Buku
yang sedang Anda baca ini merupakan hasil penelitian yang berlangsung lebih
dari dua tahun dan dilakukan oleh LibForAll Foundation, sebuah institusi
non-pemerintah yang memperjuangkan terwujudnya kedamaian, kebebasan, dan
toleransi di seluruh dunia yang diilhami oleh warisan tradisi dan budaya bangsa
Indonesia. Secara formal, kami bersama C. Holland Taylor adalah pendiri-bersama
LibForAll Foundation, dan bersama-sama dengan KH. A. Mustofa Bisri, Prof. Dr.
Ahmad Syafii Maarif, Prof. Dr. M. Amin Abdullah, Prof. Dr. Azyumardi Azra,
Prof. Dr. Nasr Hamid Abu-Zayd, Syeikh Musa Admani, Prof. Dr. Abdul Munir
Mulkhan, Dr. Sukardi Rinakit, dan Romo Franz Magnis-Suseno menjadi Penasehat
LibForAll Foundation. Dalam kunjungan CEO LibForAll Foundation ke Mesir pada akhir
Mei 2008, Syeikh al-Akbar al-Azhar, Muhammad Sayyid Tantawi juga menyatakan
kesediaannya untuk menasehati LibForAll Foundation dalam usaha menghadirkan
Islam sebagai rahmatan lil 'alamin. Dan sebenarnya, siapa pun di seluruh dunia
yang berhati baik, berkemauan baik, dan punya perhatian kuat pada usaha-usaha
mewujudkan kedamaian, kebebasan, dan toleransi, secara kultural adalah keluarga
LibForAll Foundation.
Dalam
usaha dimaksud, LibForAll Foundation selalu mengutamakan pendekatan spiritual
untuk menumbuhkan kesadaran yang mampu mendorong transformasi individual maupun
sosial. Hal ini didasari kenyataan bahwa ketegangan batiniah antara roh dan
hawa nafsu berdampak pada aktivitas lahiriah. Bahkan, ketegangan batiniah ini
kerap memicu konflik-konflik lahiriah, baik antar individu maupun sosial. Dalam
konteks inilah, sabda Kanjeng Nabi Muhammad saw. kepada para sahabat,
"Raja'na min jihad al-ashghar ila jihad al-akbar" (Kita pulang dari
jihad kecil menuju jihad besar), sepulang dari perang Badr menjadi sangat
penting untuk kita renungkan. Mendengar pernyataan tersebut, para sahabat
sangat terkejut. Mereka bertanya-tanya, perang (qital) apa lagi yang lebih
dahsyat. Rasulullah saw. menjelaskan, "Perang melawan hawa nafsu."
Para sahabat terdiam, sadar betapa berat dan sulit melawan musuh di dalam diri.
Selain sulit diidentifikasi, melawan musuh dalam selimut juga menuntut
ketegasan dan ketegaran emosional karena ia merupakan bagian tak terpisahkan
dari diri setiap orang.
Hawa
nafsu adalah suatu kekuatan yang selalu menyimpan potensi destruktif dan
membuat jiwa selalu resah, gelisah, dan tidak pernah tenang. Para ulama kerap
membandingkan hawa nafsu dengan binatang liar. Siapa pun yang telah menjinakkan
hawa nafsunya, dia akan tenang dan mampu menggunakan nafsunya untuk melakukan
aktivitas dan/atau mencapai tujuan-tujuan luhur. Sebaliknya, siapa pun yang
masih dikuasai hawa nafsunya, dia akan selalu gelisah dan ditunggangi oleh hawa
nafsunya, dia membahayakan dirinya dan orang lain.
Dari
perspektif ini ada dua kategori manusia: Pertama, orang-orang yang sudah mampu
menjinakkan hawa nafsunya sehingga bisa memberi manfaat kepada siapapun. Mereka
adalah pribadi-pribadi yang tenang dan damai (al-nafs al-muthmainnah) dan
menjadi representasi kehadiran spiritualitas, khalifat Allah yang sebenarnya
(dalam konteks Mahabharata, para Pandawa). Kedua, mereka yang masih dikuasai
hawa nafsu sehingga selalu menjadi biang keresahan dan masalah bagi siapa pun.
Mereka adalah pribadi-pribadi gelisah dan menjadi biang kegelisahan sosial dan
pembuat masalah (al-nafs al-lawwamah) dan menjadi representasi kehadiran hawa
nafsu, orang-orang musyrik yang sebenarnya (dalam konteks Mahabharata, para
Kurawa). Kedua kelompok ini hadir dalam berbagai tingkat realitas dan interaksi
sosial dengan intensitas yang beragam. Dari tingkat lokal, nasional, hingga
internasional; dalam bidang pendidikan dan agama hingga bisnis dan politik;
dalam urusan pribadi hingga kelompok, dan sebagainya.
Pada
kenyataannya, pertentangan antara jiwa-jiwa yang tenang dengan jiwa-jiwa yang
resah ini mewarnai sejarah semua penjuru dunia, antara lain seperti
pertentangan Nabi Muhammad saw. dengan kafir-musyrik di Hijaz. Namun satu hal
yang unik di Nusantara adalah, sekalipun pertentangan semacam ini terjadi
berulang-ulang sejak masa nenek moyang bangsa Indonesia, ajaran spiritual dan
nilai-nilai luhur jiwa-jiwa yang tenang tetap dominan di tanah air kita.
Prinsip "Bhinneka Tunggal Ika" Mpu Tantular misalnya, telah
mengilhami para penguasa Nusantara dari jaman Hindu-Budha hingga dewasa ini;
dan Sunan Kalijogo —yang terkenal akomodatif terhadap tradisi lokal— mendidik
para penguasa pribumi tentang Islam yang damai, toleran, dan spiritual. Melalui
para muridnya, antara lain Sultan Adiwijoyo, Juru Martani, dan Senopati ing
Alogo, Sunan Kalijogo berhasil menyelamatkan dan melestarikan nilai-nilai luhur
tersebut yang manfaatnya tetap bisa kita nikmati hingga dewasa ini.
Di
Indonesia modern pun kita menyaksikan kehadiran jiwa-jiwa yang tenang (al-nafs
al-muthmainnah) ini —antara lain— dalam proses kelahiran dan tumbuhnya
kesadaran kebangsaan kita, khususnya dalam dialog antara Islam dan nasionalisme
Indonesia. Memang tidak banyak yang tahu salah satu penggalan sejarah
konseptual kebangsaan kita. Sejak tahun 1919, tiga sepupu secara intensif mulai
membicarakan hubungan antara Islam sebagai seperangkat ajaran agama dengan
nasionalisme. Mereka adalah H. O. S. Tjokroaminoto, KH. Hasjim Asy'ari, dan KH.
Wahab Chasbullah. Belakangan, menantu Tjokroaminoto, Soekarno yang ketika itu
baru berusia 18 tahun, terlibat aktif dalam pertemuan mingguan yang berlangsung
bertahun-tahun tersebut. Kesadaran kebangsaan inilah yang diwarisi oleh
generasi berikutnya, seperti Abdul Wahid Hasjim (putra KH. Hasjim Asy'ari), KH.
A. Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo
Sugito (tokoh Ahmadiyah).
Dalam
muktamar di Banjarmasin pada tahun 1935, Nahdlatul Ulama memutuskan untuk tidak
mendukung terbentuknya Negara Islam melainkan mendorong umat Islam untuk
mengamalkan ajaran agamanya demi terbentuknya masyarakat yang Islami dan
sekaligus membolehkan pendirian Negara Bangsa. Sepuluh tahun kemudian,
tokoh-tokoh Muslim Nusantara yang terlibat dalam proses kemerdekaan menerima
konsep Negara Pancasila yang disampaikan Soekarno, dan kebanyakan pemimpin
organisasi-organisasi Islam ketika itu menerima gagasan Soekarno tersebut.
Berdasarkan konsep kebangsaan yang kental dengan nilai-nilai keagamaan dan
budaya bangsa inilah, pada tanggal 17 Agustus 1945 —atas nama bangsa Indonesia—
Soekarno dan Muhammad Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia, sebuah
negara bangsa yang mengakui dan melindungi keragaman budaya, tradisi, dan
keagamaan yang sudah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Gagasan
negara bangsa ini adalah buah dari pahit getir pengalaman sejarah Nusantara
sendiri. Pada satu sisi, sejarah panjang Nusantara yang pernah melahirkan dan
mengalami peradaban-peradaban besar Hindu, Budha, dan Islam selama masa
kerajaan Sriwijaya, Sailendra, Mataram I, Kediri, Singosari, Majapahit, Demak,
Aceh, Makasar, Goa, Mataram II, dan lain-lain telah memperkuat kesadaran
tentang siginifikansi melestarikan kekayaan dan keragaman budaya dan tradisi
bangsa. Sementara pada sisi yang lain, dialog terus-menerus antara Islam
sebagai seperangkat ajaran agama dengan nasionalisme yang berakar kuat dalam
pengalaman bangsa Indonesia, telah menegaskan kesadaran bahwa negara bangsa
yang mengakui dan melindungi beragam keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa
Indonesia merupakan pilihan tepat bagi bangunan kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pepatah Mpu Tantular, ajaran dan gerakan Sunan Kalijogo, serta
keteladanan lain semacamnya, dengan tepat mengungkapkan kesadaran spiritual
yang menjadi landasan kokoh Indonesia modern dan melindunginya dari perpecahan
sejak proklamasi kemerdekaan pada tahun 1945.
Dengan
segenap hubungan fluktuatif yang terjadi, semua ini bukanlah sebuah proses yang
mudah, ini merupakan fakta historis yang harus kita sadari dan pahami. Beberapa
periode sejarah Nusantara berlumur darah akibat konflik yang terjadi —antara
lain— atas nama agama. Para ulama seperti Abikusno Tjokrosujoso, KH. A. Kahar
Muzakkir, H. Agus Salim, KH. A. Wahid Hasjim, Ki Bagus Hadikusumo, Kasman
Singodimejo, Teuku Mohammad Hassan, dan tokoh-tokoh penting Pendiri Bangsa
lainnya, sadar bahwa negara yang akan mereka perjuangkan dan pertahankan
bukanlah negara yang didasarkan pada dan untuk agama tertentu, melainkan negara
bangsa yang mengakui dan melindungi segenap agama, beragam budaya dan tradisi
yang telah menjadi bagian integral kehidupan bangsa Indonesia.
Para
Pendiri Bangsa sadar bahwa di dalam Pancasila tidak ada prinsip yang
bertentangan dengan ajaran agama. Sebaliknya, prinsip-prinsip dalam Pancasila
justru merefleksikan pesan-pesan utama semua agama, yang dalam ajaran Islam
dikenal sebagai maqashid al-syari’ah, yaitu kemaslahatan umum (al-mashlahat
al-'ammah, the common good). Dengan kesadaran demikian mereka menolak pendirian
atau formalisasi agama dan menekankan substansinya. Mereka memposisikan negara
sebagai institusi yang mengakui keragaman, mengayomi semua kepentingan, dan
melindungi segenap keyakinan, budaya, dan tradisi bangsa Indonesia. Dengan cara
demikian, melalui Pancasila mereka menghadirkan agama sebagai wujud kasih
sayang Tuhan bagi seluruh makhluk-Nya (rahmatan lil 'alamin) dalam arti
sebenarnya. Dalam konteks ideal Pancasila ini, setiap orang bisa saling
membantu untuk mewujudkan dan meningkatkan kesejahteraan duniawi, dan setiap
orang bebas beribadah untuk meraih kesejahteraan ukhrawi tanpa mengabaikan yang
pertama.
Memang
ada relasi fluktuatif antara agama (c.q. Islam) dengan nasionalisme (c.q.
Pancasila). Ada kelompok yang ingin mendirikan negara Islam melalui konstitusi
(misalnya dalam Majlis Konstituante) dan lainnya melalui kekuatan senjata
(seperti dalam kasus DI/TII). Namun selalu ada mayoritas bangsa Indonesia
(Muslim dan non-Muslim) yang setuju dengan Pancasila dan memperjuangkan gagasan
para Pendiri Bangsa. Semua ini menjadi pelajaran sangat berharga bagi kesadaran
tentang pentingnya bangunan Negara Bangsa. Sikap ormas-ormas keagamaan, seperti
NU dan Muhammadiyah misalnya, maupun parpol-parpol berhaluan kebangsaan yang
menyatakan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila
dan UUD 1945 merupakan bentuk final dan konsensus nasional bangunan kebangsaan
kita, bukanlah sikap oportunisme politik melainkan kesadaran sejati yang
didasarkan pada realitas historis, budaya, dan tradisi bangsa kita sendiri
serta substansi ajaran agama yang kita yakini kebenarannya.
Sikap
nasionalis ini juga merupakan suatu bentuk tanggung jawab untuk menjamin masa
depan bangsa agar tetap berjalan sesuai dengan budaya dan tradisi Nusantara,
dan sesuai pula dengan nilai-nilai substantif ajaran agama yang sudah menjadi
bagian integral kehidupan bangsa Indonesia. Sikap para tokoh
nasionalis-religius yang berjuang mempertahankan bangunan kebangsaan NKRI
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 ini bisa disebut sebagai kehadiran jiwa-jiwa
yang tenang (al-nafs al-muthmainnah), pribadi-pribadi yang terus berusaha untuk
memberi manfaat sebanyak mungkin kepada siapa pun tanpa mempermasalahkan
perbedaan-perbedaan yang ada. Dan dengan cara demikian mereka berjuang keras
mewujudkan kasih-sayang (rahmat) bagi semua makhluk.
Sikap
serupa tidak tampak pada beberapa ormas maupun parpol yang bermunculan
menjelang dan setelah berakhirnya kekuasaan Orde Baru. Mereka mengingatkan kita
pada gerakan Darul Islam (DI), karena seperti DI, mereka juga berusaha mengubah
negara bangsa menjadi Negara Agama, mengganti ideologi negara Pancasila dengan
Islam versi mereka, atau bahkan menghilangkan NKRI dan menggantinya dengan
Khilafah Islamiyah.
Tentang
klaim-klaim implisit para aktivis garis keras bahwa mereka sepenuhnya memahami
maksud kitab suci, dan karena itu mereka berhak menjadi wakil Allah (khalifat
Allah) dan menguasai dunia ini untuk memaksa siapa pun mengikuti pemahaman
‘sempurna’ mereka, sama sekali tidak bisa diterima baik secara teologis maupun
politis. Mereka benar bahwa kekuasan hanya milik Allah swt. (la hukm illa li
Allah), tetapi tak seorang pun yang sepenuhnya memahami kekuasaan Allah swt.
Karena itu Nabi bersabda, "Kalian tidak tahu apa sebenarnya hukum
Allah." Ringkasnya, sekalipun didasarkan pada al-Qur'an dan sunnah, fiqh
—yang lazim digunakan sebagai justifikasi teologis kekuasaan oleh mereka—
sebenarnya adalah hasil usaha manusia yang terikat dengan tempat, waktu, dan
kemampuan penulis fiqh yang bersangkutan.
Tidak
sadar atau mengabaikan prinsip-prinsip ini, para aktivis garis keras berjuang
mengubah Islam dari agama menjadi ideologi. Pada gilirannya, Islam menjadi
dalih dan senjata politik untuk mendiskreditkan dan menyerang siapa pun yang
pandangan politik dan pemahaman keagamaannya berbeda dari mereka. Jargon
memperjuangkan Islam sebenarnya adalah memperjuangkan suatu agenda politik
tertentu dengan menjadikan Islam sebagai kemasan dan senjata. Langkah ini
sangat ampuh, karena siapa pun yang melawan mereka akan dituduh melawan Islam.
Padahal jelas tidak demikian.
Pada
saat yang sama, dengan dalih memperjuangkan dan membela Islam, mereka berusaha
keras menolak budaya dan tradisi yang selama ini telah menjadi bagian integral
kehidupan bangsa Indonesia, mereka ingin menggantinya dengan budaya dan tradisi
asing dari Timur Tengah, terutama kebiasaan Wahabi-Ikhwanul Muslimin, semata karena
mereka tidak mampu membedakan agama dari kultur tempat Islam diwahyukan. Mereka
selalu bersikap keras dan tak kenal kompromi seolah-olah dalam Islam tidak ada
perintah ishlah, yang ada hanya paksaan dan kekerasan. Karena sikap seperti itu
maka mereka populer disebut sebagai kelompok garis keras.
Kita
harus sadar bahwa jika Islam diubah menjadi ideologi politik, ia akan menjadi
sempit karena dibingkai dengan batasan-batasan ideologis dan platform politik.
Pemahaman apa pun yang berbeda, apalagi bertentangan dengan pemahaman mereka,
dengan mudah akan dituduh bertentangan dengan Islam itu sendiri, karena watak
dasar tafsir ideologi memang bersifat menguasai dan menyeragamkan. Dalam
bingkai inilah aksi-aksi pangkafiran maupun pemurtadan sering dan mudah dituduhkan
terhadap orang atau pihak lain. Perubahan ini dengan jelas mereduksi,
mengamputasi, dan mengebiri pesan-pesan luhur Islam dari agama yang penuh
dengan kasih sayang dan toleran menjadi seperangkat batasan ideologis yang
sempit dan kaku.
Pada
umumnya aspirasi kelompok-kelompok garis keras di Indonesia dipengaruhi oleh
gerakan Islam transnasional dari Timur-Tengah, terutama yang berpaham Wahabi
atau Ikhwanul Muslimin, atau gabungan keduanya. Kelompok-kelompok garis keras
di Indonesia, termasuk partai politiknya, menyimpan agenda yang berbeda dari
ormas-ormas Islam moderat seperti Muhammadiyah, NU, dan partai-partai berhaluan
kebangsaan. Dalam beberapa tahun terakhir sejak kemunculannya,
kelompok-kelompok garis keras telah ‘berhasil’ mengubah wajah Islam Indonesia
mulai menjadi agresif, beringas, intoleran, dan penuh kebencian. Padahal,
selama ini Islam Indonesia dikenal lembut, toleran dan penuh kedamaian (majalah
internasional Newsweek pernah menyebut Islam Indonesia sebagai "Islam with
a smiling face").
Kelompok-kelompok
garis keras berusaha merebut simpati umat Islam dengan jargon memperjuangkan
dan membela Islam, dengan dalih tarbiyah dan dakwah amar ma'ruf nahy munkar.
Jargon ini sering memperdaya banyak orang, bahkan mereka yang berpendidikan
tinggi sekalipun, semata karena tidak terbiasa berpikir tentang spiritualitas
dan esensi ajaran Islam. Mereka mudah terpancing, terpesona dan tertarik dengan
simbol-simbol keagamaan.
Sementara
kelompok-kelompok garis keras sendiri memahami Islam tanpa mengerti substansi
ajaran Islam sebagaimana dipahami oleh para wali, ulama, dan Pendiri Bangsa.
Pemahaman mereka tentang Islam yang telah dibingkai oleh batasan-batasan
ideologis dan platform politiknya tidak mampu melihat, apalagi memahami,
kebenaran yang tidak sesuai dengan batasan-batasan ideologis, tafsir harfiah,
atau platform politik mereka. Karena terbatasnya kemampuan memahami inilah maka
mereka mudah menuduh kelompok lain yang berbeda dari mereka atau tidak
mendukung agenda mereka sebagai kafir atau murtad.
Terkait
dengan pengikutnya, ada orang-orang yang bergabung dan mendukung garis keras
karena mereka terpesona dan tertarik dengan simbol-simbol kegamaan yang
dikampanyekan tokoh-tokoh garis keras. Pada sisi yang lain, ada orang-orang
yang memang secara sengaja memperdaya masyarakat dengan meneriakkan
simbol-simbol keagamaan demi memuaskan agenda hawa nafsu mereka. Kita harus
berusaha mengajak dan mengilhami masyarakat untuk rendah hati, terus belajar
dan bersikap terbuka agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran Islam,
dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang. Lebih dari itu, sebagai bangsa kita harus
sadar bahwa apa yang para aktivis garis keras lakukan dan perjuangkan
sebenarnya bertentangan dengan dan mengancam Pancasila dan UUD 1945, dan bisa
menghancurkan NKRI. Aksi-aksi anarkis, pengkafiran, pemurtadan, dan berbagai
pembunuhan karakter lainnya yang sering mereka lakukan adalah usaha untuk
memecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Kami
sudah sering dituduh kafir dan murtad, tetapi kami tetap tenang-tenang saja.
Kelompok-kelompok garis keras mengukur kebenaran pemahaman agama secara
ideologis dan politis, sementara kami mendasarkan pemahaman dan praktik
keagamaan kami pada semangat rahmat dan spiritual yang terbuka. Kami berpedoman
pada paham Ahlussunnah wal jamaah, sementara mereka mewarisi kebiasaan ekstrem
Khawarij yang gemar mengkafirkan dan memurtadkan siapa pun yang berbeda dari
mereka, kebiasaan buruk yang dipelihara oleh Wahabi dan kaki tangannya.
Karena
kelompok-kelompok garis keras menganggap setiap Muslim lain yang berbeda dari
mereka sebagai kurang Islami, atau bahkan kafir dan murtad, maka mereka
melakukan infiltrasi ke masjid-masjid, lembaga-lembaga pendidikan,
instansi-instansi pemerintah maupun swasta, dan ormas-ormas Islam moderat, terutama
Muhammadiyah dan NU, untuk mengubahnya menjadi keras dan kaku juga. Mereka
mengklaim memperjuangkan dan membela Islam, padahal yang dibela dan
diperjuangkan adalah pemahaman yang sempit dalam bingkai ideologis dan platform
politik mereka, bukan Islam itu sendiri. Mereka berusaha keras menguasai
Muhammadiyah dan NU karena keduanya merupakan ormas Islam yang kuat dan
terbanyak pengikutnya. Selain itu, kelompok-kelompok ini menganggap
Muhammadiyah dan NU sebagai penghalang utama pencapaian agenda politik mereka,
karena keduanya sudah lama memperjuangkan substansi nilai-nilai Islam, bukan
formalisasi Islam dalam bentuk negara maupun penerapan syariat sebagai hukum
positif.
Infiltrasi
kelompok garis keras ini telah menyebabkan kegaduhan dalam tubuh ormas-ormas
Islam besar tersebut. Dalam konteks inilah kami ingat pada pertarungan tanpa
henti dalam diri manusia (insan shaghir), yakni pertarungan antara jiwa-jiwa
yang tenang (al-nafs al-muthmainnah) melawan hawa nafsu (al-nafs al-lawwamah),
atau pertarungan antara Pandawa melawan Kurawa. Sementara yang pertama berusaha
mewujudkan kedamaian dan ketenangan, maka yang kedua selalu membuat kegaduhan,
keributan, dan kekacauan.
Gerakan
garis keras transnasional dan kaki tangannya di Indonesia sebenarnya telah lama
melakukan infiltrasi ke Muhammadiyah. Dalam Muktamar Muhammadiyah pada bulan
Juli 2005 di Malang, para agen kelompok-kelompok garis keras, termasuk
kader-kader PKS dan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), mendominasi banyak forum dan
berhasil memilih beberapa simpatisan gerakan garis keras menjadi ketua PP.
Muhammadiyah. Namun demikian, baru setelah Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan mudik
ke desa Sendang Ayu, Lampung, masalah infiltrasi ini menjadi kontroversi besar
dan terbuka sampai tingkat internasional.
Masjid
Muhammadiyah di desa kecil Sendang Ayu —yang dulunya damai dan tenang— menjadi
ribut karena dimasuki PKS yang membawa isu-isu politik ke dalam masjid, gemar
mengkafirkan orang lain, dan menghujat kelompok lain, termasuk Muhammadiyah
sendiri. Prof. Munir kemudian memberi penjelasan kepada masyarakat tentang cara
Muhammadiyah mengatasi perbedaan pendapat, dan karena itu masyarakat tidak lagi
membiarkan orang PKS memberi khotbah di masjid mereka. Dia lalu menuliskan
keprihatinannya dalam Suara Muhammadiyah. Artikel ini menyulut diskusi serius
tentang infiltrasi garis keras di lingkungan Muhammadiyah yang sudah terjadi di
banyak tempat, dengan cara-cara yang halus maupun kasar hingga pemaksaan.
Artikel
Prof. Munir mengilhami Farid Setiawan, Ketua Umum Dewan Pimpinan Daerah Ikatan
Mahasiswa Muhammadiyah (DPD IMM) Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), membicarakan
infiltrasi garis keras ke dalam Muhammadiyah secara lebih luas dalam dua
artikel di Suara Muhammadiyah. Dalam yang pertama, "Ahmad Dahlan Menangis
(Tanggapan terhadap Tulisan Abdul Munir Mulkhan)," Farid mendesak agar
Muhammadiyah segera mengamputasi virus kanker yang, menurut dia, sudah masuk
kategori stadium empat. Karena jika diam saja, "tidak tertutup kemungkinan
ke depan Muhammadiyah hanya memiliki usia sesuai dengan umur para pimpinannya
sekarang. Dan juga tidak tertutup kemungkinan jika Alm. KH. Ahmad Dahlan dapat
bangkit dari liang kuburnya akan terseok dan menangis meratapi kondisi yang
telah menimpa kader dan anggota Muhammadiyah" yang sedang direbut oleh
kelompok-kelompok garis keras.
Dalam
artikelnya yang kedua, "Tiga Upaya Mu'allimin dan Mu'allimat," Farid
mengungkapkan bahwa "produk pola kaderisasi yang dilakukan ‘virus
tarbiyah’ membentuk diri serta jiwa para kadernya menjadi seorang yang
berpemahaman Islam yang ekstrem dan radikal. Dan pola kaderisasi tersebut sudah
menyebar ke berbagai penjuru Muhammadiyah. Hal ini menyebabkan kekecewaan yang
cukup tinggi di kalangan warga dan Pimpinan Muhammadiyah. Putra-putri mereka
yang diharapkan menjadi kader penggerak Muhammadiyah malah bisa berbalik
memusuhi Muhammadiyah."
Menyadari
betapa jauh dan dalam infiltrasi virus tarbiyah ini, Farid mengusulkan tiga
langkah untuk menyelamatkan Muhammadiyah. Pertama adalah membubarkan
sekolah-sekolah kader Muhammadiyah, karena virus tarbiyah merusaknya sedemikian
rupa; kedua, merombak sistem, kurikulum dan juga seluruh pengurus, guru, sampai
dengan musyrif dan rnusyrifah yang terlibat dalam gerakan ideologi
non-Muhammadiyah dan kepentingan politik lain; ketiga, memberdayakan seluruh
organisasi otonom (ortom) di lingkungan Muhammadiyah.
Artikel
Munir dan Farid menimbulkan kontroversi dan polemik keras antara pimpinan
Muhammadiyah yang setuju dan tidak. Salah satu keprihatinan utama mereka yang
setuju adalah bahwa institusi, fasilitas, anggota dan sumber-sumber daya
Muhammadiyah telah digunakan kelompok-kelompok garis keras untuk selain
kepentingan dan tujuan Muhammadiyah. Di tengah panasnya polemik mengenai
gerakan virus tarbiyah, salah seorang Ketua PP. Muhammadiyah, Dr. Haedar
Nashir, mengklarifikasi isu-isu dimaksud dalam sebuah buku tipis yang berjudul
Manifestasi Gerakan Tarbiyah: Bagaimana Sikap Muhammadiyah?
Kurang
dari tiga bulan setelah buku tersebut terbit, Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah
mengeluarkan Surat Keputusan Pimpinan Pusat (SKPP) Muhammadiyah Nomor
149/Kep/I.0/B/2006 untuk "menyelamatkan Muhammadiyah dari berbagai
tindakan yang merugikan Persyarikatan" dan membebaskannya "dari
pengaruh, misi, infiltrasi, dan kepentingan partai politik yang selama ini
mengusung misi dakwah atau partai politik bersayap dakwah" karena telah
memperalat ormas itu untuk tujuan politik mereka yang bertentangan dengan
visi-misi luhur Muhammadiyah sebagai organisasi Islam moderat:
"...Muhammadiyah
pun berhak untuk dihormati oleh siapa pun serta memiliki hak serta keabsahan
untuk bebas dari segala campur tangan, pengaruh, dan kepentingan pihak manapun
yang dapat mengganggu keutuhan serta kelangsungan gerakannya" (Konsideran
poin 4). "Segenap anggota Muhammadiyah perlu menyadari, memahami, dan
bersikap kritis bahwa seluruh partai politik di negeri ini, termasuk partai
politik yang mengklaim diri atau mengembangkan sayap/kegiatan dakwah seperti
Partai Keadilan Sejahtera (PKS) adalah benar-benar partai politik. Setiap
partai politik berorientasi meraih kekuasaan politik. Karena itu, dalam
menghadapi partai politik manapun kita harus tetap berpijak pada Khittah
Muhammadiyah dan harus membebaskan diri dari, serta tidak menghimpitkan diri
dengan misi, kepentingan, kegiatan, dan tujuan partai politik tersebut"
(Keputusan poin 3).
Keputusan
ini dapat dipahami, karena pada kenyataannya PKS tidak hanya "menimbulkan
masalah dan konflik dengan sesama dan dalam tubuh umat Islam yang lain,
termasuk dalam Muhammadiyah," tapi menurut para ahli politik juga
merupakan ancaman yang lebih besar dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) terhadap
Pancasila, UUD 1945, dan NKRI. Menurut seorang ahli politik dan garis keras
Indonesia, Sadanand Dhume,
"Hanya
ada pemikiran kecil yang membedakan PKS dari JI. Seperti JI, manifesto
pendirian PKS adalah untuk memperjuangkan Khilafah Islamiyah. Seperti JI, PKS
menyimpan rahasia sebagai prinsip pengorganisasiannya, yang dilaksanakan dengan
sistem sel yang keduanya pinjam dari Ikhwanul Muslimin.... Bedanya, JI bersifat
revolusioner sementara PKS bersifat evolusioner. Dengan bom-bom bunuh dirinya,
JI menempatkan diri melawan pemerintah, tapi JI tidak mungkin menang.
Sebaliknya, PKS menggunakan posisinya di parlemen dan jaringan kadernya yang
terus menjalar untuk memperjuangkan tujuan yang sama selangkah demi selangkah
dan suara demi suara.... Akhirnya, bangsa Indonesia sendiri yang akan
memutuskan apakah masa depannya akan sama dengan negara-negara Asia Tenggara yang
lain, atau ikut gerakan yang berorientasi ke masa lalu dengan busana jubah
fundamentalisme keagamaan. PKS terus berjalan. Seberapa jauh ia berhasil akan
menentukan masa depan Indonesia."
Namun,
sebagaimana ditunjukkan oleh studi yang dipaparkan dalam buku ini, sekalipun
SKPP tersebut telah diterbitkan pada bulan Desember 2006, hingga kini belum
bisa diimplementasikan secara efektif. Gerakan-gerakan Islam transnasional
(Wahabi, Ikhwanul Muslimin, dan Hizbut Tahrir) dan kaki tangannya di Indonsia
sudah melakukan infiltrasi jauh ke dalam Muhammadiyah dan mematrikan hubungan
dengan para ekstremis yang sudah lama ada di dalamnya. Keduanya terus aktif
merekrut para anggota dan pemimpin Muhammadiyah lain untuk ikut aliran ekstrem,
seperti yang terjadi saat Cabang Nasyiatul Aisyiyah (NA) di Bantul masuk PKS
secara serentak (en masse). Sementara Farid Setiawan prihatin bahwa mungkin
Muhammadiyah hanya akan mempunyai usia sesuai dengan umur para pengurusnya,
gerakan garis keras justru terus berusaha merebut Muhammadiyah untuk
menggunakannya sebagai kaki tangan mereka berikutnya dengan umur yang panjang.
Banyak tokoh moderat Muhammadiyah prihatin bahwa garis keras bisa mendominasi
Muktamar Muhammadiyah 2010, karena aktivis garis keras semakin kuat dan banyak.
Persis
karena infiltrasi yang semakin kuat inilah, tokoh-tokoh moderat Muhammadiyah
menganggap situasi semakin berbahaya, baik bagi Muhammadiyah sendiri maupun
bangsa Indonesia. Kita harus bersikap jujur dan terbuka serta berterus terang
dalam menghadapi semua masalah yang ada, agar apa pun yang kita lakukan bisa
menjadi pelajaran bagi semua umat Islam dan mampu mendewasakan mereka dalam
beragama dan berbangsa.
Salah
satu temuan yang sangat mengejutkan para peneliti lapangan adalah fenomena
rangkap anggota atau dual membership, terutama antara Muhammadiyah dan garis
keras, bahkan tim peneliti lapangan memperkirakan bahwa sampai 75% pemimpin
garis keras yang diwawancarai punya ikatan dengan Muhammadiyah.
Selain
terhadap Muhammadiyah, penyusupan juga terjadi secara sistematis terhadap NU.
Realitas fungsi strategis masjid mendorong kelompok-kelompok garis keras terus
berusaha merebut dan menguasai masjid dengan segala cara yang mungkin, termasuk
yang tak pernah terpikirkan kecuali oleh penyusup itu sendiri. KH. Mu'adz
Thahir, Ketua PCNU Pati, Jawa Tengah, menceritakan tentang kelompok garis keras
berhasil masuk ke masjid-masjid NU dengan memberikan cleaning service gratis.
Awalnya,
sekelompok anak muda datang membersihkan masjid secara suka rela, demikian
berulang-ulang. Tertarik dengan kesungguhan mereka, takmir memberinya
kesempatan beradzan, lalu melibatkannya sebagai anggota takmir masjid. Dengan
pandai dan cekatan mereka melakukan tugas-tugas itu. Tentu saja karena mereka
memang agen yang khusus menyusup untuk mengambil alih masjid. Setelah posisinya
semakin kuat, mereka mulai mengundang teman-temannya bergabung dalam struktur
takmir, dan akhirnya menentukan siapa yang menjadi imam, khatib, dan mengisi
pengajian dan yang tidak boleh. Bahkan, menentukan apa yang boleh dan harus
disampaikan, dan apa yang tidak boleh. Secara perlahan tapi pasti, masjid jatuh
ke tangan kelompok garis keras sehingga tokoh setempat yang biasa memberi
pengajian dan khotbah di masjid tersebut kehilangan kesempatan mengajarkan
Islam kepada jamaahnya, bahkan kehilangan masjid dan jamaahnya, kecuali jika
bersedia menerima dan mengikuti ideologi keras mereka.
Kasus di
Pati ini hanya salah satu dari sejumlah kasus penyerobotan masjid yang sering
dilakukan di lingkungan Nahdliyin. Jika kasus ini digambarkan dalam sebuah
film, penonton akan berpikir bahwa ini hasil imaginasi sutradara. Tapi
sebenarnya ini adalah manifestasi ideologi, dana, dan sistem gerakan Islam
transnasional dan kaki tangannya di Indonesia yang terus bergerak untuk
menguasai negeri kita. Penelitian ini menunjukkan bahwa sebagian besar
penyerobot masjid NU adalah kelompok PKS dan HTI.
Setelah
menyadari banyak masjid dan jamaahnya diserobot oleh kelompok-kelompok garis
keras, NU mulai melakukan konsolidasi dengan menata kembali organisasinya,
antara lain, di masjid-masjid. PBNU menyatakan dengan tegas bahwa gerakan Islam
transnasional seperti al-Qaidah, Ikhwanul Muslimin (yang di sini
direpresentasikan oleh PKS— red.), dan Hizbut Tahrir adalah gerakan politik
yang berbahaya karena mengancam paham Ahlussunnah wal Jama'ah, dan berpotensi
memecah-belah bangsa. Kemampuan mereka berpura-pura bisa menerima paham dan
tradisi NU juga membuat mereka sangat berbahaya karena bisa menyusup kapan saja
dan ke mana saja. Sementara terkait dengan isu khilafah yang diperjuangkan HTI,
Majlis Bahtsul Masa'il memutuskan bahwa Khilafah Islamiyah tidak memiliki
rujukan teologis, baik di dalam al-Qur'an maupun Hadits.
Walaupun
di beberapa tempat NU telah berhasil mengusir kelompok garis keras, namun di
banyak tempat upaya penyusupan dan penyerobotan masjid dan jamaah NU terus
dilakukan. Secara umum, sebagaimana ditunjukkan penelitian ini, penyusupan
garis keras jauh lebih gencar daripada upaya NU untuk mengusirnya. Jika ini
terus dibiarkan maka bukan tidak mungkin bahwa NU akan kehilangan presentase
signifikan jumlah jamaah dan masjid-masjidnya, dan berubah menjadi kurang
spiritul dan lebih keras.
Penyusupan
garis keras di lingkungan NU, dan kegagalan ormas terbesar dunia ini
menghentikan infiltrasinya ke pemerintahan, MUI dan bidang-bidang strategis
lain secara umum di negara ini, salah satu sebabnya terjadi karena fenomena
"kyai materi" yang tersebar luas. "Kyai-kyai materi" lebih
mengutamakan kepentingan pribadinya daripada kepentingan jamaah dan jam'iyah NU
serta negara. Puluhan juta jamaah NU yang terkonsentrasi di desa-desa dan
daerah-daerah tertentu, adalah kelompok pemilih terbesar (the largest single
group of voters) di Indonesia. Suara mereka bisa menentukan siapa yang akan
terpilih untuk naik ke kursi DPRD, DPR, Bupati, Gubernur dan Presiden. Realitas
ini mendorong banyak parpol tergoda untuk memanipulasi NU dan memanfaatkan
hubungan dengan kyai-kyai materi demi kepentingan politik mereka. Karena sifat
dasar manusia, ada kyai-kyai yang merindukan amplop atau kedudukan politik
kemudian maju untuk menjadi pengurus NU di tingkat cabang, wilayah, atau pusat,
sebagai jembatan untuk memanfaatkan dan dimanfaatkan oleh parpol-parpol dan
politisi tertentu.
Pada
saat yang sama, banyak kyai-kyai spiritual yang mundur dari arena penuh pamrih
dan kepentingan pribadi tersebut dan hanya berbagi ilmu dengan orang-orang yang
datang tanpa pamrih untuk mendekati Tuhan, bukan kedudukan. Dengan jumlah
anggota sekitar empat puluh juta, NU —bersama Muhammadiyah— betul-betul bisa
menjadi soko guru yang mampu untuk tetap menyangga bangunan negara dan bangsa
Indonesia. Tetapi, untuk bisa memenuhi amanah tersebut, NU harus melakukan
revitalisasi spiritual dan kembali ke nilai-nilai utamanya. Dengan cara
demikian, para ulama bisa membimbing yang berkuasa dan tidak membiarkan dirinya
diperalat oleh mereka. Nenek moyang kita meyakini hal ini sebagai dharma
manusia, dan karena alasan itulah wayang kulit selalu menggambarkan raja-raja
bersikap hormat dan tunduk kepada para resi, dan bukan sebaliknya.
Dewasa
ini, kultur wayang yang khas Indonesia dan penuh nilai-nilai luhur sudah mulai
tersisih oleh kultur asing. Adopsi kultur asing secara tidak cerdas akan
membuat bangsa Indonesia kehilangan jatidirinya sebagai bangsa. Hal ini bisa
dilihat —antara lain— dalam kasus yang terjadi di Cairo pada awal tahun 2004.
Saat itu salah seorang Ketua PBNU diundang menyampaikan paper dalam forum
Pendidikan dan Bahtsul Masa'il Islam Emansipatoris bersama Prof. Dr. Hassan
Hanafi dan Dr. Youhanna Qaltah. Sehari sebelum paper disampaikan, Presiden
Perhimpunan Pelajar dan Mahasiswa Indonesia (PPMI) Mesir dan teman-temannya
masuk ke hotel Sonesta tempat acara akan dilaksanakan dan mengancam Ketua PBNU
dimaksud menyajikan papernya. Mereka mengancam, jika larangannya tidak
diindahkan, apa pun akan dilakukan untuk menghentikan, termasuk pembunuhan.
"Kalau Bapak masih bersikeras, saya sendiri yang akan membunuh
Bapak," ancam Limra Zainuddin, Presiden PPMI. Setelah diselidiki, konon
para mahasiswa tadi adalah para aktivis PK (PKS) di Cairo.
Sebagai
Muslim, mahasiswa itu seharusnya bersikap tawddlu' (rendah hati), menghormati
yang lebih tua dan menyayangi yang lebih muda (laisa minna man lam yukrim
kibarana wa lam yarham shigharana). Namun semua ini tidak terjadi karena tidak
adanya pemahaman dan internalisasi ajaran Islam yang penuh spiritualitas, dan
mereka telah mengadopsi kultur asing secara tidak cerdas. Dua hal ini bisa
membuat siapa pun mudah terjebak ke dalam pemahaman-pemahaman yang sempit dan
kaku. Siapa pun yang tidak mempunyai pemahaman yang mendalam tentang Islam,
khususnya tentang hakikat dan ma'rifat, akan melihat bahwa apa yang disampaikan
kelompok-kelompok garis keras sama belaka seperti yang dipahami oleh kebanyakan
umat Islam. Mereka menggunakan bahasa yang sama dengan umat Islam pada umumnya,
seperti dakwah, amar ma'ruf nahy munkar atau Islam rahmatan lil 'alamin, tapi
sebenarnya mereka memahaminya secara berbeda.
Di
tangan mereka, amar ma'ruf nahy munkar telah dijadikan legitimasi untuk
melakukan pemaksaan, kekerasan, dan penyerangan terhadap siapa pun yang
berbeda. Mereka berdalih memperjuangkan al-ma'ruf dan menolak al-munkar setiap
kali melakukan aksi-aksi kekerasan atau pun mendiskreditkan orang atau pihak
lain. Sementara konsep rahmatan lil 'alamin digunakan sebagai dalih formalisasi
Islam, memaksa pihak lain menyetujui tafsir mereka, dan menuduh siapa pun yang
berbeda atau bahkan menolak tafsir mereka sebagai menolak konsep rahmatan lil
'alamin, sebelum akhirnya dicap murtad dan kafir. Padahal, sebenarnya semangat
dasar dakwah adalah memberi informasi dan mengajak, dan Islam menjamin
kebebasan dalam beragama (la ikrah fi al-din [QS. al-Baqarah, 2: 256]). Di sini
kita melihat kontradiksi mendasar antara aktivitas kelompok-kelompok garis
keras dengan ajaran Islam yang penuh kasih sayang, toleran, dan terbuka.
Penggunaan
bahasa yang sama ini membuat mereka menjadi sangat berbahaya, karena dengan
bahasa yang sama mereka mudah mengecoh banyak umat Islam dan mudah pula
menyusup ke mana-mana dan kapan saja. Dengan strategi demikian, ditambah
militansi yang tinggi dan dukungan dana yang kuat dari luar dan dalam negeri,
kelompok-kelompok garis keras ini telah menyusup dan berusaha mempengaruhi
mayoritas umat Islam untuk mengikuti paham mereka. Umat Islam dan pemerintah
selama ini telah terkecoh dan/atau membiarkan aktivitas kelompok-kelompok garis
keras sehingga mereka semakin besar dan kuat dan semakin mudah memaksakan
agenda-agendanya, bukan saja kepada ormas-ormas Islam besar tetapi juga kepada
pemerintah, partai politik, media massa, dunia bisnis, dan lembaga-lembaga
pendidikan.
Sikap
militan dan klaim-klaim kebenaran yang dilakukan kelompok-kelompok garis keras
memang tak jarang membuat mayoritas umat Islam, termasuk politisi oportunis,
bingung berhadapan dengan mereka, karena penolakan kemudian akan dicap sebagai
penentangan terhadap syariat Islam, padahal tidak demikian yang sebenarnya.
Maka tidak heran jika banyak otoritas pemerintah dan partai-partai politik
oportunis mau saja mengikuti dikte kelompok garis keras, misalnya dengan
membuat Peraturan Daerah (Perda) Syariat yang inkonstitusional. Padahal, itu
adalah "Perda fiqh" yang tidak lagi sepenuhnya membawa pesan dan
ajaran syari'ah, dan muatannya bersifat intoleran dan melanggar hak-hak sipil
serta hak-hak minoritas karena diturunkan dari pemahaman fiqh yang sempit dan
terikat, di samping juga tidak merefleksikan esensi ajaran agama yang penuh
spiritualitas, toleransi, dan kasih sayang kepada sesama manusia.
Ringkasnya,
para politisi oportunis yang bekerjasama dengan partai atau kelompok-kelompok
garis keras sangat berbahaya juga. Mereka ikut menjerumuskan negara kita ke
arah jurang perpecahan dan kehancuran. Mereka tidak memperhatikan, dan bahkan
mengorbankan, masa depan bangsa yang multi-agama dan multi-etnik. Sepertinya
mereka hanya mementingkan ambisi pribadi demi melanggengkan kekuasaan dan
meraih kekayaan.
Gerakan
garis keras terdiri dari kelompok-keompok yang saling mendukung dalam mencapai
agenda bersama mereka, baik di luar maupun di dalam institusi pemerintahan
negara kita. Ancaman yang sangat jelas adalah usaha mengidentifikasi Islam
dengan ideologi Wahabi/Ikhwanul Muslimin serta usaha untuk melenyapkan budaya
dan tradisi bangsa kita dan menggantinya dengan budaya dan tradisi asing yang
bernuansa Wahabi tapi diklaim sebagai budaya dan tradisi Islam. Bagian manapun
dari kedua bahaya tersebut, atau keduanya, hanya akan menempatkan bangsa
Indonesia di bawah ketiak jaringan ideologi global Wahabi/Ikhwanul Muslimin.
Dan yang paling memprihatinkan, sudah ada infiltrasi ke dalam institusi
pemerintah yang sedang digunakan untuk mencapai tujuan ini.
Agen-agen
garis keras juga melakukan infiltrasi ke Majelis Ulama Indonesia (MUI). Bahkan
sudah dibilang, MUI kini telah menjadi bungker dari organisasi dan gerakan
fundamentalis dan subversif di Indonesia. Lembaga semi pemerintah yang
didirikan oleh rezim Orde Baru untuk mengontrol umat Islam itu, kini telah
berada dalam genggaman garis keras dan berbalik mendikte/mengontrol pemerintah.
Maka tidak heran jika fatwa-fatwa yang lahir dari MUI bersifat kontra produktif
dan memicu kontroversi, semisal fatwa pengharaman sekularisme, pluralisme,
liberalisme dan vonis sesat terhadap kelompok-kelompok tertentu di masyarakat
yang telah menyebabkan aksi-aksi kekerasan atas nama Islam.
Berbagai
tindakan kekerasan yang dilakukan oleh kelompok-kelompok garis keras seperti
Front Pembela Islam (FPI) dan lain-lain yang menghancurkan dan memberangus
orang lain yang dinyatakan sesat oleh MUI, dan dukungan pengurus MUI kepada
mereka yang melakukan aksi-aksi kekerasan terkait, mengkonfirmasi pernyataan
bahwa MUI telah memainkan peran kunci dalam gerakan-gerakan garis keras di
Indonesia. Saat ini ada anggota MUI dari Hizbut Tahrir Indonesia, padahal HTI
jelas-jelas mencita-citakan khilafah Islamiyah yang secara ideologis
bertentangan dengan Pancasila dan NKRI.
Rendahnya
perhatian dan keprihatinan terhadap fenomena garis keras tidak hanya mengenai
ideologi, gerakan, dan infiltrasi mereka. Arus dana Wahabi yang tidak hanya
membiayai terorisme tetapi juga penyebaran ideologi dalam usaha wahabisasi
global juga nyaris luput dari perhatian publik. Selama ini, arus dana Wahabi ke
Indonesia tidak mendapat perhatian publik secara serius, padahal dari sinilah
fenomena infiltrasi paham garis keras memperoleh dukungan dan dorongan yang
luar biasa kuat sehingga menjadi bisnis yang menguntungkan banyak agennya.
Ada
orang-orang yang sadar bahwa petrodollar Wahabi yang sangat besar jumlahnya
masuk ke Indonesia, namun cukup sulit untuk membuktikannya di lapangan karena
pihak yang menerima sangat sensitif atas isu ini dan menolak membicarakannya.
Sepertinya, penolakan ini dilakukan karena agen garis keras malu jika diketahui
bahwa mereka telah menjual agama, malu jika diketahui mengabdi pada tujuan
Wahabi, dan memang untuk menyembunyikan infiltrasi Wahabi/Ikhwanul Muslimin
terhadap Islam Indonesia. Pada sisi yang lain, badan negara yang bertanggung
jawab mengawasi aliran keluar-masuk dana di Indonesia juga tidak mengumumkan
hal tersebut meskipun sebenarnya ada para pejabat dan pihak yang bertanggung
jawab atas keamanan negara mengaku sangat prihatin dengan fenomena ini.
Sebagai
misal, sudah merupakan rahasia umum di kalangan para ahli bahwa melalui Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) yang bertindak sebagai wakilnya di Indonesia,
Rabithath al-'Alam al-lslami menyediakan dana yang luar biasa besar untuk
gerakan-gerakan radikal di Indonesia. Berbagai aktivitas dakwah kampus atau
lazim disebut Lembaga Dakwah Kampus (LDK), yang menggagas gerakan tarbiyah,
yang kemudian melahirkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), menikmati dana Arab
Saudi tersebut dan sekaligus menyebarkan virus tarbiyah di Indonesia.
Di
Kabupaten Magelang, peneliti kami mendapat informasi dari mantan pengurus
Muhammadiyah salah satu kecamatan di Magelang bahwa PKS sedang mencari
masjid-masjid yang hendak direnovasi, atau daerah-daerah yang membutuhkan
masjid baru. Secara terbuka, aktivis PKS yang bertanggung jawab atas proyek ini
mengutarakan kepada mantan pengurus Muhammadiyah dimaksud bahwa dana untuk
semua itu diperoleh dari Arab Saudi. Jika masjid hendak direnovasi atau
dibangun, penduduk setempat hanya diminta untuk mendukung PKS dalam setiap
pemilihan. Kata dia, "Tahun 2008 ini sudah ada 11 yang akan dibangun atau
direnovasi dengan dana Saudi." Hampir semua jama'ah masjid di Magelang
yang diserobot oleh PKS melalui strategi ini adalah warga Nahdliyin. Jika di
satu kabupaten saja ada 11 masjid yang dikerjakan, bayangkan berapa jumlah uang
Wahabi yang digunakan untuk membangun masjid-masjid di seluruh Indonesa dengan
motif politik seperti ini?
Setelah
calon PKS menang dalam Pilgub Jawa Barat pada bulan Juli 2008, salah seorang
Ketua NU memberitahu peneliti kami bahwa hal tersebut ditandai oleh
keberhasilan PKS merebut banyak masjid NU dan para jama'ahnya. Walaupun Ketua
NU dimaksud terkejut dengan kejadian tersebut, sebenarnya keberhasilan PKS
merebut masjid dan jamaah NU tidak mengherankan. Tentu saja ideologi yang
didukung dana asing dengan jumlah yang luar biasa besar dan dipakai secara
sistematis bisa menyusup ke mana-mana dan mengalahkan oposisi yang tidak
terorganisasi. Atau dengan kata lain yang sering dipakai oleh para ulama,
al-haqq bi la nidhamin qad yaghlib al-bdthil bi nidhamin (kebenaran yang tidak
terorganisasi bisa dikalahkan kebatilan yang terorganisasi).
Para
agen garis keras sering berteriak bahwa orang asing, yayasan-yayasan, dan
pemerintah dari Barat menggunakan uang mereka untuk menghancurkan Islam di
Indonesia, dan menuding ada konspirasi Zionis/Nasrani di belakangnya. Pada
kenyataannya, pemerintah dan yayasan-yayasan Barat seperti Ford Foundation dan the
Asia Foundation mempublikasikan program-program yang dilakukannya secara
terbuka, sehingga publik bisa mengetahui apa yang sebenarnya mereka lakukan dan
berapa biaya yang dikeluarkan untuknya. Walaupun dana LibForAll Foundation
sangat sedikit dan kebanyakan pembina, penasehat, dan pengurusnya orang
Indonesia asli, ia juga melaporkan program-program yang dilakukannya secara
terbuka dan transparan.
Hal ini
sangat berbeda dari gerakan asing Wahabi/Ikhwanul Muslimin dan kaki tangannya
di Indonesia. Penelitian ini menunjukkan dengan jelas bahwa, sementara para
agen garis keras berteriak bahwa orang asing datang ke Indonesia membawa uang
yang banyak untuk menghancurkan Islam... tentu itu benar, karena orang asing
itu adalah aktivis gerakan transnasional dari Timur Tengah yang menggunakan
petrodollar dalam jumlah yang fantastis untuk melakukan Wahabisasi, merusak
Islam Indonesia yang spiritual, toleran, dan santun, dan mengubah Indonesia
sesuai dengan ilusi mereka tentang negara Islam yang di Timur Tengah pun tidak
ada.
Dengan
balutan jubah dan jenggot Arab yang ditampilkan, yang oleh beberapa pihak telah
dipandang lebih tampak seperti preman berjubah, mereka ingin menunjukkan
seolah-olah pandangan ekstrem yang mereka teriakkan dan paksakan memang
benar-benar merupakan pesan Islam yang harus diperjuangkan. Padahal, mereka
merusak agama Islam dan bertanggung jawab atas banyak kekerasan yang mereka
lakukan atas nama Islam di Indonesia dan seluruh dunia. Dan kita sebagai umat
Islam harus menanggung malu atas perbuatan mereka.
Karena
itu, alasan utama melawan gerakan garis keras adalah untuk mengembalikan
kemuliaan dan kehormatan Islam yang telah mereka nodai dan sekaligus —pada saat
yang sama— untuk menyelamatkan Pancasila dan NKRI. Jika mayoritas moderat
melawan kelompok garis keras dengan tegas, kita akan mengembalikan suasana
beragama di Indonesia menjadi moderat, dan kelompok garis keras dewasa ini akan
gagal lagi seperti semua nenek moyang ideologis mereka di tanah air kita, yang
mewakili kehadiran al-nafs al-lawwamah. Kemenangan melawan mereka akan
mengembalikan keluhuran ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, dan ini
merupakan salah satu kunci untuk membangun perdamaian dunia.
Studi
ini kami lakukan dan publikasikan untuk membangkitkan kesadaran seluruh komponen
bangsa, khususnya para elit dan media massa, tentang bahaya ideologi dan paham
garis keras yang dibawa ke tanah air oleh gerakan transnasional Timur Tengah
yang tumbuh seperti jamur di musim hujan dalam era reformasi kita. Juga,
sebagai seruan untuk melestarikan Pancasila yang merefleksikan esensi syari'ah
dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil 'alamin yang sejati.
Dalam
Bab V, studi ini merekomendasikan langkah-langkah strategis untuk melestarikan
Pancasila, UUD 1945, NKRI, dan menegakkan warisan luhur tradisi, budaya dan
spiritualitas bangsa Indonesia, antara lain dengan:
•
mengajak dan mengilhami masyarakat dan para elit untuk bersikap terbuka, rendah
hati, dan terus belajar agar bisa memahami spiritualitas dan esensi ajaran
agama, dan menjadi jiwa-jiwa yang tenang;
•
menghentikan dan memutus —dengan cara-cara damai dan bertanggung jawab— mata
rantai penyebaran paham dan ideologi garis keras melalui pendidikan (dalam arti
kata yang seluas-luasnya) yang mencerahkan, serta mengajarkan dan mengamalkan pesan-pesan
luhur agama Islam yang mampu menumbuhkan kesadaran sebagai hamba Tuhan yang
rendah hati, toleran dan damai.
Bekerjasama,
saling mengingatkan tentang kebenaran (wa tawashau bil-haqq) dan untuk selalu
bersabar (wa tawashau bil-shabr), menjadi kunci penting dalam hal ini. Kita
harus tetap santun, sabar, toleran, dan terbuka dalam usaha-usaha melestarikan
visi luhur nenek moyang dan Pendiri Bangsa. Tujuan mulia hendaknya tidak
dinodai dengan usaha-usaha kotor, kebencian, maupun aksi-aksi kekerasan. Tujuan
luhur harus dicapai dengan cara-cara yang benar, tegas, bijaksana dan
bertanggung jawab, yang jauh dari arogansi, pemaksaan dan semacamnya.
Kita
pantas mengingat nasehat Syeikh Ibn 'Athaillah al-Sakandari dalam Hikam
karyanya: "Janganlah bersahabat dengan siapa pun yang perilakunya tidak
membangkitkan gairahmu mendekati Allah dan kata-katanya tidak menunjukkanmu
kepada-Nya" (la tash-hab man la yunhidluka ila Allah haluhu, wa la yahdika
ila Allah maqaluhu). Orang yang merasa paling mengerti Islam, penuh kebencian
kepada makhluk Allah yang tidak sejalan dengan mereka, serta merasa sebagai
yang paling benar dan karena itu mengklaim berhak menjadi khalifah-Nya untuk
mengatur semua orang— pasti perbuatan dan kata-katanya tidak akan membawa kita
kepada Tuhan. Cita-cita mereka tentang negara Islam hanya ilusi. Negara Islam
yang sebenarnya tidak terdapat dalam konstruksi pemerintahan, tetapi dalam
kalbu yang terbuka kepada Allah swt. dan kepada sesama makhluk-Nya.
Kebenaran
dan kepalsuan sudah jelas. Garis keras ingin memaksa semua rakyat Indonesia
tunduk kepada paham mareka yang ekstrem dan kaku. Catatan sejarah bangsa kita
—Babad Tanah Jawi, Perang Padri, Pemberontakan DI, dan lain-lain— menunjukkan
bahwa jiwa-jiwa yang resah akan terus mendorong bangsa kita ke jurang
kehancuran sampai mereka betul-betul berkuasa, atau kita menghentikannya
seperti berkali-kali telah dilakukan oleh jiwa-jiwa yang tenang, nenek moyang
kita. Saat ini kitalah yang memilih masa depan bangsa.
KH. abdurrahman Wahid
Jakarta,
8 Maret 2009
(Artikel
ini adalah kata pengantar Gus Dur pada buku “Ilusi Negara Islam”
0 komentar:
Posting Komentar