Habib Zaid bin
Abdurrahman bin Yahya dari Tarim, Hadhramaut, Yaman dalam mau’idzah hasananya
menekankan bagaimana pentingnya peran kedua orangtua, peran ayah dan ibu di
dalam membina rumah tangga, memberikan pendidikan kepada anak-anak, sebagai
generasi penerus yang bisa membanggakan dan membahagiakan Baginda Nabi Saw.
Sesuai dengan tuntunan Baginda Nabi Saw., dalam QS. at-Tahrim ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ
نَاراً
“Wahai orang-orang
beriman, lindungilah dirimu dan keluargamu dari api neraka.”
Ayat di atas berisi
perintah Allah Ta’ala kepada orang-orang beriman untuk melindungi diri dan
keluarganya dari api neraka. Ini penting menjadi perhatian setiap Muslim yang
beriman. Sebab ukuran kesuksesan dan kebahagiaan manusia di akhirat kelak
adalah ketika dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. “Setiap jiwa
akan merasakan kematian, maka barangsiapa yang diselamatkan dari neraka dan
dimasukkan ke dalam surga, maka dia telah beruntung.” (Qs. Ali Imran ayat 185).
Menjaga keluarga yang
dimaksud dalam butiran ayat yang mulia ini adalah dengan cara mendidik, mengajari,
memerintahkan mereka, dan membantu mereka untuk bertakwa kepada Allah Swt.,
serta melarang mereka dari bermaksiat kepadaNya. Seorang suami atau ayah, wajib
mengajari keluarganya tentang perkara yang difardhukan oleh Allah Swt. Bila ia
mendapati mereka berbuat maksiat segera dinasihati dan diperingatkan.
Ayat ini menunjukkan
amanah dari Allah Swt. terhadap seorang laki-laki, wajibnya suami mengajari
anak-anak dan istri tentang perkara agama, kebaikan, serta adab yang
dibutuhkan. Hal ini semisal dengan firman Allah Swt. kepada Nabi Saw.:
“Perintahkanlah keluargamu untuk melaksanakan shalat dan bersabarlah dalam
menegakkannya.” (QS. Thaha ayat 132). “Berilah peringatan kepada karib
kerabatmu yang terdekat.” (QS. asy-Syu’ara ayat 214).
Ayat-ayat ini
menunjukkan keluarga yang paling dekat dengan kita memiliki kelebihan
dibandingkan lainnya dalam hal memperoleh pengajaran dan pengarahan untuk taat
kepada Allah Swt. Beliau Saw. bersabda:
ارْجِعُوْا إِلَى أَهْلِيْكُمْ فَأَقِيْمُوا فِيْهِمْ وَعَلِّمُوهُمْ
وَمُرُوهُمْ
“Kembalilah kalian
kepada keluarga kalian, tinggallah di tengah mereka dan ajari mereka, serta
perintahkanlah mereka.” (HR. al-Bukhari no. 628 dan Muslim no. 674).
Dalam hadits di atas,
Nabi Saw. memerintahkan kepada sahabatnya untuk memberikan ta’lim (pengajaran)
kepada keluarga dan menyampaikan kepada mereka ilmu yang didapatkan saat
bermajelis dengan seorang alim.
Dengan penjelasan ini,
dapat dipahami bahwa tanggungjawab seorang laki-laki sebagai suami/ kepala
rumah tangga sangat berat. Jangan sampai ia menjadi seorang ayah yang hanya
bisa memberikan makan dan minum, tetapi tidak dididik yang nanti akhirnya akan
mengantarnya menuju ke nerakanya Allah Swt. Na’udzubillah min dzalik. Hendaknya
suami atau ayah harus membekali dirinya memiliki ilmu yang cukup untuk mendidik
anak istrinya adab dan akhlak, mengarahkan mereka kepada kebenaran, dan
menjauhkan mereka dari penyimpangan. Juga karena Rasulullah Saw. bersabda:
كُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ،
وَاْلأَمِيْرُ رَاعٍ، وَالرَّجُلُ رَاعٍ عَلَى أَهْلِ بَيْتِهِ، وَالْمَرْأَةُ
رَاعِيَةٌ عَلَى بَيْتِ زَوْجِهَا وَوَلَدِهِ، فَكُلُّكُمْ رَاعٍ، وَكُلُّكُمْ
مَسْؤُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ.
“Kamu sekalian adalah
pemimpin, dan kamu sekalian bertanggung jawab atas orang yang dipimpinnya.
Seorang Amir (raja) adalah pemimpin, seorang suami pun pemimpin atas
keluarganya, dan isteri juga pemimpin bagi rumah suaminya dan anak-anaknya.
Kamu sekalian adalah pemimpin dan kamu sekalian akan diminta
pertanggungjawabannya atas kepemimpinannya.” (HR. al-Bukhari (no. 893, 5188,
5200), Muslim (no. 1829), Ahmad (II/5, 54, 111) dari Ibnu Umar Ra.).
إِنَّ اللهَ سَائِلٌ كُلَّ رَاعٍ عَمَّا اسْتَرْعَاهُ أَحَفِظَ
ذَلِكَ أَمْ ضَيَّعَ؟ حَتَّى يَسْأَلَ الرَّجُلَ عَنْ أَهْلِ بَيْتِهِ.
“Sesungguhnya Allah akan
bertanya kepada setiap pemimpin tentang apa yang dipimpinnya. Apakah ia
pelihara ataukah ia sia-siakan, hingga seseorang ditanya tentang keluarganya.”
(HR. an-Nasai dalam ‘Isyratun Nisaa’ (no. 292) dan Ibnu Hibban (no. 1562) dari
Anas bin Malik Ra.).
Seorang suami harus
berusaha dengan sungguh-sungguh untuk menjadi suami yang shalih, dengan
mengkaji ilmu-ilmu agama, memahaminya serta mengamalkan apa-apa yang
diperintahkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya, serta menjauhkan diri
dari setiap yang dilarang oleh Allah ‘Azza wa Jalla dan RasulNya. Kemudian dia
mengajak dan membimbing sang isteri untuk berbuat demikian juga, sehingga
anak-anaknya akan meneladani kedua orangtuanya karena tabiat anak memang
cenderung untuk meniru apa-apa yang ada di sekitarnya.
Sebelum menjadi
seorang ayah, semestinya ia telah menyiapkan istrinya untuk menjadi pendidik
anak-anaknya kelak karena; “Ibu adalah madrasah (sekolah) bagi anak-anaknya.”
Perlu juga
diperhatikan bahwa mendapatkan pengajaran agama termasuk salah satu hak istri
yang seharusnya ditunaikan oleh suami dan termasuk hak seorang wanita yang
harus ditunaikan walinya. Sementara Sayidina Ali bin Abi Thalib Ra. mengatakan,
makna “jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka”, adalah “didiklah mereka
dan ajarkan ilmu kepada mereka (addibuhum wa ‘allimuhum)”.
Singkatnya, ilmu
adalah bekal sekaligus panduan dalam mengarungi kehidupan dunia menuju
kehidupan akhirat. Bahkan nabi Muhammad Saw. bersabda, “Barangsiapa menempuh
jalan untuk mencari ilmu, maka dengan itu Allah mudahkan baginya jalan menuju
surge.” (HR. Muslim). Dimudahkan masuk surga mengandung makna dijauhkan dari
neraka.
Kedua orangtua, baik
ayah maupun ibu harus memiliki kesadaran yang sesungguhnya, bahwa mengajar dan
mendidik anak bukan menjadi tanggungjawab di madrasah, pondok pesantren atau di
sekolah/universitas. Yang paling penting sesuai dengan ayat tersebut di atas
adalah pendidikan dimulai dari rumah. Karena di rumah inilah, anak akan melihat
langsung apa yang dilakukan oleh kedua orangtuanya, melihat langsung perilaku
ayah dan ibunya begitu pula kakek dan neneknya.
Oleh sebab itu kedua
orangtua harus memperhatikan penididikan anak-anaknya dari rumahnya, memberikan
teladan yang baik sehingga anak tersebut tumbuh menjadi anak yang shalih penuh
dengan akhlak yang mulia. Oleh sebab itu orangtua harus memperhatikan akhlak
anak dan juga ilmu pengetahuan anak, disamping juga memperhatikan kebutuhan
makan dan tunjangan hidup anak.
Kedua orangtua, ayah
dan juga ibu harus memperhatikan kawan-kawan dari anaknya tersebut, dengan
siapa anaknya berkawan, sesungguhnya Rasulullah Saw. sudah menegaskan:
الْمُؤْمِنُ مِرْآةُ (أخيه) الْمُؤْمِنِ
“Seorang mukmin
cerminan dari saudara (teman)nya yang mukmin.” (HR. al-Bukhâri dalam al-Adab
al-Mufrad no. 239 dan Abu Dâwud no. 4918).
Memilih teman yang
baik adalah sesuatu yang tak bisa dianggap remeh. Karena itu, Islam mengajarkan
agar kita tak salah dalam memilihnya. Rasulullah Saw. bersabda:
الرَّجُلُ عَلَى دِينِ خَلِيلِهِ فَلْيَنْظُرْ أَحَدُكُمْ مَنْ
يُخَالِلُ
“Seseorang itu berada
pada agama teman karibnya, maka hendaklah salah seorang diantara kalian melihat
siapakah yang dia jadikan teman karibnya.” (HR. Abu Dâwud no. 4833 dan
at-Tirmidzi no. 2378).
Maka dari itu lihatlah
kawan-kawan anak-anak kalian dan juga lihatlah kawan-kawan kalian (ayah dan
ibu), karena seseorang itu akan mengikuti agama kawannya. Oleh sebab itu juga,
seorang ayah dan ibu harus mengingatkan anaknya punya kawan yang tidak baik
harus diingatkan dengan baik-baik. Yang dimaksudkan juga bukan hanya kawan-kawan
di dunia nyata ini, tetapi juga kawan-kawan di dunia maya, pertemanan media
sosial, seperti di facebook, whatssap, email, internet dsb. harus diperhatikan,
dicarikan kawan-kawan bermain yang baik, kawan-kawan yang shalih dan diingatkan
jika kawan-kawannya itu tidak benar, bahwa kawan-kawannya itu tidak mendekatkan
dirinya kepada Allah Swt.
Orangtua juga harus
memperhatikan kesehatan anak-anaknya, kesehatan dzahir dan batinnya. Jika
anak-anak terlalu sering memegang gadget handphone, smartphone, melihat TV
terlalu lama, bermain PS terlalu lama, hal itu akan menyebabkan sakit,
kesehatannya berkurang dan akan mengganggu daya pikirnya, perkembangan daya
pikirnya, kekuatan daya pikirnya. Oleh sebab itu orangtua sangat harus
mengarahkan dan mendidik anak-anaknya untuk menjadi anak yang baik dengan
memperhatikan apa yang mereka lakukan sehari-harinya.
Shahibul Maulid,
Rasulullah Saw., bisa menjadi contoh di dalam mendidik putra dan putrinya.
Suatu ketika Rasulullah Saw. melihat dan mendengarkan putrinya mengucapkan
sesuatu yang kurang patut. Maka Rasulullah Saw. mengingatkan bahwa apa yang
diucapkan itu sangat besar pengaruhnya (tidak baik) dan sangat besar dosanya.
Anak-anak memang boleh
dan berhak mendapatkan istirahat, dan waktu untuk bermain. Tapi kita sebagai
orangtua harus memperhatikan apakah permainan tersebut akan membawa dampak
positif bagi anak tersebut. Jangan sampai permainan-permainan tersebut membawa
anak menjadi anak-anak yang tidak shalih, sering melaknat, sering mengumpat,
sering melakukan tindakan-tindakan yang tidak patut, berkata kotor dan lain
sebagainya.
Rasulullah Saw.
merupakan pendidik yang perlu dicontoh, dan sudah memberikan contoh keteladanan
yang paling baik dan sempurna melalui sabda-sabadanya Saw. bahwa didiklah
anak-anak kalian sejak dini. Diantara sabda Rasulullah Saw.:
مُـرُوْا أَوْلاَدَكُمْ بِالصَّـلاَةِ وَهُمْ أَبْنَاءُ سَبْعِ
سِنِيْنَ، وَاضْرِبُوْهُمْ عَلَيْهَا، وَهُمْ أَبْنَاءُ عَشْرٍ، وَفَرِّقُوْا
بَيْنَهُمْ فِي الْمَضَاجِعِ.
“Suruhlah anak kalian
shalat ketika berumur 7 tahun, dan kalau sudah berusia 10 tahun meninggalkan
shalat, maka pukullah ia. Dan pisahkanlah tempat tidurnya (antara anak
laki-laki dan anak wanita).” (HR. Abu Dawud no. 495).
Dipukul di sini adalah
pukulan untuk ‘pelajaran’ bukan menyakitkan. Rasulullah Saw. mencontohkan
dengan kayu siwak atau dengan sesuatu yang tidak menyakitkan. Dan pada umur 10
tahun itu juga anak laki-laki dan perempuan harus dipisahkan tempat tidurnya, tidak
berada dalam satu tempat tidur dan tidur bersama. Namun sayangnya sebagian
orangtua, seorang ayah atau ibu, ada yang menganggap remeh hal seperti ini,
mendidik anak dari semenjak dini. Mereka beranggapan bahwa ‘ini adalah hal yang
biasa, ini adalah hal yang lumrah’.
Jika anak kecil
dibiarkan seperti itu, maka suatu saat keburukannya akan kembali kepada kedua
orangtuanya. Di suatu saat nanti bisa jadi anak tersebut akan membangkang
terhadap orangtuanya, ia lebih suka kepada kawan-kawannya, lebih suka kepada
teman sepermainannya, dan dia benci kepada kedua orangtuanya dan tidak mau
patuh kepada kedua orangtuanya. Dan itu akan menjadikan apa yang dilakukan
kedua orangtua sewaktu kecil, maka akan dipetik sendiri oleh orangtuanya ketika
ia telah dewasa nanti menjadi seorang ‘orangtua’. Oleh karena itu ini
pentingnya mendidik anak sejak umur masih dini/kecil.
Beliau al-Habib Zaid
bin Abdurrahman bin Husain bin Abu Bakar bin Umar bin Yahya berpesan kepada
para anak-anak muda, “Kita harus patuh dan taat kepada kedua orangtua karena
kita harus ingat bahwa dengan melalui keduanyalah kita bisa hadir di muka bumi
ini. Dengan melalui keduanya kita bisa hidup di muka bumi ini, dan jangan
sampai kita dalam hidup ini menyebabkan orangtua kita menjadi sedih, menjadi
merana karena tingkah laku dan akhlak kita. Dan jadilah kita bisa membanggakan
kedua orangtua, menjadikan mereka bahagia di dunia dan akhirat.”
“Anak-anak muda harus
mengetahui, para remaja yang hadir juga harus mengetahui bahwa dengan
berbaktinya kita kepada kedua orangtua, yang nantinya akan kembali kepada kita,
InsyaAllah besok ketika kita sudah menikah dan mempunyai anak, maka akan
mendapatkan anak-anak yang shalih, yang taat kepada kita, yang patuh kepada
kita. Begitu pula sebaliknya, jika kita-kita ini menyebabkan hati orang tua
kita terluka, menyebabkan orangtua merana dan sedih, tidak bisa membanggakan
mereka, maka besok juga kita akan mendapatkan karmanya.” Lanjut Habib Zaid.
Inilah yang ditegaskan
melalui sabda Rasulullah Saw. dari Jabir Ra., “Berbaktilah kepada kedua
orangtua kalian, niscaya anak-anak kalian akan berbakti kepada kalian.” Jagalah
kehormatan kalian, lindungilah kehormatan kalian, maka beliau Saw. bersabda,
“Maka perempuan-perumpuan kalian, istri-istri kalian akan terjaga
kehormatannya.”
Oleh sebab itu jika
kita berkeinginan agar istri-istri kita mendapatkan perlindungan dari Allah
Swt., tidak diganggu oleh orang lain, tidak melakukan kemaksiatan-kemaksiatan
yang tidak diinginkan, maka kita harus menjaga kehormatan kita sendiri, menjaga
mata kita tidak melihat hal-hal yang diharamkan oleh Allah Swt., tidak menggoda
wanita-wanita yang bukan dihalakan kepada kita. Sehingga dengan cara demikian
maka istri-istri kita dan juga anak-anak perempuan kita akan dilindungi oleh
Allah Swt. dari fitnah-fitnah yang akan mengganggu mereka.
Dan yang terakhir,
kami berpesan kepada para mempelai laki-laki dan wanita juga yang sudah
berkeluarga, laki-laki dan perempuan yang sudah menikah baik yang
diakad-nikahkan pada malam hari ini, maupun yang hadir di sini, maupun yang
belum menikah InsyaAllah besok akan mendapatkan istri yang shalihah yang
dipilihkan oleh Allah Swt. Ketahuilah Rasulullah Saw. bersabda:
خيركم خيركم لأهله وأنا خيركم لأهلي
“Orang terbaik
diantara kamu adalah dia yang terbaik dalam hal berlaku baik terhadap ahli
(penghuni) rumahnya, dan aku (Rasulullah Saw.) adalah yang terbaik dari antara
kalian dalam hal memperlakukan dengan baik terhadap keluarganya.” Oleh sebab
itu mahkota yang akan diberikan oleh Rasulullah Saw. kepada umatnya adalah
mahkota kehormatan yang bisa menghormati dan memuliakan keluarganya dan anggota
keluarganya.
Bagi wanita yang belum
menikah, semoga Allah Swt. nanti akan menganugerahkan laki-laki yang shalih
sebagai pendampingnya. Wahai wanita yang hadir di sini, perempuan-perempuan
yang hadir di dalam majelis yang penuh berkah, keberkahan maulid ini,
Rasulullah Saw. telah berpesan kepada kalian: “Apabila seorang wanita shalat
lima waktu, puasa sebulan (Ramadhan), menjaga kemaluannya dan taat kepada
suaminya, maka dikatakan kepadanya: ‘Masuklah engkau ke dalam surga dari pintu
mana saja yang engkau sukai’.” (HR. Ahmad 1/191).
لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ ِلأَحَدٍ َلأَمَرْتُ
الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا
“Seandainya aku boleh
menyuruh seorang sujud kepada seseorang, maka aku akan perintahkan seorang
wanita sujud kepada suaminya.” (HR. at-Tirmidzi no. 1159, Ibnu Hibban no. 1291
dan al-Baihaqi VII/291, dari Abu Hurairah Ra.).
Ini menunjukkan bahwa
bagaimana besarnya hak suami dalam keluarga. Semoga semuanya bisa memenuhi
sunnah-sunnah Baginda Nabi Saw. Amin. (Disampaikan oleh al-Habib Zaid bin Yahya
dalam acara Peringatan Maulid Nabi Saw. dan Haul KH. Abdul Lathif serta Sesepuh
Desa Medono Pekalongan, di PP Al-Mubarok asuhan KH. Zakaria Anshor, 27 Januari
2017, dan diterjemahkan langsung oleh KH. Arif Chasanul Muna. Sumber: fp resmi
Maulana Habib Muhammad
Luthfi bin Yahya).
0 komentar:
Posting Komentar