Bab
ini sebenarnya sedang menerangkan tentang perjalanan ahwal para wali Allah. Dan
kita sebagai orang awam turut belajar menerima ridha apa yang dikehendaki Allah
Swt. Tidak berarti ridha meninggalkan ikhtiar. Ridha tetap di dalam perjalanan
ikhtiar. Misalnya dalam hari ini atau kapanpun, kita diberi oleh Allah sebuah
kesulitan dalam mencari rizki. Karena timbul sebab-musabbab orang bisa menerima
bukan masalah pribadinya saja, tapi karena ditangisi atau takut disalahkan oleh
keluarga terutama istri, ibu anak-anak yang melihat keberadaan para anak-anak
dalam segala kekurangannya untuk hari itu khususnya.
Protes
selalu dilontarkan, bukan karena tidak menerima qadha tetapi karena sebab
melihat putra-putrinya yang mana juga belum siap untuk menerima qadha
(kehendak) Allah Swt. Bagi seorang suami menitikberatkan, “Alhamdulillah kita
mendapat rizki hari ini walaupun kurang, cukuplah asal anak-anak kita tidak
kelaparan”, dari hitungan segi materiil. Karena keberadaan mencari sesuatu yang
wajib untuk dijadikan nafkah keluarga maka pasang surut itu pasti ada. Surut
terkadang sampai menipis (kritis), sehingga kita hampir saja mengeluh
mendapatkan kesukaran ketika mencari rizki. Ini satu contoh, bukan sedang
menceritakan tentang penyakit atau cobaan keluarga karena terlalu tinggi. Ini
saja yang kaitannya dengan duniawi, hampir kita semuanya tidak ingin mengalami
terkena gelombang tersebut.
Kita
dididik untuk ‘menerima ridha’. Kalimat ‘menerima ridha’ sebetulnya untuk
menjernihkan hati kita dahulu supaya setan tidak masuk ke hati kita,
lebih-lebih nafsu. Terus akal kita juga berputar, “Padahal saya tadi
demikian-demikian, kok hebat yah tidak laku, apa sih sebabnya?” Untuk beberapa
hari, maaf-maaf saja yang akan saya ucapkan karena sebetulnya saya tidak ada
niat untuk menyinggung, ‘karena tidak ada pengajian yang menyinggung’. Di kitab
itu sudah ada garis-garisnya, ketentuan-ketentuannya. Tapi maklum saja kalau
kaki atau tangan ada bengkaknya biasanya kalau kena obat perih, padahal itu
obat.
Maksudnya,
karena tidak didasari ridha maka yang muncul adalah suudzan, perasangka dulu yang
akan muncul. Misal saya punya dagangan. Toko saya sudah dibuka dari tadi,
anehnya beberapa hari ini orang kok lewat saja seolah-olah di situ tidak ada
toko atau barang dagangan saya. Satu kali masih belum kena goyangan hatinya.
Dua kali masih lumayan. Tiga kali mulai datang ke kiai. Kalau tidak datang ke
kiai datangnya ke dukun. Kalau ke kiai masih Alhamdulillah. Kalau dukunnya
benar masih baik, seumpanya benar.
Begitu
datang ke kiai, “Assalamu’alaikum.” “Wa’alaikumussalam, silakan. Dari mana
Bapak?” jawab kiainya. “Dari sini…” jawab tamu. “Alhamdulillah,” kalau orang
shaleh, “Hari ini saya gembira Pak. Berarti saya menambah persaudaraan
‘al-Mu’min akhu al-Mu’min al-Muslim akhu al-Muslim’. Kita punya kenalan baru
saudara Muslim, Alhamdulillah. Semoga pertemuan perkenalan ini jangan sampai
membawa mafsadat atau kerugian yang membawa dalam dunia ini sampai akhirat
nanti. Semoga keukhuwahan kita terjalan sampai dunia-akhirat.”
“Kenapa
begitu Kiai?” tanya tamu. “Iya, kan kelak di kubur ditanya setelah man Rabbuka
waman Nabiyyuka wama qiblatuka sampai waman ikhwanuka. Kan kita ditanya sama
Allah Swt. dengan melalui malaikatNya Munkar dan Nakir, ‘man ikhwanuka? siapa
teman-temanmu?’. Pasti kita akan menjawab ‘ikhwaniy mu’minin wal mu’minat wal
muslimina wal muslimat’.”
Cara
Menggalang Persaudaraan dari Hidup sampai Mati
Orang
yang tulus, dalam kubur adalah yang mampu untuk menjawabnya, pasti akan mudah
menjawabnya. Tapi kalau di dunianya ini tidak menggalang
keukhuawahan/persaudaraan, kita sama kita tidak akur karena sesuatu dan
lain-lainnya, sehingga banyak dari teman-teman menjauhi diri kita. Maka dari
sebab itu ketika kita ditanya “Man ikhwanuka”, muamalah (perbuatan) tadilah
yang akan menjawab. Tidak mampu akan menjawabnya, sebab menjawabnya sesuai
jawaban ketika hidup di dunianya. Tapi kalau orang yang lapang dada, banyak
persaudaraan, banyak keukhuwahan, pasti akan menjawab ‘ikhwaniy’ dengan
bangganya karena persaudaraan itu yang muncul. Dengan bangga dan senang akan
menjawab, “Saudaraku adalah mu’min wal mu’minat, muslimin wal muslimat”.
Bahkan
persaudaraan ini di dalam kematian, dimanapun saja, biasanya masih ada. Misal
diantaranya dilontarkan oleh ahli waris, kalau tidak wakilnya, atau salah satu
ulama untuk menyaksikan, “Ketahuilah para saudara-saudara, ini mayit baik ya?”
Spontan dengan kelapangan hati akan menjawab, “Baik” karena merasa kehilangan
saudara, merasa teman yang baik hilang, dan orang itu tidak pernah suudzan.
Walaupun terkadang pernah menyakiti, tapi tidak pernah melihat kejelekannya,
selalu melihat kebaikannya. Tapi jarang, insyaAllah ada.
Padahal
ketika kita menyatakan “Baik”, logika bernalar, “Kita tahu perbuatan si A,
kejelekannya kita tahu, sering melanggar apa yang dilarang oleh Allah Swt.,
seringkali kesurupan botol (isinya/miras), kita tahu bukan katanya. Tapi apapun
beliau sudah meninggal, saudara kita ini, kita menyatakan baik.” Baik di sini
artinya ‘ma’fu’, memaafkan. Dengan itu akan meringankan beban di alam kuburnya
terhadap seseorang yang meninggal. Dan ketika kita sadari telah menyatakan
baik, akan menutup semua buku-buku hitam yang dimiliki oleh yang meninggal.
Tutup buku, selesai, finish. Kita hanya mengatakan, “Allah yaghfir lahu, Allah
yarhamuhu”.
Kalau
mendengar orang yang meninggal tadi tidak baik, kita jawab, “Allah yaghfir lahu,
Allah yarhamuhu”. Karena kita sudah menyatakan baik. Sudah tutup buku. Tapi
terkadang kita kurang bijaksana ketika seseorang meninggalkan anaknya atau
dalam majelis kita lupa menceritakan orang atau kebusukan orang yang sudah
meninggal padahal sudah tutup buku kita menyatakan baik, tidak ada
realisasinya. Kalau si A ini yang meninggal punya anak lelaki atau perempuan,
paling tidak kalau kita sudah berani menyatakan baik, akan menolong regerenasi
atau keturunannya.
Anaknya
cantik atau ganteng, kebetulan ada yang mencintainya. Yang namanya orang lelaki
atau perempuan yang normal ingin dibuai, disayang, disanjung, wajar namanya
manusia normal. Ada seseorang yang mendengar, yang terkadang shahibul usil,
datang dari rumah hanya ingin tahu. Tanya, “Nak, benar kamu atau bapaknya ini?”
“Benar.” “Saya dengar katanya kamu mau meminang si A atau si Fulanah?” “Iya,
doakan saja.” “Apa tidak ada perempuan lain!?” Nah inilah, padahal dia yang
pernah menyatakan baik tapi tetap masih mengungkit alamarhum atau yang sudah
meninggal, masih dibuka sehingga mengorbankan kepada anak perempuannya.
Tapi
bagi orang yang bijaksana menjawabnya ketika datang, “Mas, saya dengar katanya
kamu anak lelaki yang ingin meminang si A.” “Iya benar, kenapa?”
“Alhamdulillah, syukur, tolong titip, dibina dan dididik. Udahlah itu saja.
Terimakasih sekali kalau kamu sampai ke sana, berarti luar biasa. Hebat kalau
begitu.” Hilanglah shahibul usil kalau bisa begitu.
Ada
lagi anaknya terkadang di pesantren. Karena ibunya baik, ibunya tidak mau
anaknya meniru bapaknya (yang sudah meninggal) maka dipesantrenkan sambil
sekaloh. Eh datang ke tempat kasepuhan atau yang pantas dituakan, begitu datang
dia ditanya, “Lho dari mana Nak, kamu kok lama tidak kelihatan?” “Njeh Pak,
saya sekarang di pesantren dan sekolah.” “Bagus, luar biasa. Ini kampung
memerlukan generasi muda seperti kalian untuk meneruskan. Bapak kan sudah tua,
kan yang meneruskan nanti di pundak kalian. Jangan kayak Bapakmu!” Ini namanya
sudah diangkat lalu dibanting. Padahal orang itu ketika itu (meninggalnya si
bapak anak tadi) telah menyatakan baik.
Orang
yang bijak jawabnya lain, “Di mana Nak? Saya dengar sekarang kamu di pesantren
dan meneruskan sekolah di situ.” “Iya Pak betul, doanya.” “Jangan khawatir!
Saya bangga, ingin mempunyai anak seperti kamu.” “Lho kenapa Pak?” “Karena kamu
anak yang bisa mengangkat nama baik orangtua. Saya ingin kamu teruskan dan
teruskan, sebab di kampung ini memerlukan orang-orang atau para pemuda seperti
kalian.” Itulah hebatnya, jawabannya mantap.
Ulama
Seharusnya Menjadi Penenang
Nah
ulama-ulama ini harusnya bisa menjadi penenang. Maaf, jangan menjadi orang yang
suka menakut-nakuti. Ada orang datang (membawa) masalah, perut anaknya yang
sudah besar. Mending kalau hamil, ternyata bukan perempuan melainkan anak
laki-laki. Matanya sudah coklat, ini liver, hepatitis. Begitu datang, “Kiai,
minta barokahnya supaya Allah memberikan kesehatan kepada saya.” “Sakitnya apa
kata dokter?” “Katanya liver, hepatitis A, B atau C.” “Maka dari itu kamu
makannya yang benar. Jangan makan melulu. Ini nih akibtanya, kena luh liver!
Udah ingat mati baru datang ke kiai!” La ilaha illallah, ini mau cari penenang
malah dimarahi.
Tapi
orang (ulama) yang bijak lain lagi, “Kenapa kamu kok perutnya besar?” “Kata
dokter hepatitis, Kiai. Obatnya sulit.” “Siapa bilang? Obat itu bukan Tuhan,
penyakit bukan Tuhan, sembuh pun bukan Tuhan. Obat mencari sarana Allah supaya
memberi kesembuhan, sebagaimana orang makan mencari kenyang, orang minum
mencari pelepas dahaga. Kalau seumpanya beri’tiqad penyakit itu mematikan, itu
syirik. Karena penyakit itu bukan Tuhan.” Bisa menghibur, karena yang datang
adalah saudara kami saudara mu’min-muslim.
Kalau
tidak, secara manusiawi kalau bukan Muslim pun harus kita besarkan hatinya.
Karena mereka menanggung istri dan anak-anaknya yang masih kecil-kecil yang
tidak berdosa. Pandangannya harus luas. Itu diantaranya. “Sudahlah, insyaAllah
akan ada obatnya. Yang besar hati. Tawakkal kepada Allah Swt. Jangan tinggal
ikhtiar. Saya doakan insyaAllah kamu sembuh.”
Meraup
Hikmah dari Ujian yang Datang
Begitu
juga seperti si pedagang yang datang kepada ulama atau orang yang shaleh. “Masa
orang yang lewat tidak bisa lihat?” “Iya, kayak tidak wajar Kiai.” “Lha tidak
wajarnya bagaimana, apa orang itu kalau lewat tidak punya mata?” “Ya punya
mata, Kiai.” “Lha iya, jangan begitu, jangan suudzan dulu. Memang belum
rizkinya, jangan berperasangka buruk. Saya doakan. Ini dibaca munajat kepada
Allah, insyaAllah nanti Allah Swt. akan membuka yang besar usahanya. Terima
kehendak Allah nanti kamu dibuka.” Bersih hatinya.
Tapi
kalau datangnya (kepada orang yang) salah, “Menurut hitungan saya ada yang
membuat. Wajar!” Ini datang husnudzannya untuk mengurangi dosa malah tambah
dosa. Akhirnya si setan kulonuwun, tanpa salam masuk saja. Bayangannya
muncul,‘khayaliyah’ yang dibawa nafsu dan setan.
Tapi
kalau datangnya kepada orang yang shaleh maka jawabannya seperti di atas tadi,
“Sudahlah, mesin kendaraan itu kalau jalan terus tidak pernah dikir atau turun
mesin, lambat atau cepat akan rusak. Makanya harus turun mesin dulu supaya
diperbaiki menjadi baik, olinya dan lain sebagainya terkontrol dengan baik lalu
dipasangkan lagi mesinnya. Mungkin sudah mendapat hasil yang baik maka nanti
jalannya akan baik. Mari kita sekarang ini masih turun mesin dalam bidang
ekonomi, insyaAllah mesinnya akan baik. Amin.”
Ridha
itu di situ. Kalau kita menerima ridha justeru kita ini lapang, lapang sekali,
bersih dari perasangka-perasangka yang kurang terpuji. Itulah diantaranya makna
ridha. Kalau para auliya, aduuh bukan pangkat kita. “Allahummaj’alna minhum,”
semoga kita menjadi orang yang seperti mereka (para wali Allah). Dan Allah Swt.
memberikan kekuatan. Amin.
(Syaroni As-Samfuriy.
Ditranskrip dari penjelasan Maulana Habib M. Luthfi bin Yahya kitab Jami’
al-Ushul fi al-Auliya’ bab Ridha (Menerima) terhadap Qadha Allah Swt. pada
Pengajian Jum’at Kliwon Kanzus Sholawat Pekalongan 24 Februari 2017).
0 komentar:
Posting Komentar