Membagi
harta warisan sesuai dengan ketentuan syariat tentu tidaklah sulit bagi orang
yang benar-benar sudah faham ilmu faraidh. Tetapi, menjadikan semua ahli waris
bisa menerima dengan legowo dan marem atas pembagian itu, terlebih ketika
terjadi perselisihan diantara mereka, bukanlah perkara mudah, meski oleh
seorang kiai sekalipun. Seringkali ahli waris terkesan menerima ketika di muka
kiai yang membagikan, namun setelah itu mereka berselisih kembali bahkan kadang
perselisihan itu malah lebih meruncing daripada yang semula.
Tetapi
hal itu tidaklah sulit bagi Mbah Jipang Batokan. Setiap ada perselisihan
warisan, dan beliau dilibatkan untuk membagi dan menyelesaikannya, semuanya
terasa menjadi mudah. Semua ahli waris pun bisa menerima dengan lapang dada dan
perselisihan selalu berakhir happy ending. Itulah salah satu dari sekian banyak
kelebihan beliau.
Konon,
keahlian beliau ini tidak lepas dari berkah Mbah Kiai Abdul Karim (Mbah Manaf)
Lirboyo, guru utama yang masih terhitung paman beliau sendiri. Suatu hari, saat
masih mondok di Lirboyo, beliau dipanggil Mbah Manaf di ndalemnya dan didawuhi:
"Besok kamu ngaji ke sini, bawa kitab Syansyuriah Syarh Rahabiyah dan
sabak (alat tulis-menulis kuno, semacam papan tulis kecil, mungkin dimaksudkan
untuk memberikan latihan-latihan penghitungan)."
Mulai
saat itu beliau mendapat pelajaran ilmu faraidh langsung dari Kiai Sepuh
Lirboyo, Mbah Manaf itu. Namun uniknya, saat pelajaran itu khatam, tiba-tiba
ada tamu dari keluarga berada yang berasal dari daerah sekitar Kediri yang
meminta bantuan Mbah Manaf untuk membantu membagikan warisan di keluarganya.
Lalu Mbah Manaf mengutus santri kesayangannya ini yang baru mengkhatamkan
pelajaran ilmu faraidh untuk mewakili beliau memenuhi permintaan tamunya. Maka
berangkatlah Mbah Jipang bersama tamu kiainya ini menuju rumahnya.
Esoknya,
dengan wajah berseri-seri, tamu tersebut kembali ke Lirboyo menemui Mbah Manaf
untuk mengucapkan terimakasih mewakili keluarganya. Keluarganya sangat gembira
dan puas atas kepintaran santri beliau dalam pembagian harta warisan. Tak lupa,
tamu itupun memberikan oleh-oleh yang banyak pada Mbah Manaf sebagai ungkapan
terimakasihnya.
Setelah
tamu itu pamit, Mbah Manaf Lirboyo segera memanggil santri kesayangannya itu
dan memberikan semua oleh-oleh tamu itu padanya. Karena oleh-oleh itu diberikan
langsung oleh kiainya sendiri, bukan oleh tamu tadi, tentu bukan main senangnya
Mbah Jipang. Konon saking banyaknya oleh-oleh itu hingga cukup untuk biaya
kebutuhan sehari-hari selama setahun di pondok.
Nama
asli Mbah Jipang adalah Muhammad Tholhah. Dengan baju sederhana ala petani atau
pedagang sayur dan ikat blangkon di kepala menjadi penampilannya sehari-hari.
Bagi yang belum mengenalnya, tentu tidak pernah menyangka di balik penampilan
yang sangat sederhana ini, bahwa beliau adalah orang yang sangat alim yang
sulit dicari tandinganya, yang begitu dihormati dan disegani oleh kiai-kiai
yang sudah mengenalnya. Tidak ada yang tidak mengakui kealiman beliau bagi yang
sudah mengenalnya, tak terkecuali Syaikh Masduqi Lasem sekalipun.
Saat
kitab Sirajut Thalibin karya Syaikh Ihsan Dahlan Jampes sudah tersebar luas,
Syaikh Masduqi Lasem sering memberikan kritik atas beberapa redaksi yang ada di
kitab itu, mulai dari sisi nahwu, sharaf, balaghah dan pengertiannya yang
dirasa kurang tepat atau malah mungkin keliru.
Mendengar
itu, Mbah Jipang (sebagai sahabat, juga masih terhitung saudara misannya Syaikh
Ihsan karena ibu beliau adalah saudari kandung ibu Syaikh Ihsan) berangkat ke
Lasem dengan menyaru sebagai penjual pisang menemui Syaikh Masduqi terkait
redaksi-redaksi kitab Sirajut Thalibin yang dipermasalahkan. Terjadilah
perdebatan seru dan panjang di antara mereka. Hingga setelah selesainya
perdebatan itu Mbah Jipang pamit, Syaikh Masduqi mengatakan pada para
santrinya: "Aku tas wae kalah debatan je karo bakul gedang ko Kediri"
(Saya baru saja kalah berdebat sama penjual pisang dari Kediri).
Konon
nama Jipang adalah nama julukan yang diberikan Mbah Kiai Ma'ruf Kedunglo Kediri
(yang masih terhitung paman beliau), singkatan dari Ngajine Gampang. Mungkin
karena kecerdasan beliau yang jauh di atas teman-teman beliau pada umumnya,
hingga dengan mudah bisa memahami kitab-kitab yang diajarkan. Nama itu menjadi
melekat pada diri beliau, orang-orang lebih mengenal nama Mbah Mad Jipang atau
Mbah Jipang saja dibanding nama asli beliau.
Mbah
Jipang! sebuah nama yang begitu melegenda di Kota Kediri, sebuah nama yang
menjadi ikon kecerdasan dan kealiman santri-santri Lirboyo pada masa-masa pra
kemerdekaan, sebagaimana Gus Aly Bakar pada masa Orde Baru dan Gus Ishomuddin
Hadziq di era Reformasi. Allahu yarhamhum, wallahu a'lam.
0 komentar:
Posting Komentar