Kemarin, ratusan ribu jemaah tumpah ruah di Kota Martapura,
Kabupaten Banjar menghadiri haul ke-12 Tuan Guru Haji Zaini bin Abdul Ghani
(1942-2005 M) atau Guru Sekumpul. Untuk keamanan dan kelancaran lalu lintas,
lebih dari 910 polisi diterjunkan. Panitia haul yang dibantu 7.300 relawan ini
menyediakan 87 posko, 60 toko untuk penginapan gratis, 370 ribu nasi bungkus
dan 9.000 dus air mineral untuk para tamu.
Apakah kiranya yang membuat
orang-orang begitu bergairah menghadiri haul itu? Tentu alasan mereka
macam-macam. Tetapi alasan yang paling kuat dan umum kiranya adalah kerinduan
pada Sang Guru. Meskipun sudah 12 tahun beliau wafat, rekaman ceramahnya masih
sering diputar, foto-fotonya terus dipajang di rumah dan warung, dan maulid al
habsyi yang dipopulerkannya masih rutin dilantunkan.
Orang hanya rindu pada yang
dicintainya, yang dekat dengannya, yang membahagiakan hatinya. Rindu adalah
kepedihan yang mengandung kenikmatan. Pedih karena berpisah, dan nikmat karena
mengenang pesona dan kebaikan yang dirindu. Rindu adalah perasaan kehilangan.
Kehilangan hanya bisa diobati dengan kehadiran, meskipun kehadiran itu hanya
berupa peninggalan, rekaman dan ingatan.
Sebenarnya kerinduan tidak
berhubungan dengan kenangan masa lalu saja. Betapa banyak kenangan masa lalu
sirna begitu saja ditelan waktu. Kenangan masa lalu hanya akan dirindu jika
keadaan masa kini justru semakin memerlukan kehadirannya kembali. Bahkan, kadangkala
karena kehadirannya sangat dibutuhkan saat ini, kerinduan itu bisa melahirkan
gambaran yang berlebihan tentang yang dirindu.
Apakah yang paling dirindukan
dari Guru Zaini? Saya kira, pengajiannya yang mendamaikan hati dan
menenteramkan jiwa. Wajahnya yang tampan, tutur katanya yang santun, suara
bass-nya yang lembut dan leluconnya yang menghibur, adalah hal-hal yang membuat
pribadinya penuh pesona. Begitulah kurang lebih kenangan tentang Sang Guru
dalam ingatan mereka yang pernah mengikuti pengajiannya.
Umat Haus Nasihat
Tentu ada ciri-ciri lain dari
keulamaan Guru Zaini yang terus dirindukan kehadirannya di masa sekarang.
Sebagai ulama, dia bukanlah ulama karbitan, yang hanya tahu satu dua ayat, lalu
bergaya dan melawak. Dia benar-benar menguasai tradisi Islam klasik yang
tersimpan dalam kitab-kitab kuning. Pengajiannya bukan ceramah bebas, tetapi
membaca dan menjelaskan makna kalimat-kalimat dalam kitab kuning itu.
Selain itu, sebagai ulama, dia
tidak tergiur dengan godaan politik praktis. Dia tidak pernah bergabung dengan
partai politik atau mendukung calon tertentu saat pilkada. Tetapi dia bersedia
menerima para politisi sebagai tamunya, dari Abdurrahman Wahid, Megawati
Soekarnoputeri, Hamzah Haz hingga para menteri, gubernur dan bupati. Sebaliknya,
setahu saya, dia tidak mau bertamu ke kantor pejabat negara.
Karena itu, wajar jika kerinduan
padanya terus menggebu. Krisis sosial, ekonomi, politik dan budaya yang melanda
dunia saat ini, semakin mengharapkan sosok seperti itu. Informasi yang kini
melimpah justru membuat masyarakat semakin gundah. Mereka haus akan nasihat
yang mendamaikan hati, bukan yang membakar amarah dan benci. Mereka rindu pada
ulama sejati, yang tak tergoda kepentingan duniawi.
Dengan demikian, kerinduan itu
sesungguhnya adalah harapan-harapan terpendam yang membungkah di dada para
jemaah yang datang dari berbagai penjuru. Berbagai harapan itu masih banyak
yang belum bisa ditemukan dalam kenyataan. Karena itu, ziarah ke makam Sang
Guru dan ikut serta dalam acara haulnya adalah obat mujarab bagi luka kerinduan
yang belum sepenuhnya bisa disembuhkan itu.
Alhasil, peristiwa tahunan haul
Guru Sekumpul yang selalu dipadati ratusan ribu jemaah itu berwajah ganda. Ia
adalah wujud kecintaan pada seorang ulama yang telah wafat sekaligus harapan
akan kehadiran sosok serupa di masa sekarang. Ia adalah apresiasi terhadap
ulama masa lalu sekaligus kritik terhadap para ulama masa kini! (*)
*Oleh :
Prof Dr Mujiburrahman, MA
Sumber: Rubrik Jendela Banjarmasin
Post, Senin 3 April 2017
0 komentar:
Posting Komentar