Masalah kekerasan antarumat beragama kembali
memanas di negeri ini. Terutama pascainsiden terbakarnya sebuah masjid di
Tolikara Papua dan gereja di kabupaten Singkil Aceh. Kedua kasus ini
dibesar-besarkan, seakan-akan toleransi beragama benar-benar memudar. Padahal
dilihat dari sudut yang berbeda, kerukunan umat beragama masih tertanam kuat di
Nusantara.
Salah satu contohnya adalah budaya gotong royong
membangun masjid. Baik muslim maupun nonmuslim ikut serta dalam pembangunan
tersebut. Budaya seperti ini sudah mengakar di sebagian masyarakat.
Dalam sudut pandang fiqih, keikutsertaan nonmuslim
dalam pembangunan masjid masih diperdebatkan. Sebagian ulama membolehkannya dan
sebagian lain melarangnya.
Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam kitabnya Fathul
Bari Fi Syarhi Shahihil Bukhari menampilkan beberapa pendapat ulama
terkait permasalahan ini. Ia menuliskan:
يجوز ذلك، ولا يمنعون منه، وصرح به طائفة من فقهاء أصحابنا والبغوي من الشافعية وغيرهم
“Perbuatan tersebut diperbolehkan dan mereka tidak
dilarang untuk melakukannya. Pernyataan ini ditegaskan oleh ahli fiqih dari
kelompok kita, al-Baghawi dari madzhab Syafi’i, dan lain-lain.”
Menerima bantuan nonmuslim untuk pembangunan masjid
adalah boleh. Bantuan tersebut bisa berupa fisik ataupun nonfisik. Pendapat
ulama di atas ini sekaligus menjadi penguat atas tradisi yang sudah berlaku di
masyarakat kita. Memang dalam hal ini ada ulama yang melarangnya karena bantuan
dari nonmuslim dianggap hina. Argumentasi ini muncul ketika sentimen keagamaan
tengah memanas di kala itu.
Dalam konteks masyarakat yang beragam dan sudah
terbiasa hidup dengan masyarakat yang berbeda agama, pendapat yang membolehkan
ini lebih tepat untuk diamalkan. Apalagi prilaku ini sudah membudaya di
sebagian masyarakat dan dapat memupuk kerukunan umat beragama di tengah
masyarakat. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar