Kebakaran hutan yang melanda Riau, Jambi,
Kalimantan belakangan ini, setidaknya bisa memberikan penyadaran kepada
khalayak akan arti penting melindungi hutan. Karena efek negatif pembakaran
hutan tersebut tidak hanya dipikul oleh beberapa orang, tetapi sebagian besar
masyarakat Sumatera dan Kalimantan pun merasakan imbasnya.
Hingga saat ini, warga Sumatera masih menghirup
asap kotor dan tidak bisa melakukan aktivitas harian secara maksimal. Anak-anak
sekolah diliburkan dan beberapa warga memilih migrasi ke wilayah lain. Bahkan
di antara mereka ada yang terjakit penyakit kronis dan meninggal dunia.
Sulaiman bin Khalaf Al-Baji Al-Maliki, penulis
kitab Al-Muntaqa Syarah
al-Muwatta`, menjelaskan sebagai berikut.
أَنَّ ضَرَرَ الْفُرْنِ وَالْحَمَّامِ بِالْجِيرَانِ بِالدُّخَانِ الَّذِي يَدْخُلُ فِي دُورِهِمْ وَيَضُرُّ بِهِمْ وَهُوَ مِنْ الضَّرَرِ الْكَثِيرِ الْمُسْتَدَامِ وَمَا كَانَ بِهَذِهِ الصِّفَةِ مُنِعَ إحْدَاثُهُ عَلَى مَنْ يَسْتَضِرُّ بِهِ
“Dilarang menyalakan tungku dan membuat kamar mandi
yang asap (dan baunya) bisa menganggu dan membahayakan tetangga secara
permanen. Melakukan aktivitas pembakaran, yang mana asapnya bisa menganggu dan
membahayakan para tetangga, merupakan aktivitas terlarang meskipun membawa maslahat
untuk segelintir orang.
Sebab menolak mudharat yang mengancam kehidupan
banyak orang lebih diutamakan ketimbang mengambil manfaatnya.
Pada prinsipnya segala aktivitas ‘ugal-ugalan’ yang
karenanya mengakibatkan gangguan atau mudharat bagi masyarakat luas, tidak
diperkenankan agama.
Larangan ini tentu sangat relevan untuk kasus
pembakaran hutan. Kalau membakar kayu di tungku saja termasuk perbuatan yang
dikecam, apalagi membakar hutan yang bisa membahayakan kehidupan orang banyak.
Karena bahaya asap yang ditimbulkannya jauh lebih besar ketimbang hanya
menyalakan api di tungku. Wallahu
A’lam.
0 komentar:
Posting Komentar