Di
wilayah kabupaten Klaten Jawa Tengah, terdapat sebuah pondok pesantren bernama
Pondok Pesantren Al-Muttaqin Pancasila Sakti. Pendirinya adalah Al ‘Arifubillah
Almaghfurlah KH Muslim Rifa’i Imam Puro atau yang akrab disapa Mbah Liem.
Di kalangan masyarakat pesantren, Mbah Liem dikenal sebagai tokoh sakti
yang memiliki kemampuan linuwih. Mbah Liem juga berasal dari trah darah
biru, ia cucu Imam Puro, sedangkan orangtuanya (Mursilah – Teposumarno) adalah
keturunan Pakubuwono IV. Semasa kecilnya, Mbah Liem suka nyantri
berpindah-pindah dari satu pesantren ke pesantren lainnya di Jawa.
Mbah
Liem memiliki keunikan dan kenyelenehan tersendiri. Penampilannya sederhana dan
sering mengenakan pakaian aneh-aneh, tidak sebagaimana lazimnya pakaian
seorang ulama besar. Misalnya, ketika tampil di muka umum, Mbah Liem mengenakan
baju seragam tentara, memakai rompi ataupun memakai topi. Akan tetapi,
masyarakat pesantren maklum dengan penampilannya ini. Sebab, di komunitas
pesantren memang terdapat banyak kyai yang aneh, nyeleneh, nyentrik dan
eksentrik, seperti Ki Jogorekso Watucongol, Gus Ud Sidoarjo, Gus Ma’shum
Lirboyo, Gus Miek Ploso, Habib Ja’far Al Kaff Kudus, Ra Lilur Bangkalan
dan Mbah Liem sendiri.
Terakhir,
Mbah Liem tercatat sebagai santri kesayangannya KH Sirodj, seorang
waliyullah besar pengasuh sebuah pesantren di Pajang Kartosuro. Usai mondok,
pada tahun 1953-1956 Mbah Liem menjadi pegawai negeri PJKA
Jatinegara. Tak betah, kyai nyentrik ini kemudian keluar dari pegawai negeri.
Beliau berkelana ke pesantren-pesantren untuk mematangkan ilmunya. Akhir
1959, Mbah Liem tersangkut di Dukuh Sumberejo, Troso, Kecamatan Karanganom,
Klaten. Di tempat inilah Mbah Liem mendirikan Pondok Pesantren Al-Muttaqin
Pancasila Sakti pada thn 1967.
Banyak
pesan KH Sirodj kepada Mbah Liem di Sumberejo ini. “Di sini, tujuan
kamu nanti tercapai.” Begitu salah satu pesan sang kyai kepada Mbah
Liem.
Saat
pecah peristiwa G30S/ PKI, Mbah Liem dikabarkan banyak berperan. Beliau
diangkat menjadi panglima pengamanan di Karanganom. Mulai saat itulah peran
Mbah Liem cukup dikenal dan beliau mendapatkan legitimasi dari masyarakat
setempat. Akhirnya banyak jama’ah dan santri yang menimba ilmu kepadanya,
dimana akhirnya di tahun 1967 beliau mendirikan pesantren di Sumberejo.
Mbah
Liem pernah menjadi penasehat spiritual Subhan ZE, seorang tokoh Nahdlatul
Ulama (NU) pada era KH Dr. Idham Chalid. Selanjutnya, nama beliau semakin
mencuat setelah menjadi penasehat spiritual Gus Dur. Beberapa tokoh nasional
juga sering datang ke Mbah Liem, seperti Gus Dur, Megawati Sukarnoputri
dan Jokowi sewaktu menjadi Walikota Solo.
Dikisahkan
bahwa pada 1983 disuatu malam Jum’at Kliwon, Gus Dur sowan ke Mbah Liem. Saat
itu, Gus Dur tidak dipersilahkan masuk rumah sebagaimana layaknya
tamu, namun hanya ditemui di luar rumah. Terjadi dialog kecil diantara
keduanya.
“Lho
Gus, ngopo kok rene. Iki rak malem Jum’at. Ayo tak gendong. Tak engklek. Tak
terke nyang gone mbahmu Hasyim Asy’ari (Lho Gus, kenapa kamu kesini?
Inikan malam Jum’at. Ayo aku gendong, aku antarkan kamu ke tempat makam
kakekmu Hasyim Asy’ari),” kata Mbah Liem.
“Kulo
mundut sopir riyin, Mbah (Saya panggil sopir saya dulu Mbah),” jawab Gus Dur.
Malam
itu, Gus Dur dan Mbah Liem meluncur ke Jombang. Tiba di makam KH Hasyim Asy’ari
pukul 3 dinihari. Di tempat itu, Mbah Liem menasehati Gus Dur.
“Gus,
ojo ngaku putune Mbah Hasyim, nek kowe ora iso ngatur negara (Gus,
jangan mengaku cucunya Mbah Hasyim kalau kamu tidak bisa mengatur
negara),” kata Mbah Liem.
“Nopo
kulo saget mbah? (Apa saya bisa Mbah?),” jawab Gus Dur balik bertanya.
“Kudu
iso, NU kuwi didegke mbahmu Hasyim dinggo opo, ngarep opo lan kanggo sopo? Yo
kuwi dalane nganggo ngatur negara (Harus bisa! NU didirikan kakekmu Hasyim,
untuk apa, bertujuan apa dan untuk siapa? Ya, tidak lain sebagai
jalan mengatur negara!),” jawab Mbah Liem.
Menerima
nasehat itu, konon Gus Dur tak mampu menahan air matanya yang jatuh membasahi
pipi. Hanya kekuasaan Ilahi yang tahu, bagaimana nasehat itu diterima oleh Gus
Dur.
Kemudian
hari, bersama teman sepaham, muncullah khittah NU di Situbondo. Dan pada tahun
1999, Gus Dur memang benar-benar menjadi Presiden RI yg ke-4, dengan suatu
proses pemilihan yang sulit dimengerti dan tidak diprediksi secara
rasional sebelumnya.
Mbah
Liem wafat pada hari Kamis 24 April 2012. Ribuan santri dan umat Islam turut
mengantarkanya ke tempat peristirahatannya yang terakhir, sementara di saat
bersamaan ribuan malaikat dan bidadari surga turut mengantarkan ruhnya ke
hadhirat Allah yang selama ini dicintai dan mencintainya. Semoga amal ibadah
beliau diterima Allah SWT dan semoga kami yang ditinggalkan bisa meneladani
beliau.
0 komentar:
Posting Komentar