Mbah
Said sedikit gusar. Tak sekali ini ia harus berurusan dengan Pemerintah
Kolonial Belanda. Tahun 1901, pendiri Pondok Pesantren Gedongan
Cirebon ini mesti berbeda pendapat terkait ketentuan jatuhnya Hari Raya Idul
Fitri yang jauh-jauh hari telah ditetapkan pihak penjajah.
“Saya
telah melihat hilal sore ini, saya juga sudah melakukan istikharah dan
komunikasi dengan para kiai di Jawa, Idul Fitri jatuh besok, hari Rabu. Berbeda
dengan pihak pemerintah Belanda yang entah dengan cara apa memutuskan jatuh di
hari Kamis,” terang Mbah Said di hadapan santrinya usai pengajian.
Usai
menyampaikan keputusan tersebut, Mbah Said rupanya merasakan kegusaran yang
sama tengah dialami juga oleh para santrinya. Karenanya, Mbah
Said berpesan agar para santri meneruskan
kabar ini secara tertutup, dengan tujuan, untuk mengurangi konflik dengan
pihak Pemerintah Hindia Belanda yang memang tampak sedang mencari-cari alasan
untuk menekan pesantren yang
dipimpinnya.
“Maka
mulai besok, berbukalah. Kita lakukan Salat Ied, tak usah mendengungkan takbir
keras-keras, karena Belanda akan memanfaatkan soal keagamaan ini sebagai alasan
untuk menyingkirkan kita. Semoga Allah meridloi,”
Malam
harinya, ternyata Pemerintah Belanda sudah mendengar fatwa Mbah Said tersebut.
Sejumlah petugas yang mengurusi keperluan terkait soal-soal agama sudah
berkumpul di Kantor Departement van Binnenlands Bestuur (Departemen
Pemerintahan Umum dan Agama), mereka membahas serius soal perbedaan pandangan
tentang jatuhnya Hari Raya Idul Fitri yang dimotori oleh Mbah Said. Hingga pada
akhirnya, Pemerintah Belanda memutuskan untuk menjatuhkan hukuman
5 tahun penjara kepada Mbah Said karena telah dianggap melawan keputusan yang
sah.
Melalui
petugas Kawedanan, yakni perwakilan Pemerintah Belanda setingkat kecamatan,
Mbah Said menerima surat pemanggilan usai melaksanakan Salat Idul Fitri. Surat
tersebut memuat keputusan penjajah yang akan memenjarakan Mbah Said, dan
memintanya untuk segera memenuhi panggilan pengadilan yang terdapat di wilayah regent,
atau setingkat kabupaten.
“Baik,
saya akan ke sana sekarang juga. Saya akan berusaha menjelaskan tentang
keputusan saya untuk merayakan Idul Fitri hari ini,” jawab Mbah Said kepada
petugas pengadilan Belanda.
Mbah Said pun berangkat dengan berbekal puluhan kitab kuning sebagai bahan rujukan untuk memperkuat hasil ijtihadnya. Ditemani dua orang santri, akhirnya Mbah Said memenuhi panggilan tersebut.
Mbah Said pun berangkat dengan berbekal puluhan kitab kuning sebagai bahan rujukan untuk memperkuat hasil ijtihadnya. Ditemani dua orang santri, akhirnya Mbah Said memenuhi panggilan tersebut.
“Tuan
Said, anda telah melawan pemerintahan yang sah di bawah naungan Kerajaan
Belanda dengan menetapkan keputusan jatuhnya Idul Fitri di hari yang berbeda.
Untuk itu, sebelum kami laksanakan hukuman
tersebut, kami persilakan anda untuk menjelaskan alasan pemberontakan ini,”
ucap hakim pengadilan.
“Saya
tidak akan menjelaskan apapun sebelum Belanda menunjukkan alasan mengapa Idul
Fitri diputuskan pada hari Kamis,” jawab Mbah Said.
“Baiklah,
ketetapan Idul Fitri di hari Kamis adalah keputusan yang sah. Berdasarkan
pertimbangan petugas keagamaan Pemerintah Hindia Belanda. Jangankan untuk tahun
ini, kami sudah menetapkan hari raya untuk sepuluh-dua puluh tahun ke depan.
Karenanya, semua harus mematuhi keputusan tersebut,” tukas Hakim.
“Sesungguhnya
penentuan awal Bulan Qamariyah harus berlandaskan pada rukyatul hilal, itu yang
telah saya lakukan seperti juga yang dilakukan oleh kiai-kiai di Jawa. Hasil
dari ikhtiar
tersebut tidak bisa digunakan untuk tahun-tahun berikutnya,” terang Mbah Said.
Menangkap
pandangan tidak puas dari para petugas pengadilan, lalu Mbah Said membuka dan
membacakan satu persatu dari puluhan kitab kuning yang dibawanya. Ia juga
membacakan hadits-hadits rujukan dan pendapat para sahabat hingga ulama.
Menimbang penjelasan tersebut, akhirnya pengadilan merasa kehabisan akal untuk
membandingi rujukan yang dibaca Mbah Said, mereka membubarkan diri dan
mengurungkan hukuman
terhadap Mbah Said. (Sobih Adnan/NU Online)
0 komentar:
Posting Komentar