Sebetulnya
Bab wilayah atau kewalian dalam kitab Jami' Ushul fi al-Auliya adalah hanya
untuk pengetahuan kita semua. Dari pelajaran itu kita ambil poin-poinnya saja.
Adapun ahwal (perbuatan) dan amaliah para wali Allah sulit untuk bisa kita
takar.
Jangan
ingin menjadi wali. Tapi yang seharusnya kita lakukan adalah bertanya, apa
sebab beliau diangkat oleh Allah Swt. menjadi waliNya? Sebabnya hanya satu,
yang terdiri dari dua hal, yakni ketaatannya kepada dua orangtua dan gurunya.
Ini yang perlu kita tiru.
Kalau
orang awam melakukan mujahadah malam, ibadah malam, membaca dzikir, membaca
ayat sekian, membaca tasbih sekian, (hal itu dilakukan) menunggu kalau utangnya
banyak, mendapat musibah dan cobaan. Atau (mendapat) sesuatu yang menjadikan
susah pada dirinya, baru dia mencari kuncinya untuk mendekat kepada Allah Swt.
Saat sudah berhasil terkadang lupa lagi pada Allah. Wajar-wajar saja karena
kita tingkatannya orang awam, allahumma ma'lum, salah 3 dapatnya 7, salah 5
dapat(nilai)nya masih 8.
Tapi
kalau tingkatan para wali Allah, benar semua malah dapatnya nol. Kenapa, karena
tidak merasa. Apa yang telah dikerjakan tidak ke pribadi, melainkan
dikembalikan semua dari dan kepada Allah Swt. Tidak merasa memiliki. Kalau
menghadap kepada Allah Swt., ia melupakan semua yang sudah dibacanya, sudah
dapat sekian khataman setiap malamnya, berdzikir sekian ribu kali. Beliau (wali
Allah) tidak pernah mengingat-ingatnya di hadapan Allah Swt. Itu semata-semata
ketaatan kepada Allah Swt.
Saat
mendapatkan ijazah 'Bismillah' (misalnya) dari seorang kiai, dibaca sekian kali
agar usahanya lancar, tokonya laris, rejekinya banyak, untungnya banyak, dlsb.
Ketika dibaca (diamalkan) yang dibayangkan adalah usaha lancar, toko laris,
rejeki dan untung yang banyak, ia lupa kepada Allah Swt. karena yang diingat
adalah khasiatnya Bismillah (bukan Allah). Akhirnya mampir dulu, sehingga
pantas jika tidak diberi langsung. Jika hatinya lepas (dari hal tersebut) dan
betul-betul hanya ingat Allah, maka pasti akan diberi langsung.
Para
wali Allah akan malu jika melakukan hal demikian. Para wali di hadapan Allah
Swt. itu faqir, tidak merasa punya amaliah kebaikan sedikit pun dan tidak pula
merasa bisa begini dan begitu. Hatinya selalu dibersihkan, tashfiyatul qulub
watazkiyatun nufus, terus berusaha (bermujahadah) setiap malamnya.
Nah
kalau tingkatan kita (awam), boro-boro. Alhamdulillah ada hadits Baginda Nabi
Saw., "Kelak manusia akan dikumpulkan dengan orang-orang yang
dicintainya." Kita bisa berdoa, "Allahumma amin". Semoga
dikumpulkan bersama beliau, setiap shalat kita membaca "Ihdinasshirathal
mustaqim". Dan berdoa (QS. an-Nisa ayat 69-70):
مَعَ الَّذِينَ أَنْعَمَ اللَّهُ
عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّينَ وَالصِّدِّيقِينَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِينَ ۚ
وَحَسُنَ أُولَٰئِكَ رَفِيقًا
ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا
ذَٰلِكَ الْفَضْلُ مِنَ اللَّهِ ۚ وَكَفَىٰ بِاللَّهِ عَلِيمًا
Kunci
yang pertama taat kepada dua orangtua, ini tangga/pintu yang paling luar biasa.
Yang kedua adalah taat kepada guru. Taat kepada dua orangtua bukan sekadar
taat-taat saja. Tapi ketaatan itu selalu menggugah kembali jasa-jasa orangtua
kita pada diri kita. Kalau kita sering dzikrul walidain, mengingat dua
orangtua, nasihatnya, bahkan jika sempat ditulis. Itu merupakan bagian dari
dzikrul walidain, taat kepada dua orangtua. Karena dengan menceritakan kedua
orangtua akan menambahkan kecintaan kepada mereka.
Nah
bagaimana kalau Baginda Nabi Saw. Kalau kita sering membaca shalawat, otomatis
akan semakin "dzikrun Nabiy" (mengingat Nabi), dan lama-lama akan
muncul haya', malu kepada Baginda Nabi Saw.
Sifat
manusiawi, timbul perasaan luar biasa jika cintanya kepada lawan jenis
diterima. Dia akan menjaga cintanya betul-betul dan berusaha selalu jujur.
Sangat takut putus cinta. Padahal diterimanya cinta tersebut dari lawan jenis
tidak menjadi jaminan selamat dari siksa neraka. Tapi kepada dan dari Baginda
Nabi Saw. itu menjadi jaminan, illa man aba (kecuali yang enggan/lari).
Ketika
ayat turun, "Walasaufa yu'thika Rabbuka fatardha", Rasulullah tidak
ridha kalau salah satu ummatnya masuk ke dalam api neraka, kecuali orang yang
"aba", yang lari dari Baginda Nabi Saw. Jaminan bagi yang cinta
kepada Nabi Saw., pasti akan mendapatkannya sebagaimana permintaan Nabi Saw.
kepada Allah Swt. Anehnya, kita tidak pernah takut putus cinta kepada Baginda
Nabi Saw.
Padahal
saat seseorang putus cinta dengan lawan jenisnya, dia gandrung, bikin
puisisendiri, bikin sajak sendiri. Kalau dengar lagu-lagu yang berkenaan dengan
waktu dia bercinta dengan seseorang masih terngiang sekalipun bagi orang lain
tidak enak. Tapi orang ini senang karena lagu itu mempunyai kenangan,
dingat-ingat terus. Masa dengan Baginda Nabi Saw. tidak, aneh bin ajaib,
mestinya kita harus takut putus cinta dengan Baginda Nabi Saw.
Berangkat
dari birrul walidain tadi dan berangkat dari taat kepada para masyayikh (guru)
kita, itulah kunci-kuncinya. Meskipun ilmunya sundul langit jika dengan dua
orangtuanya tidak taat, jangan diharap ilmunya manfaat. Begitu juga kaya sekaya
apapun tapi sama orangtua tidak taat, jangan diharap dunianya barokah, bagai
air yang cepat habis.
Maka
dari itu kita tadi mendengarkan keterangan bab wilayah (kewalian), kita hanya
mengambil khulashah (ringkasan) orang-orang yang diangkat oleh Allah Swt.
menjadi para waliNya, yakni dengan birrul walidain dan taat kepada gurunya.
Itulah yang menjadi sebab mengantar dirinya mendapat "Ridhallah fi ridhal
walidain". Kita kembalikan juga "Ridhallah fi ridha rasulih",
untuk ummat. Dan kita mengharapkan ridha Rasulullah Saw., karena apakah ridha
orangtua lebih bernilai dari ridha Nabi Saw.? Untuk bisa menggapai keridhaan
Nabi Saw. harus mencapai keridhaan orangtuanya. Baru kita akan mencapai ridha
Allah Swt.
(Disampaikan oleh Maulana Habib Muhammad Luthfi bin Yahya pada
Pengajian Rutin Jum'at Kliwon, 20 Januari 2017.)
0 komentar:
Posting Komentar