   Tersedianya kader-kader bangsa yang cakap, terampil dan bertanggung jawab dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang berakhlak karimah.
o   Terwujudnya kader-kader Nahdlatul Ulama yang mandiri, kreatif dan inovatif dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat.
2.   Misi
o   Menjadikan lembaga pendidikan yang berkualitas unggul dan menjadi idola masyarakat.
o   Menjadikan lembaga pendidikan yang independen dan sebagai perekat komponen bangsa.

Selain sekolah atau madrasah, pendidikan lain yang dikelola Nahdlatul Ulama adalah pesantren. Dengan segala dinamikanya, keberadaan pesantren telah memberikan sumbangan besar yang tidak ternilai harganya dalam mencerdaskan anak bangsa, menyuburkan tradisi keagamaan yang kuat serta menciptakan generasi yang berakhlak karimah.

            Pendidikan pesantren dirancang dan dikelola oleh masyarakat, sehingga pesantren memiliki kemandirian yang luar biasa, baik dalam memenuhi kebutuhannya sendiri, mengembangkan ilmu (agama) maupun dalam mencetak ulama.Para lulusan pesantren tidak sedikit yang tampil dalam kepemimpinan nasional, baik dalam reputasi kejuangan, keilmuan, kenegaraan maupun kepribadian.

            Tradisi keilmuan dan keahlian dalam pesantren ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut :
o   Adanya tahapan-tahapan materi keilmuan.
o   Adanya hirarki kitab-kitab yang menjadi bahan kajian.
o  Adanya metodologi pengajaran yang bervariasi (pola terpimpin, pola mandiri dan ekspresi).
o   Adanya jaringan pesantren yang menggambarkan tingkatan pesantren.

            Salah satu tugas besar yang menjadi tanggung jawab Nahdlatul Ulama dalam pengembangan pendidikan pesantren adalah bagaimana menggali nilai-nilai tradisi yang menjadi ciri khasnya dengan ajaran Islam untuk menyongsong masa depan yang lebih baik. Hanya dengan demikian Nahdlatul Ulama akan mampu memberikan arti keberadaan dan kebermaknaannya dalam masyarakat, bangsa dan kemanusiaan.

C.  Peran Nahdlatul Ulama Pada Masa Reformasi

            Masa reformasi yang menjadi tanda berakhirnya kekuasaan pemerintahan orde baru merupakan sebuah momentum bagi Nahdlatul Ulama untuk melakukan pembenahan diri. Selama rezim orde baru berkuasa, Nahdlatul Ulama cenderung dipinggirkan oleh penguasa saat itu. Ruang gerak Nahdlatul Ulama pada masa orde baru juga dibatasi, terutama dalam hal aktivitas politiknya.

            Pada masa reformasi inilah peluang Nahdlatul Ulama untuk memainkan peran pentingnya di Indonesia kembali terbuka. Nahdlatul Ulama yang merupakan ormas Islam terbesar di Indonesia, pada awalnya lebih memilih sikap netral menjelang mundurnya Soeharto. Namun sikap ini kemudian berubah, setelah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) mengeluarkan sebuah pandangan untuk merespon proses reformasi yang berlangsung di Indonesia, yang dikenal  dengan Refleksi Reformasi.

            Refleksi reformasi ini berisi delapan butir pernyataan sikap dari PBNU, yaitu :
a.     Nahdlatul Ulama memiliki tanggung jawab moral untuk turut menjaga agar reformasi berjalan kea rah yang lebih tepat.
b.  Rekonsiliasi nasional jika dilaksanakan harus ditujukan untuk merajut kembali ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan) dan dirancang kea rah penataan sistem kebangsaan dan kenegaraan yang lebih demokratis, jujur dan berkeadilan.
c.    Reformasi jangan sampai berhenti di tengah jalan, sehingga dapat menjangkau terbentuknya sebuah tatanan baru dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
d.  Penyampaian berbagai gagasan yang dikemukakan hendaknya dilakukan dengan hati-hati, penuh kearifan dan didasari komitmen bersama serta dihindari adanya pemaksaan kehendak.
e.      Kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu harus disikapi secara arif dan bertanggung jawab.
f.        TNI harus berdiri di atas semua golongan.
g.     Pemberantasan KKN harus dilakukan secara serius dan tidak hanya dilakukan pada kelompok tertentu
h.  Praktik monopoli yang ada di Indonesia harus segera dibasmi tuntas dalam setiap praktik ekonomi.

            Pada perkembangan selanjutnya, PBNU kembali mengeluarkan himbauan yang isinya menyerukan agar agenda reformasi diikuti secara aktif oleh seluruh lapisan dan jajaran Nahdlatul Ulama. Himbauan itu dikeluarkan pada tanggal 31 Desember 1998 yang ditandatangani oleh KH. M. Ilyas Ruhiyat, Prof. Dr. KH. Said Agil Siraj, M.A., Ir. H. Musthafa Zuhad Mughni dan Drs. Ahmad Bagdja.

            Menjelang Nopember 1998, para mahasiswa yang merupakan elemen paling penting dalam gerakan reformasi, makin menjadi tidak sabar dengan tokoh-tokoh nasional yang enggan bergerak cepat dalam gerakan reformasi ini. Pada tanggal 10 Nopember 1998 para mahasiswa merancang sebuah pertemuan dengan mengundang KH. Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri, Prof.Dr. Amien Rais dan Sri Sultan Hamengkubuwono X. Tempat pertemuan ini dipilih di Ciganjur (rumah KH. Abdurrahman Wahid), karena kondisi kesehatan KH. Abdurrahman Wahid saat itu belum sembuh total dari serangan stroke yang menimpanya.

            Keempat tokoh nasional pro reformasi tersebut membentuk sebuah kelompok yang sering disebut Kelompok Ciganjur. Kelompok ini kemudian mengeluarkan sebuah deklarasi yang dikenal dengan Deklarasi Ciganjur, yang berisi delapan tuntutan reformasi, yaitu :

a.        Menghimbau  kepada semua pihak agar tetap menjunjung tinggi kesatuan dan pesatuan bangsa.
b.     Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat dan memberdayakan lembaga perwakilan  sebagai penjelmaan aspirasi rakyat.
c.  Mengembalikan kedaulatan ke tangan rakyat sebagai asas perjuangan di dalam proses pembangunan bangsa.
d.      Pelaksanaan reformasi harus diletakkan dalam perspektif kepentingan yang akan datang.
e.      Segera dilaksanakan pemilu oleh pelaksana independent.
f.       Penghapusan dwi fungsi ABRI secara bertahap, paling lambat 6 tahun dari tanggal pernyataan ini dibacakan.
g.       Menghapus dan mengusut pelaku KKN, yang diawali dari kekayaan Soeharto dan kroni-kroninya.
h.      Mendesak untuk segera dibubarkannya PAM Swakarsa.

            Gerakan reformasi harus dijalankan dengan cara-cara yang damai dan menolak segala bentuk tindakan kekerasan atas nama reformasi. Di berbagai wilayah Indonesia digelar istighosah yang bertujuan untuk memohon kepada Allah SWT agar bangsa Indonesia dapat segera terbebas dari krisis yang sedang melanda. Istighosah terbesar yang diselenggarakan oleh Nahdlatul Ulama diadakan di Jakarta pada bulan Juli 1999, yang dihadiri tokoh-tokoh nasional. Dengan penyelengaraan istighosah, diharapkan dapat mempererat silaturahim dan mengurangi ketegangan antar komponen bangsa.

D.  Peran Nahdlatul Ulama Dalam Bidang Politik

            Menurut KH. Ahmad Mustofa Bisri, setidaknya ada 3 jenis politik dalam pemahaman Nahdlatul Ulama, yaitu politik kebangsaan, politik kerakyatan dan politik kekuasaan. Nahdlatul Ulama sejak berdiri memang melakukan aktivitas politik, terutama dalam pengertian yang pertama, yakni politik kebangsaan, karena Nahdlatul Ulama sangat berkepentingan dengan keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

            Dalam sejarah perjalanan Indonesia, tercatat bahwa Nahdlatul Ulama selalu memperjuangkan keutuhan NKRI. Selain dilandasi oleh nilai-nilai ke-Islam-an, kebijakan-kebijakan yang diambil oleh Nahdlatul Ulama juga didasari oleh nilai-nilai ke-Indonesia-an dan semangat nasionalisme yang tinggi.

            Politik jenis kedua yang dijalankan oleh Nahdlatul Ulama yaitu politik kerakyatan. Politik kerakyatan bagi Nahdlatul Ulama sebenarnya adalah perwujudan dari prinsip amar ma’ruf nahi munkar yang ditujukan kepada penguasa untuk membela rakyat. Hal itulah yang kemudian diambil alih oleh generasi muda Nahdlatul Ulama melalui LSM-LSM, ketika melihat Nahdlatul Ulama secara structural kurang peduli terhadap permasalahan yang menyangkut kepentingan rakyat kecil.

            Nahdlatul Ulama juga menjalankan politik jenis ketiga, yaitu politik kekuasaan atau yang lazim disebut politik praktis. Politik kekuasaan merupakan jenis politik yang paling banyak menarik perhatian orang Nahdlatul Ulama. Dalam catatan sejarah, terlihat bahwa Nahdlatul Ulama pernah mendapatkan kesuksesan dalam pemilu pertama di Indonesia pada tahun 1955. Pada saat itu, dalam waktu persiapan yang relative sangat pendek, Partai Nahdlatul Ulama yang baru keluar dari Masyumi dapat menduduki peringkat ketiga setelah PNI dan Masyumi yang sangat siap waktu itu. Disusul pada pemilu pertama orde baru pada tahun 1971, dimana Partai Nahdlatul Ulama menduduki posisi kedua setelah Golongan Karya. Sejak saat itu banyak tokoh Nahdatul Ulama yang terjun ke dunia politik praktis. Hal ini membawa dampak negatif pada aktivitas penting Nahdlatul Ulama lainnya seperti dalam bidang pendidikan, ekonomi, sosial dan dakwah yang menjadi terbengkalai.

            Menyadari bahwa Nahdlatul Ulama merupakan satu kesatuan yang integral dari para anggotanya dengan aneka ragam latar belakang dan aspirasi masing-masing dan demi mengembangkan budaya politik yang bertanggung jawab, maka Nahdlatul Ulama memberikan pedoman berpolitik sebagai berikut :

a.   Berpolitik mengandung arti keterlibatan warga Negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
b. Berpolitik yang berwawasan kebangsaan dan menuju integrasi bangsa dengan menjunjung tinggi persatuan dan kesatuan.
c. Berpolitik dengan mengembangkan nilai-nilai kemerdekaan yang hakiki dan demokratis, menyadari hak, kewajiban dan tanggung jawab untuk mencapai kemaslahatan bersama.
d. Berpolitik harus dilakukan dengan moral, etika dan budaya sesuai dengan nilai-nilai sila-sila Pancasila.
e.    Berpolitik harus dilakukan dengan kejujuran nurani dan moral agama.
f.   Berpolitik dilakukan untuk memperkokoh consensus-konsensus nasional dan dilaksanakan sesuai dengan akhlakul karimah sebagai pengamalan ajaran Islam Ahlussunnah Wal Jama’ah.
g.   Berpolitik dengan dalih apapun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepentingan bersama dan memecah belah persatuan.
h.   Perbedaan pandangan harus tetap berjalan dalam suasana persaudaraan dan saling menghargai.
i.  Berpolitik menuntut adanya komunikasi kemasyarakatan timbal balik dalam pembangunan nasional.

                  Dengan berpedoman pada etika politik di atas, menurut Ir. KH. Salahuddin Wahid, Nahdlatul Ulama dapat mewujudkan peran politik yang ideal dengan selalu berpegang pada prinsip-prinsip, pertama, memperhatikan kepentingan bangsa dan negara serta agama, kedua, memperhatikan kepentingan Nahdlatul Ulama, baik secara jama’ah (komunitas) maupun jam’iyyah (organisasi), ketiga, orang-orang Nahdlatul Ulama yang memiliki jabatan dalam structural organisasi Nahdlatul Ulama tidak masuk ke dalam wilayah politik praktis.

                  Selanjutnya dalam merespon perkembangan politik pada masa reformasi, Nahdlatul Ulama memfasilitasi pendeklarasian sebuah partai politik. Pendeklarasian partai tersebut bertujuan untuk menyalurkan dan memproses warga nahdliyin yang ingin berkiprah dalam politik praktis agar menjadi politisi sejati, yang pada gilirannya menjadi negarawan.

                  Pada sisi lain, Nahdlatul Ulama memberikan kebebasan pada warganya untuk memasuki partai politik manapun yang diyakininya dapat menjadikan dirinya sebagai politisi sejati dan negarawan. Dengan catatan senantiasa mengacu pada etika berpolitik nahdliyin yang didasarkan pada nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah dan tidak kehilangan kesetiaan kepada cita-cita dan kepentingan Nahdlatul Ulama.

            Di antara ajaran Ahlussunnah Wal Jama'ah adalah keberadaan Al-Qur'an yang diyakini sebagai kitab Allah SWT yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW sebagai petunjuk dan pembimbing manusia. Ahlussunnah Wal Jama'ah juga mengajarkan bahwa Nabi Muhammad SAWadalah manusia biasa yang sempurna, sehingga ia mampu berperan sebagai teladan sekaligus panutan yang baik.

            Doktrin di atas di internal kaum nahdliyin melahirkan pemikiran dan tradisi pemuliaan sekaligus panutan yang baik. Di bawah ini dijelaskan sebagian amalan-amalan tersebut.

A.  Dasar Dan Hakekat Do’a Qunut

            Qunut adalah do’a yang dibaca pada saat tertentu dan karena keadaan tertentu. Qunut dibagi dua macam, yaitu qunut witir atau qunut subuh dan qunut nazilah. Imam Syafi’i menyatakan bahwa qunut sunnah dibaca dalam shalat subuh berdasarkan hadits dari Anas bin Malik yang menyatakan : Rasulullah  SAW  senantiasa  membaca  qunut pada shalat subuh hingga beliau wafat. (HR. Ahmad bin Hambal). Apa yang dilakukan Rasulullah SAW itu kemudian diikuti oleh para sahabat, seperti Umar bin Khattab ra.

            Qunut dalam shalat subuh adalah sunnah muakkad, andaikata ditinggalkan, baik sengaja atau karena lupa, tidak batal shalatnya, akan tetapi melakukan sujud sahwi. Qunut dalam shalat subuh dilakukan setelah mengangkat kepala dari ruku’ dalam rakaat kedua. Do’a qunut juga dilakukan pada separuh akhir bulan Ramadlan dalam rakaat terakhir dari shalat witir.

            Sedangkan qunut nazilah adalah qunut yang dibaca kaum muslimin dalam shalat fardlu ketika umat Islam menghadapi bahaya, wabah penyakit, tantangan, bencana dan permusuhan dari orang-orang kafir. Apabila bahaya yang mengancam itu sudah berakhir, maka berakhir pula pembacaan qunutnya.

            Pembacaan qunut nazilah berdasarkan atas sunnah Rasulullah SAW, “ Rasulullah SAW mengadakan qunut selama satu bulan untuk mendo’akan pembunuh-pembunuh para sahabatnya di Bir al-Maunah “ (HR. Bukhari dan Muslim).

            Hadits lain dari Abu Hurairah ra menyebutkan, “ Sesungguhnya apabila ingin mendo’akan seseorang, Nabi Muhammad SAW membaca qunut sesudah ruku’ “ (HR. Bukhari dan Ahmad Ibnu Hambal).

B.   Arti Penting Ziarah Kubur

            Nahdlatul Ulama akrab dengan budaya ziarah kubur, yaitu mendatangi makam-makam orang tua, kakek, nenek, anak, leluhur, para ulama, wali dan lain sebagainya untuk mendo’akan atau bertawasul kepada mereka. Biasanya waktu yang dipilih adalah Kamis sore atau Jum’at pagi. Di atas makam mereka membaca tahlil dan ayat-ayat Al-Qur’an, yang pahalanya dihadiahkan pada ahli kubur tersebut. Bagi mereka yang peka lingkungan, sebelum kirim do’a, terlebih dahulu membersihkan lingkungan dari sampah dedaunan atau mengganti bunga-bunga yang sudah kering di atas makam.

            Pada masa awal Islam, ziarah kubur sempat dilarang oleh Rasulullah SAW. Hal itu dimaksudkan untuk menjaga aqidah mereka yang belum kuat, agar tidak menjadi musyrik dan penyembah kuburan. Namun setelah Islam kuat dan aqidah mereka juga kuat, Rasulullah justru menyuruh kaum muslimin untuk melakukannya. Hal ini berdasar pada Hadits : “Dahulu saya melarang menziarahi kubur, adapun sekarang berziarahlah ke sana, karena yang demikian itu akan mengingatkanmu akan hari akhirat “. (HR. Ahmad, Muslim dan Asbahus Sunan)

            Ziarah kubur sangat dianjurkan dalam Islam, sebab manfaat di dalamnya sangat besar, baik bagi orang yang sudah meninggal dunia berupa hadiah pahala bacaan Al-Qur’an maupun bagi orang yang berziarah itu sendiri, yakni mengingatkan manusia akan kematian yang pasti akan menjemputnya.

            Dipilihnya hari Kamis sore atau Jum’at pagi, karena hari Jum’at adalah hari paling mulia (penanggalan hijriyah dimulai dari tenggelamnya matahari) dan diyakini para arwah sedang diberi kebebasan pada hari itu untuk menengok keluarganya, sekaligus menunggu kiriman dari mereka berupa amal.

            Sedangkan ziarah di bulan suci Ramadlan ataupun di Hari Raya sebenarnya tidak ada perintah dan tidak ada larangan. Karena tidak ada larangan, orang yang suka ziarah mengambil inisiatif, alangkah indahnya jika dapat kirim do’a pada hari-hari yang penuh rahmat dan ampunan (Ramadlan) dan hari yang bahagia (Idul Fitri). Justru akan sangat bermakna bagi orang-orang yang mudik ke kampong kalau mereka mengunjungi makam orang tua.

            Di samping maksud utama ziarah kubur itu mendo’akan terhadap mereka yang sudah wafat, agar mendapatkan maghirah (ampunan) dan rahmat dari Allah SWT, juga mengandung beberapa hikmah yang sangat bermanfaat, antara lain :

1.       Mengingat akan alam akhirat
Kelak di alam akhirat, manusia yang telah meninggal dunia akan dihidupkan kembali oleh Allah SWT untuk menerima keadilan dan balasanNya atas segala amal perbuatan manusia semasa hidupnya. Semua amal perbuatan manusia tidak ada yang tertinggal, masing-masing akan mendapatkan balasan sekalipun amal itu tidak terlihat oleh sesama manusia.

2.       Berzuhud terhadap dunia
Zuhud terhadap dunia berarti meninggalkan dunia untuk berbakti kepada Allah SWT. Manusia jangan sampai terpikat hati dan pikirannya dengan tipu muslihat dunia, tetapi justru dapat memanfaatkan harta benda yang diperolehnya di jalan yang diridhai Allah SWT sebelum ajal mendatanginya.

3.       Mengambil suri tauladan
Setiap manusia pasti akan mengalami kematian, yang waktunya tak dapat diketahui sebelumnya. Oleh karena itu sebelum ajal datang, manusia perlu selalu memperbanyak amal kebaikannya dan meninggalkan amal keburukan serta bertaubat memohon ampun kepada Allah SWT.  

4.       Mendapatkan barokah
Hal ini jika yang diziarahi adalah orang yang shalih, dimana ketika hidupnya telah dimintai barokahnya. Setelah wafatnya, orang tersebut boleh menurut faham Ahlussunnah Wal Jama’ah untuk kita mohon barokahnya.

5.       Membulatkan niat mencari ridha Allah SWT
Seoang muslim yang berziarah hendaknya wajib meyakinkan hatinya bahwa tidak ada yang dapat memberi manfaat dan madharat, kecuali kekuasaan Allah SWT. Yakinkan niat bahwa berziarah itu semata-mata mencari ridha Allah SWT.

            Berziarah berarti memberi nasihat kepada yang hidup tentang kematian, bukan memberi nasihat kepada yang mati, karena yang mati tak perlu lagi menerima nasihat dan tidak mempunyai hubungan dengan yang masih hidup. Namun sebaliknya manusia hidup masih mempunyai hubungan dengan yang sudah mati.

            Perempuan ziarah kubur di kalangan warga Nahdlatul Ulama tidak begitu popular. Sebab mereka sudah paham bahwa ziarah kubur bagi perempuan tidak diperkenankan. Alasannya perempuan pada umumnya banyak mendatangkan madharat ketimbang manfaat.

            Dalam melakukan ziarah kubur perlu diperhatikan beberapa petunjuk, antara lain :

a.       Berwudlu dahulu sebelum berziarah.
b.      Mengucapkan salam.
c.     Membaca ayat-ayat atau surat-surat dari Al-Qur’an, seperti tahlil, surat Yasin, ayat kursi dan lain-lain.
d.      Menghadap kiblat ketika membaca do’a.
e.      Ziarah dilakukan dengan penuh khidmat dan khusyu’.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top