Oleh : A. A. M.
Menjadi sangat perlu dizaman sekarang ini untuk lebih dalam menggali dan mengungkap legal standing mengenai konsep bermadzhab. Kita sebagai generasi penerus para ulama yang lebih kental disebut sebagai generasi nahdliyyin harus memiliki pijakan yang kuat menurut syariat Islam dalam mengemukakan dalil-dalil naqli maupun aqli mengenai amaliyah-amaliyah yang kita lakukan sehari-hari, tak terkecuali mengenai konsep bermadzhab. Karena madzhab sendiri bisa disebut sebagai manhaj atau ideologi dalam mengarungi samudra kehidupan yang sejatinya adalah kawah candradimuka untuk menggapai ridlo ilahi.
Dalam aqidah ahlussunnah wal jama’ah ‘ala nahdlatil ulama, disebutkan didalam qayyid (definisi)-nya bahwa ahlussunnah wal jama’ah ‘ala nahdlatil ulama adalah sebuah konsep dimana Imam Abu Hasan Ali Al Asy’ari dan Imam Abu Mansyur Al Maturidi merupakan kiblat dalam teology, memilih salah satu empat madzhab (Maliki, Hanafi, Hambali, dan Syafii) merupakan konsep dalam ber-fiqh, serta dalam bertasawwuf berkiblat pada Imam Abi Hamid Al Ghazali dan Imam Junaedi Al Baghdadi.
Dari definisi diatas mengandung arti bahwa dalam melaksanakan konsep ahlussunnah wal jama’ah pakem-pakem yang harus kita ikuti terutama dalam konsep ber-fiqh sudah sangat gamblang. Namun, konsep ber-fiqh ‘ala aswaja yang membolehkan memilih satu dari empat madzhab bisa dikata mencengangkan orang awam semisal penulis sendiri jika muncul pertanyaan kenapa kita harus memilih madzhab Syafi’i?. Tulisan ini sendiri merupakan respon terhadap salah satu teman penulis yang mempertanyakan kenapa kita harus memilih madzhab Syafi’i?. Sebelum kita kupas tuntas judul diatas, alangkah baiknya jika kita memahami lebih dahulu apakah wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab?
Diterangkan dalam ensiklopedi Islam pesantren, lebih tepatnya dalam kitab Mizan Asy Sya’roni Fi Fatawi Al Kubro dan Nihayah Al Ushul bahwa pada masa sekarang, wajib bagi umat Islam mengikuti salah satu dari empat madzhab yang tersohor dan madzhab tersebut telah mudawwan atau terkodifikasi (tersusun dalam sebuah ensiklopedi yang patut dijadikan rujukan-pen), empat madzhab tersebut adalah madzhab Hanafi oleh Abu Hanifah An Nu’man bin Tsabit, madzhab Maliki oleh Imam Malik bin Anas bin Malik, madzhab Syafi’i oleh Abi Abdillah Muhammad bin Idris Asy Syafi’i, dan madzhab Hambali oleh Imam Ahmad bin Hambal.
Selain itu, alasan lain mengapa kita wajib bermadzhab adalah diantaranya : Pertama, kualitas pribadi dan keilmuan ke empat madzhab itu sudah masyhur, jika disebut nama mereka hampir dapat dipastikan mayoritas umat Islam di dunia mengenal dan tidak perlu lagi menjelaskan secara detail. Kedua, imam madzhab empat tersebut merupakan Imam Mujtahid Mutlaq Mustaqil, yaitu Imam Mujtahid yang mampu secara mandiri menciptakan manhajul fikr, pola, metode, proses dan prosedur istinbath dengan seluruh perangkat yang dibutuhkan. Sekelas Imam Ghazali saja belum mencapai derajat seperti empat imam madzhab itu, beliau masih mengikuti madzhab Imam Syafi`i. Ketiga, para imam madzhab itu mempunyai murid yang secara konsisten mengajar dan mengembangkan madzhabnya yang didukung buku induk yang masih terjamin keasliannya hingga saat ini. Ternyata para Imam Madzhab itu mempunyai mata rantai dan jaringan intelektual diantara mereka.
Apabila kita sudah memahami semua yang telah disebutkan diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kebenaran dalam beragama Islam adalah apa yang dipegang oleh kaum as salaf ash sholih, yaitu para ulama, kyai, dan habaib ahlussunnah wal jama’ah. Disamping itu, mayoritas ulama ahlussunnah wal jama’ah adalah pengikut salah satu madzhab empat. Kita ambil contoh semisal Syekh Abdul Qadir Al Jaelani yang bermadzhab Hambali, Imam Ghazali bermadzhab Syafi’i, Imam Syadzili bermadzhab Maliki, dan Imam Ibnu Jariri At Thabari yang bermadzhab Hanafi. Jadi bertaqlid (mengikuti ajaran-pen) pada salah satu dari madzhab empat tertentu menjamin pada hakikat kebenaran, dan lebih dekat pada ketelitian, serta lebih mudah dalam mendapatkan ajaran Islam. Inilah yang telah dianut oleh para ulama as salaf ash sholih panutan kita. Selain itu, dizaman sekarang ini sangatlah sulit seseorang dalam mencapai maqam mujtahid, karena untuk mencapai maqam tersebut dibutuhkan segudang syarat yang wajib dipenuhi seperti memahami al qur’an dan hadits dengan semua propertinya semisal mantiq, balaghah, arudl, asbab an nuzul, asbab al wurud, tafsir, nahwu, shorof, ushul fiqh, dll. Atas dasar itulah kita sebagai generasi penerus yang notabene masih dalam maqam awam wajib hukumnya mengikuti salah satu dari madzhab empat.
Mengapa memilih madzhab Syafi’i?
Pertanyaan diatas mungkin hanya bisa dijawab oleh orang yang sudah mumpuni dalam ilmu agama. Namun disini penulis mencoba menyajikan sebuah jawaban yang dinukil dari kitab-kitab kuning yang penulis fahami berdasarkan kajian yang penulis dapatkan di Pesantren. Oleh karena itu, jikalau ada kesalahan serta ke-tidak-sefaham-an dari pembaca mengenai jawaban yang penulis paparkan, kiranya itu menjadi nuqthoh atas kebodohan penulis jua. Penulis sangat mengharapkan kritik dan saran dari para pembaca terutama para ulama, kyai, asatidz dan santri-santri yang pangkatnya jauh lebih tinggi diatas penulis sendiri. Sebagaimana penyair Arab mengatakan “In Tajid Fittarkibi Wal I’robi Ayban Fakun Muslihan Bittaswibi”.
Langsung saja, secara terminologi, mazhab adalah pendapat imam mujtahid dalam menetapkan suatu hukum Islam dari Alquran dan Hadits, dan disertai pula pemahaman para muridnya mengenai hukum syariat melalui asasi yang telah di-qanun-kan oleh imam mujtahid tersebut.
Jadi yang dikatakan dengan bermazhab adalah mengikuti pendapat imam mazhab dan para muridnya, sehingga seseorang yang beramal sesuai dengan pendapat Imam Syafi’i dan para muridnya dikategorikan sebagai seorang yang bermazhab Syafi’i atau dengan sebutan lain, yaitu Syafi’iyah.
Berdasarkan konsep istqro’i (riset-pen) yang banyak ulama dan pakar lakukan, ada beberapa faktor yang mungkin bisa menjawab pertanyaan sekaligus judul diatas. Kita ketahui bahwa Indonesia dan beberapa negara lain di Asia Tenggara menjadi tempat berdomisilinya muslim yang bermazhab Syafi'i, hal tersebut dipengaruhi beberapa faktor, di antaranya:
1. Arus penyebaran Islam dilakukan oleh para pendakwah bermadzhab Syafi'i, baik da’i sebelum Walisongo maupun sesudah mereka. Memang terdapat beberapa daerah yang -diduga- terpengaruh Syiah dengan ritus-ritus khas yang terlestarikan hingga saat ini, begitupun daerah yang di abad ke-19 tersentuh gerakan Wahhabi, seperti di Sumatera Barat. Hanya saja ini merupakan gejala kasuistik saja, gejala umumnya tetap Sunni-Syafi'i.
2. Para sultan di berbagai kerajaan Nusantara memberi dukungan atas pengajaran madzhab ini. Secara khusus mereka membiayai penulisan sebuah Kitab. Misalnya, Sultanah Safiyyatuddin Syah, penguasa Aceh, meminta Syaikh Abdurrauf Assinkili merampungkan kitab fiqh Mir'atut Thullab yang selesai ditulis pada 1074 H/1663 M. Kitab ini bahkan dijadikan rujukan fiqh hingga di kepulauan Mindanao, Filipina. Sultan Tahmidullah, penguasa Kesultanan Banjar, meminta Syaikh Arsyad Al Banjari menulis "Sabilul Muhtadin" yang rampung pada 1195 H/1781 M.
3. Mata rantai intelektual terjalin atas dasar kesamaan madzhab. Jaringan ini terlestarikan dari Haramain ke Nusantara. Sampai saat ini jaringan tetap terbina.
4. Arus imigrasi dari Hadramaut (Yaman) memperkuat jejaring sosial-intelektual yang telah ada. Kitab-kitab karya ulama 'Alawiyyin Hadhramaut menjadi acuan dalam tazkiyatun nafs, seperti Risalatul Mu'awanah karya Sayyid Abdullah bin Alawi Al-Haddad. Demikian pula pembacaan Ratib (al Aththas, al Haddad) menjadi rutinitas khas di beberapa pesantren Nusantara.
5. Para qadhi (penghulu atau hakim-pen) di era kesultanan hingga zaman kolonial menggunakan kitab fiqh Syafi'iyyah sebagai rujukan utama. Bahkan penulisan kitab-kitab fiqh yang dilakukan oleh ulama Nusantara merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah. Mir'atut Thullab-nya Syaikh Abdurrauf Assinkili maupun Sabilul Muhtadin-nya Syaikh Arsyad Al Banjari banyak merujuk pada kitab-kitab Syafi'iyah seperti Fathul Wahhab, Tuhfatul Muhtaj, Mughniyyul Muhtaj, Nihayatul Muhtaj, Minhajut Thullab, dan sebagainya. Kitab Sirath Al Mustaqim-nya Syaikh Nuruddin Arraniri juga banyak dikutip di dalamnya. Hal ini jelas mempengaruhi tradisi intelektual pada babakan sejarah berikutnya.
6. Demikian dominannya Madzhab Syafi'i dan kitab-kitab Syafi'iyyah sehingga hal ini sangat mempengaruhi corak istinbath al ahkam dalam tradisi fiqh di kalangan NU, bahkan terdapat klasifikasi Kutub Al Mu'tabarah. Keberadaan kitab lintas madzhab baru saja dikenal setelah Kiai Sahal Mahfudz, Kiai Imran Chamzah, dan Gus Mus mendorong perubahan paradigmatik dari tradisi qawliyyah ke manhajiyyah, di Munas NU di Lampung.
7. Di Asia Tenggara khususnya di Indonesia yang merupakan Negara tropis, sangat cocok dengan madzhab Syafi’i, hal ini bukan karena membabi butanya orang-orang islam terhadap salah satu madzhab saja, melainkan juga karena kepatutan dan kecocokan suatu madzhab dengan daerah domainnya. Kita ambil contoh, misal di daerah pegunungan yang dingin, jika kita mengikuti madzhab Syafi’i dalam mengusap kepala maka cuman sebagiannya saja, sehingga tidak terlalu atis (dingin-pen). Tetapi jika kita mengikuti madzhab maliki yang ketika mengusap kepala harus seluruhnya, maka hal ini dirasa memberatkan karena bisa menimbulkan atis itu tadi.
Sebagai penutup, penulis akan menyajikan satu keterangan menarik yang penulis dapatkan dari kitab Hasyiah Bujairami 'Alal Khothib Li Sulaiman bin Muhammad Al Bujarami Juz 1 Hal 59. Didalam kitab itu diterangkan bahwa :
فائدة ؛ إتفق لبعض الأولياء الله تعالى إنه رأى ربّه في المنام فقال يا رب بأي المذاهب أستغل فقال له مذهب الشافعي نفيس انتهى (حاشية البجيرمي على الخطيب لسليمان بن محمد البجيرمي الجزأ ١ ص ٥٩)
Keterangan;
Banyak para auliya’illah (para wali Allah yang mempunyai pangkat kewalian tinggi-pen) bersepakat bahwa sesungguhnya mereka bermimpi bertemu dengan Allah SWT (bilaa kaefin wa ikhtishorin-pen) kemudian mereka bermunajat kepada Allah SWT “Wahai Tuhan-ku, kepada madzhab siapakah kami harus ikut?. Lalu Allah SWT berfirman “Madzhab Syafi’i itu lebih indah atau baik”.
Namun sungguhpun demikian, kita tidak boleh bahkan haram menafsiri bahwa madzhab lain selain Syafi’iyyah tidak baik, tidak indah, dan tuduhan-tuduhan lain. Karena sesungguhnya pangkat orang itu berbeda-beda. Berhati-hatilah dalam memahami sebuah kalimat meskipun kalimat tersebut kita anggap benar dimata kita. Wallahu a’lam bisshowaab
Referensi;
1. I’anathu Ath Tholibin Juz 4 Bab Qodli
2. Mizan Asy Sya’roni Fi Fatawi Al Kubro
3. Nihayah Al Ushul
4. Risalah Aswaja oleh PWNU Jatim
5. Risalah Aswaja oleh LTM-NU Pusat
6. Ke-NU-an oleh PWNU Yogyakarta Tahun 1958
7. Hasyiah Bujairami 'Alal Khothib
0 komentar:
Posting Komentar