“Kiai Hisyam, pemimpin Pesantren Kalijaran, menerima
kedatanganku di pendapa rumahnya. Seorang laki-laki bertubuh kekar dengan sinar
matanya yang jernih, aku taksir usianya belum 50 tahun. Dengan mengenakan peci
tarbus merah yang sudah lepas koncernya, dihiasi oleh jenggotnya yang tak
begitu tebal, menimbulkan gambaran suatu wajah yang lucu, tetapi menyenangkan.”
Itulah sekilas gambaran tentang KH Hisyam Abdul
Karim, seorang ulama yang terpandang di Purbalingga. Disamping ia adalah tokoh ulama yang ikut berjuang melawan penjajah,
seperti dikisahkan oleh KH Syaifuddin Zuhri. Saat itu beliau bertamu ke
pesantren Kalijaran di tengah perang kemerdekaan melawan Belanda (kisaran tahun
1940-1942) untuk mengadakan konsolidasi ke tokoh-tokoh setempat.
Tentang biografi KH Hisyam, salah seorang murid
beliau, Kiai Syamsul Qodri (Banyumas) pernah menulis, “Ada sedikit catatan
dalam Buku Harianku, bahwa beliau itu dilahirkan pada tanggal 8 Agustus 1909,”
tulis Kiai Syamsul dalam blog pribadi miliknya.
“Ayah beliau bernama 'Abdul Kariem, Bau Desa
Kalijaran dan Guru Rodad.
Nama kecil beliau adalah Qosim, aku tahu nama ini ketika aku menyalin
kitab-kitab Falak yang diserahkan kepadaku,” ungkapnya.
“Menurut Pak Jari, menantu beliau, bahwa Rama Kyai
Hisyam pendidikan formalnya hanya sampai setingkat dengan SD. Di samping
sekolah, beliau juga rajin ngaji kepada Ustadz di kampungnya. Kemudian beliau
berguru kepada Kyai Dahlan di desa Kali wangi Mrébét.
Di Pondok Leler Banyumas, beliau berguru kepada Kyai Zuhdi, dan di Pondok
Jampes Kediri berguru kepada Kyai Dahlan. Secara khusus, dalam bidang qiroatul
Qur'an, beliau berguru kepada Kyai Yusuf Buntet Cirebon, dan Kyai Nuh Pager Aji
Cilongok. Dalam bidang Thoriqoh, beliau berguru kepada Kyai Rifa'i Sokaraja.
Beliau menikah pada tahun 1927 dengan seorang gadis ber nama Rumiyah putri
Carik desa Kalijaran,” tuturnya kembali.
Usai nyantri di berbagai pesantren, dengan restu
sang guru, Syekh Dahlan Ihsan, KH Hisyam kemudian mendirikan Pondok Pesantren
Sukawarah di Pedukuhan Sokawera, Desa Kalijaran, Karanganyar, Purbalingga.
Pesantren Sukawarah Kalijaran yang diasuh Kiai Hisyam, ketika itu (pada masa
perang kemerdekaan) menjadi semacam tempat pengkaderan para pejuang. Selain
mengaji sebagian dari santri juga dibekali ilmu-ilmu lain seperti
baris-berbaris, belajar huruf morse, dan juga belajar pertolongan pertama dalam
kecelakaan. Mereka dilatih oleh kader pemuda Ansor setempat.
Tentang gambaran pesantren ini di zaman lampau
pernah dikisahkan oleh KH Syaifuddin Zuhri dalam buku Guruku Orang-Orang Dari Pesantren,
“Suatu hari aku mengunjungi Pesantren Kalijaran Purbalingga. Sebuah Pesantren
dengan lebih kurang 700 santri yang datang dari segala pelosok di Jawa Tengah dan
sebagian Jawa Timur. Pesantren itu terletak di pegunungan, jauh dari kota. Tak
ada kendaraan yang dapat digunakan untuk mencapai pesantren itu, bersepeda pun
amat susahnya, karena harus menyeberangi sungai yang deras airnya, penuh dengan
batu kali pada tebing-tebingnya. Aku sangat letih berjalan kaki sejauh 12 Km
dari kota distrik Bobotsari, tempat pemberhentian bis terakhir.”
Pada perkembangannya Pondok Kalijaran berkembang
pesat. Sekitar tahun 1969 di sana sudah dibangun MTsAIN (Madrasah Tsanawiyah Agama
Islam Negeri). Sebuah Nama sekolah yang cukup berwibawa didengar waktu itu.
Sebab, di Jawa Tengah baru ada dua Tsanawiyah Negeri. Di Babakan Tegal dan
Karanganyar Purbalingga. Pondok ini sekarang diasuh oleh KH Muzammil dan KH
Musta'id Billah, dan santrinya berjumlah ribuan.
KH Hisyam selain menjadi pengasuh pesantren, juga
aktif di NU. Dirinya tercatat pernah menjabat sebagai Rois Syuriah PCNU
Purbalingga selama tiga periode 1973-1975, 1975-1978, dan 1978-1983. Kiai
Hisyam wafat pada Hari Kamis Kliwon 4 Jumadil Akhir 1410 H, bertepatan 12
Januari 1989 M.
0 komentar:
Posting Komentar