Nahdlatul
‘Ulama (NU) adalah organisasi sosial keagamaan yang sangat besar. Pihak-pihak
yang berlainan memiliki perkiraan berbeda-beda mengenai jumlah warganya, ada
yang mengatakan 35 juta orang, sementara Muhammadiyah memiliki warga 28 juta
orang. Tetapi badan intelijen sebuah negara jiran mempunyai data berbeda dari
perkiraan di atas, menurut mereka jumlah warga NU ada 60 juta orang sedangkan
Muhammadiyah 15 juta orang. Sementara badan Intelejen kita sendiri
memperkirakan angka 90 juta warga NU dan 5 juta orang warga Muhamadiyah.
Penulis tidak mengerti mana yang akurat diantara ketiganya tetapi yang pasti NU
memiliki warga berjumlah terbesar saat ini.
Walau terbesar,
tetapi warga NU adalah paling yang terbelakang dalam penguasaan ilmu
pengetahuan dan teknologi (Iptek). Ketika menjadi Presiden, penulis membuka
sebuah pertemuan ISNU (Ikatan Sarjana Nahdlatu ‘Ulama) yang hanya diikuti 200
orang dengan kualifikasi Doktor dan Master (S3 dan S2). Ini menunjukan betapa
miskinnya NU dalam soal pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Jelas dengan
demikian, perbandingan antara tenaga terdidik dan rakyat awam kelas bawah
sangatlah timpang di lingkungan NU. Ini terlihat pada pembangunan
lembaga-lembaga pendidikan di lingkungan NU yang berfokus pada sekolah dan
madrasah. Tampak hanya pendidikan tingkat menengah ke bawah yang banyak
dimiliki NU, bukannya Perguruan Tinggi. Banyaknya tenaga terdidik NU
dimanfaatkan oleh sekian banyak Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta dari
berbagai kalangan, menunujukan ketidakmampuan NU sendiri untuk menampung mereka
sebagai tenaga pengajar maupun tenaga ahli yang bertugas di berbagai bidang.
Situasi seperti
itu juga tidak sedikit didorong oleh sebuah kecendrungan yaitu untuk lebih
mementingkan bidang studi keagamaan daripada bidang-bidang lain. Ketika dengan
bangga orang NU menyebutkan Kyai “Polan” mendirikan Pesantren “anu” di suatu
daerah, hal itu menutupi kenyataan, di bidang-bidang studi non-keagamaan justru
perhatian lingkungan NU sangat sedikit. Penulis masih ingat betapa banyak
pemuka NU mencibirkan penulis yang bersekolah pada Sekolah Menengah Ekonomi
Pertama (SMEP), karena penulis tidak menyebutkan pesantren tempat ia belajar.
Memang penulis tidak mengemukakan ia mengaji kitab kuning tiga kali tiap minggu
di Pesantren Al-Munawwir (Krapyak Yogyakarta), yang disebutnya hanyalah
pendidikan formal di SMEP Yogyakarta.
Namun kenyataan
ini menunjukkan sebuah kenyataan lain, yaitu bahwa NU memiliki akar budaya yang
sangat kuat dan dalam homogenitas kultural para warganya, seperti terlihat
dalam pengajian-pengajian, bertahlil, berkenduri dan berhalal bil halal. Dalam
acara haul (peringatan hari wafat seseorang) terlihat keterikatan warga NU
kepada lingkungan budaya mereka, seperti juga terlihat dalam ziarah ke berbagai
Makam dan Pondok Pesantren tampak sangat sibuk dengan acara-acara ziarah
tersebut. Hingga ada adagium “kalau ingin mengenal dan dikenal massa NU,
masukilah lingkaran ziarah tersebut.”
Akan lebih
lengkap lagi jika ziarah-ziarah keagamaan itu dilengkapi juga dengan sebuah
kegiatan lain yang “berwatak NU”, yaitu kebiasaan mengundang para penghafal
kitab suci Al-Qur’an. Mereka merupakan elite tersendiri dalam lingkungan NU.
Berkali-kali penulis menerima pemberitahuan dari orang-orang yang menyatakan
“Gus Ulinnuha dan istrinya baru saja kita undang berkhataman Al-Qur’an di rumah
ini.” Gus Ulinnuha adalah sepupu KH A. M. Sahal Mahfudz, Rais Aam NU sekarang,
sedangkan istrinya adalah putri KH Arwani, penghapal Al-Qur’an dari kota Kudus.
Suami-istri penghapal Al-Qur’an itu bahkan sering datang ke Jakarta, di undang
oleh kalangan “cabang atas” kota metropolitan itu.
Apalagi jika
hal itu dikaitkan dengan “bangkitnya” berbagai pagelaran kesenian agama,
seperti hadrah/rebana. Jika di tahun 50-an dan 60-an, Dr. Thaha Hussein
“mereformasikan” bahasa dan sastra arab untuk menjadi wahana perubahan sosial
di negeri-negeri Arab, karena sebelumnya bahasa dan sastra Arab tidak pernah
menjadi wahana perubahan sosial di negeri ini. Hasilnya bahasa dan sastra Arab
tetap menjadi wahana komunikasi agama di kalangan para santri dan dengan
demikian tetap berwatak tradisional. Inilah yang ditangkap NU, terbukti dari
banyaknya perkumpulan-perkumpulan seperti itu di lingkungan NU.
Jelaslah dengan
demikian, bahwa dalam beberapa dasawarsa yang lalu, seperti antara tahun-tahun
50 hingga 70-an warga NU tidak banyak yang tertarik kepada kegiatan-kegiatan
Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang memperjuangkan demokrasi. Jika
lingkungan NU sebagai kelompok Islam terbesar di negeri ini, tidak begitu
tertarik kepada kegiatan tersebut, maka dapat dimengerti mengapa demokrasi
tidak begitu diminati oleh “kalangan santri”. Karena itulah pada saat itu,
dalam masyarakat kita, perjuangan hak-hak Asasi atau hak perempuan mendapatkan
perhatian sangat kecil dari lingkungan santri.
Dengan demikian
menjadi nyata, akar-akar budaya yang dimiliki NU tidak berwatak emansipatif,
-hal yang merupakan sebuah persyaratan mutlak bagi tegaknya demokrasi. Hal ini
lebih diperkuat lagi oleh kenyataan, bahwa puluhan ribu keluarga orang-orang NU
bangga memiliki hubungan persaudaraan/perkawinan dengan warga TNI, yang
nyata-nyata tidak mengembangkan watak demokratis dalam kehidupan. Yang mereka
hargai justru adalah kemampuan teknis /skill, bukannya keprihatinan sosial,
-watak yang dilahirkan oleh penindasan sosial. Akibatnya ketika ribuan orang
menjadi aktivitas gerakan Islam, namun “elite NU” sendirian.
Dari paparan di
atas, jelas bahwa NU tidak terlibat terlalu jauh dalam kemelut intrik politik
di negeri ini. Dengan demikian, NU sebenarnya tidak terlalu terikat kepada
kepentingan golongan elite yang memenuhi negeri kita selama ini. Jika ada
orang-orang NU di kalangan Golongan Karya di tingkat bawah, jumlah mereka
tidaklah terlalu besar. Justru terlalu banyak warga NU yang menjadi korban
proses munculnya kekuasaan otoriter di negeri kita. Karena itu
praktek-praktek korupsi dan otoriterianisme (kalau tidak mau disebut diktator)
menjadi sesuatu yang “dianggap wajar” hingga saat ini. Tugas NU adalah
membalikan kenyataan ini. Sesuatu yang mudah dikatakan tapi sangat sulit
dijalankan.
Duta
Masyarakat; Jakarta, 21 Juli 2003
Oleh : KH.
Abdurrahman Wahid
Source
www.gusdur.net
0 komentar:
Posting Komentar