Dalam
bahasa modern dikenal istilah black box*, dan qarin itu black boxnya manusia.
Yang sering kita mainkan dan yang sering dibawa kesana-kemari itu black boxnya.
Seperti lagu dalam kaset ada tujuh belas lagu, misalnya, yang diputar terkadang
hanya nomor enam dan nomer tiga. Terus saja berputar di situ-situ saja beberapa
lagu yang tercatat di dalam qarin itu tadi. Tidak bisa kurang dan tidak bisa
lebih. Sebab tugas black box itu merekam semua perilaku yang semisal, qarin
sama kedudukannya.
Maka
sebagian ahli kasyaf (orang yang memiliki mata batin) jika berziarah ke ahli
barzakh dia tahu ini muwakkal (perwakilan) atau ini qarinnya yang di sana.
Sehingga para wali besar seperti Mbah Sholeh Bagusan Comal adalah termasuk dari
ahli kasyaf yang luar biasa. Berangkat ziarah bersama rombongan. Begitu sampai
di lokasi ziarah langsung ngajak pulang, "Balik ae balik ae, do balik,
balik yo..."
Tapi
ucapan Mbah Sholeh tersebut ada alasannya. "Balik ae balik, percuma ra ono
wonge, percuma ra ono wonge, wes balik ae (Pulang saja, percuma tidak ada
orangnya)". Mbah Sholeh hanya kirim surat al-Fatihah lalu pulang. Sebab
beliau tahu yang di situ tidak ada, arwahnya sedang kumpul bersama para wali
lainnya ('ala masyrabahum); yang Syadziliyah berkumpul dengan arwahnya Imam
asy-Syadzili, yang Qadiriyah berkumpul dengan Syaikh Abdul Qadir al-Jailani,
yang Tijaniyah, yang Syathariyah, dst. kumpul dengan aimmat ath-thurufihim
(para pimpinannya) yakni alladzi fihi al-madad min madad al-maula, kumpul
bersama.
Ada
para wali yang pulang ke kuburnya belum tentu sehari sekali atau seminggu
sekali. Semisal ziarah ke Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni. Jika mau berziarah
ke sana saat menjelang ba’da shalat Fajar atau menjelang Shubuh, maka bisa
bertemu dengan Syaikh Abdul Wahab asy-Sya’roni di kuburnya. Selain Sabtu pagi
tidak akan ketemu, sebab beliau masih berkumpul bersama Baginda Nabi Saw. Minal
arwah junudun mujannadah (ruh-ruh itu laksana tentara yang berkumpul)**,
dikumpulkan di situ.
Di
situ yang menjadi muwakkal adalah para malaikat, bukan qarin, yang ditugasi
menjaga kuburan wali tadi. (Malaikat) "Ada hajat apa?" (Peziarah)
"Saya hendak bertawasul dengan wali Allah." (Malaikat) "Apa
keperluannya?" (Peziarah) "Mintakan pada Allah Swt. hajat saya begini
dan begini..."
Malaikat
itu lah nanti yang akan menyampaikannya kepada Allah Ta’ala dengan seizin wali
tadi. (Malaikat) "Ini tamunya banyak Kiai, tadi di kuburanmu ada fulan dan
fulan..." (Wali) "Ya, keperluannya apa saja, dibacakan
satu-satu..." Umpanya demikian. Kemudian oleh si wali dihaturkan
permintaan-permintaan (doa) tadi kepada Allah Swt.
Kematian
adalah sesuatu yang pasti terjadi. Tidak ada ruh yang bisa keluar dengan
sendirinya. Tatkala Malaikat Izrail mencabut nyawa seorang hamba maka
terlepaslah ruh dari jasadnya. Jika ada pertanyaan, banyak ritual yang konon
bisa memanggil arwah dan bisa dimasukkan apakah itu termasuk asrar?
Jawabannya
bisa diimbangi dengan logika. Lihat neon-neon lampu, seumpama kaca/bohlamnya
dicopot masih ada apinya atau tidak? Yang nyala itu kaca atau setrumnya?
Setrum. Jika setrumnya masih ada tapi bohlamnya tidak ada maka apinya masih
tetap ada. Demikianlah arwah tatkala keluar dari jasadnya.
نور
العالم والأسرار فيه الأنوار
"Cahaya
orang alim dan asrar di dalamnya ada cahaya-cahaya." Sebab ibadahnya
seorang wali itu sehari bisa mengkhatamkan al-Quran sekian kali, Tahajjud
sekian, sholawat sekian, dzikir sekian, dst. Inilah asror yang luar biasa.
Arwahnya
ditarik tapi jasadnya masih di dalam kuburnya. Ada jasad yang masih terjaga
utuh, sebab melanggengkan wudhu, atau ahli Tahajjud, lebih-lebih hafidz
al-Quran atau hablu al-Quran, ini yang dijaga. Sewaktu-waktu dia mendapat
perintah oleh Allah Ta’ala untuk hadir saat kematian orang alim, atau saat
negara genting, ruh itu diletakkan kembali kemudian bangun dari kuburnya ikut
membela jihad fi sabilillah. Contohnya saat kematian Sayyidina Umar bin Abdul
Aziz, para wali dan syuhada yang sudah wafat semuanya hadir untuk bertakziah
kepada Umar bin Abdul Aziz.
Ada
pula waktu itu ruh yang diizini Allah Swt. menghampiri ibunya yang masih hidup.
Dia bersama rombongan diminta oleh para syuhada ikut bertakziah ke Umar bin
Abdul Aziz. Namun izinnya hanya itu, tidak diperkenankan mampir.
Jika
jasad telah hancur maka arwah mutlak "nurun yatala’la abwa kal barqil
khathif kal mir-ah", seperti pantulan kaca yang kemilau. Yang pada
akhirnya ruh itu masuk ke dalam jasad seseorang, maka termasuk sebuah
keberuntungan besar bagi orang tersebut. Ini membutuhkan jasad yang betul-betul
kuat. Jadi istilah memanggil arwah sebetulnya yang masuk adalah asrarnya, bukan
ruh, semisal asrar para Wali Songo.
Berbeda
dengan orang-orang ahli thariqah, maka madad min madadillah yang masuk. Allah
Ta’ala memberikan madad kepada Nabi Saw., lalu para sahabat, kemudian kepada
para imam thariqah. Itu berbeda karena haknya para wali, bukan masalah
kesurupan atau kerasukan.
Semisal
jika seorang (kiai) ahli thariqah akan wafat maka ruh-ruh suci akan hadir. Lalu
dipersilakan olehnya laiknya menyambut tamu dan terkadang seperti sedang
ngobrol sendiri. Seolah-olah kiai tersebut sedang zawalul ‘aqli (hilang akal).
Padahal dia sedang melihat siapa saja yang akan menyaksikan dirinya kembali
kehadirat Ilahi. Artinya dia sudah siap. Inilah yang dinamakan madad min
madadillah. Sangat banyak para wali Allah yang mengalami demikian. Tapi jika
ruh masuk ke dalam jasad manusia maka tidak ada nash yang kuat. Kalau asrar
iya, betul, asrar dari ruh-ruh yang suci.
Adapun
tawasulan berbeda lagi maksudnya. Di sini harus paham. Penyampaian asrar
seperti di atas itu ya seperti wali itu sendiri. Artinya itu hak. Seolah-olah
sama tapi tidak sama.
Semisal
ditanyakan, ada yang kemasukan asrar tapi kenapa dawuh (perkataannya) tidak
digugu/diikuti? Mau diikuti bagaimana jika dirinya sendiri saja belum bisa
membedakan antara malaikat dengan iblis. Seperti halnya seseorang yang mengaku
ketemu wali fulan sedangkan dirinya saja belum bisa membedakan mana ruh yang
mahfudz (dijaga) dan yang ghairul mahfudz (tidak dijaga). Sehingga banyak yang
salah memahami sampai-sampai dia meninggalkan shalat seolah-olah sudah
ditanggung.
Apalagi
jika yang datang itu semisal berkata, "Kamu itu cucuku, bukan orang
lain." Repotnya di situ. Itu yang ngomong siapa? sudah bisa membedakan apa
belum? Makanya jangan suka main-main dengan ilmu-ilmu seperti itu. Kalau belum
waktunya tidak akan bisa. Tentang ini ada keterangan penting dalam kitab
Munjinat al-Asrar bab khawash surat al-ikhlas.
_________________
*Kotak hitam atau black box adalah sekumpulan perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi, mumnya merujuk kepada perekam data penerbangan (flight data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR) dalam pesawat terbang.
*Kotak hitam atau black box adalah sekumpulan perangkat yang digunakan dalam bidang transportasi, mumnya merujuk kepada perekam data penerbangan (flight data recorder; FDR) dan perekam suara kokpit (cockpit voice recorder; CVR) dalam pesawat terbang.
**Dalam
kitab Ihya' Ulumiddin halaman 159-160, Imam al-Ghazali memberikan ulasan
menarik tentang hadits al-arwah junudun mujannadah, sebagai berikut:
الارواح
جنود مجندة فما تعارف منها ائتلف وما تناكر منها اختلف (*1) فالتناكر نتيجة
التباين والائتلاف نتيجة التناسب الذى عبر عنه بالتعارف وفي بعض الالفاظ "
الارواح جنود مجندة تلتقي فتتشام في الهواء (*2). وقد كنى بعض العلماء عن هذا بان
قال ان الله تعالى خلق الارواح ففلق بعضها فلقا واطافها حول العرش فأى روحين من
فلقتين تعارفا هناك فالتقيا تواصلا في الدنيا. وقال صلى الله عليه وسلم ان ارواح
المؤمنين ليلتقيان علي مسيرة يوم وما رأى احدهما صاحبه قط (*3)
Ruh-ruh/jiwa
itu laksana tentara yang berkumpul, maka yang saling mengenal daripadanya
niscaya menyelaraskan (mudah bergaul atau saling menyesuaikan) dan yang
bertentangan daripadanya niscaya saling menyelisihi (berseberangan
).".(1).
Kata
"Tanakur/pertentangan" adalah natijah (hasil) dari perbedaan, dan
"I'talaf/kejinakan" adalah hasil dari kesesuaian yang diibaratkan
dengan "Ta'aruf" atau saling mengenal, atau berkenalan satu sama
lain. Pada sebagian teks hadits di atas terdapat maksud yang mengindikasikan
bahwa jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu
berciuman di udara. (2).
Sebagian
Ulama menyebutkan hal ini dengan cara kinayah atau sindiran dengan mengatakan,
bahwa Allah Swt. menjadikan segala nyawa, maka dipecahkanNya sebagian dan
dithawafkan di sekeliling Arsy. Maka mana diantara dua nyawa atau ruh dari dua
pecahan yang berkenalan itu lalu bertemu sebagai kesinambungan terhadap
perjumpaan keduanya di dunia. Nabi Saw. bersabda, "Bahwa nyawa dua orang
mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari
keduanya melihat temannya." (3).
(1)
HR. Imam Muslim dari Abi Hurairah dan Imam Bukhari meriwayatkan sebagai ulasan
dari hadits Siti Aisyah).
(2) Hadits "Jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman di udara", Imam ath-Thabarani menyandarkan kelemahan hadits ini dari hadits Ali.
(3). Hadits "Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya", Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr dengan lafadz " تلتقى " dan berkata salah seorang dari mereka yang terdapat didalamnya Ibnu Luhai'ah dari Daraj. (footnote Ihya, Hal. 159, tentang makna "al-ikhwah fillah").
(2) Hadits "Jiwa atau ruh itu ibarat tentara yang berkumpul dan berjumpa, lalu berciuman di udara", Imam ath-Thabarani menyandarkan kelemahan hadits ini dari hadits Ali.
(3). Hadits "Bahwa nyawa dua orang mu'min bertemu dalam perjalanan sehari, dan tidak sekali-kali salah satu dari keduanya melihat temannya", Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin 'Amr dengan lafadz " تلتقى " dan berkata salah seorang dari mereka yang terdapat didalamnya Ibnu Luhai'ah dari Daraj. (footnote Ihya, Hal. 159, tentang makna "al-ikhwah fillah").
(Sya'roni As-Samfuriy. Disampaikan oleh Maulana Habib Luthfi bin
Yahya dalam Pengajian Ramadhan di ndalem beliau, tahun 2016).
0 komentar:
Posting Komentar