Meneladani seorang ulama tak
akan ada habisnya. Selalu saja terselip uswah di setiap sudut
kehidupannya. Sekecil apapun yang diperbuat, di balik itu semua akan ada hikmah
yang dapat dipetik oleh umat. Dan mungkin itulah yang disinyalir dalam hadis
Nabi, bahwa ulama adalah pewaris para Nabi. Bukan mewarisi harta, dirham dan
dinar, tapi ilmu dan keteladanan.
Kiai yang Nyentrik
KH. Munif Djazuli adalah putra
kelima KH. Achmad Djazuli Usman, pendiri pondok pesantren Al-Falah Ploso
Kediri. Sosok kiai yang selalu terlihat berpenampilan nyentrik. Mungkin itu
yang bisa digambarkan dari seorang KH. Munif Djazuli, yang juga sering
diungkapkan oleh para tokoh. Dari cara berpakaian, mungkin banyak orang yang
menilai bahwa Gus Munif selalu berpenampilan dengan pakaian-pakaian yang juga
selalu mewah. Namun sejatinya, menurut Ning Eva, putri sulung KH. Munif
Djazuli, beliau berpenampilan sedemikian itu bukanlah untuk bermewah-mewahan
saja, tapi di balik itu, agar kita tidak sampai dikecilkan, diremehkan hanya
karena persoalan penampilan saja. Sehingga segala yang beliau kenakan itu tak
lain dan tak bukan adalah untuk ngajeni diri sendiri, agar dalam
berdakwah di tengah masyarakat -apalagi masyarakat elit- maka kita akan tetap
bisa berdakwah bukan sebagai peminta, tapi penyeru agama Allah yang mulia.
Hal ini mengingatkan kita pada
sosok Waliyullah besar yakni Imam Abi Hasan Ali bin abdillah bin Abdil Jabbar
Asy Syadzili. Seorang waliyullah agung pendiri tarekat Syadziliyah yang
terkenal dengan kekayaan hartanya. Bahkan diceritakan 100 keledaipun tak mampu
membawa kunci gudang dan rumahnya karena saking banyaknya. Diceritakan pula
bahwa seorang waliyullah dari Jawa pernah menyuruh seorang santrinya untuk
mengecek kewalian Imam Syadzili. Santri itu disuruh datang ke Maroko dan
bertemu Imam Syadzili. Dia berkata pada Imam Syadzili : “mengapa engkau seorang
waliyullah besar masih mau mengumpulkan harta sedemikian banyaknya?, padahal
trademark seorang waliyullah itu adalah meninggalkan kehidupan mewah dan
memilih kehidupan yang zuhud dan sederhana”.
Pada saat itu Imam Syadzili tak
berkata apa-apa, namun beliau mengajak santri itu untuk menaiki kereta kencana
yang sangat mewah. Diatas kereta kencana itu si santri disuruh memegang gelas
yang berisi penuh dengan air. Dengan gagahnya Imam Syadzili menyopir kereta
kencana itu dengan cepat. Sehingga gelas berisi penuh air yang ada ditangan si
santri tumpah kemana-mana. Setelah selesai keliling kota, giliran Imam Syadzili
yang memegang gelas berisi air penuh, dan si santri yang menyetir kereta kencana
dengan cepat. Namun apa yang terjadi?, meskipun kereta kencana melaju dengan
cepat tetapi gelas yang berisi penuh air yang ada ditangan Imam Syadzili utuh
tk setetespun yang tumpah.
Seusai kejadian itu, sang santri
langsung mencium tangan Imam Syadzili sambil menangis dan berkata : “Maafkan
saya wahai waliyullah, kini aku sadar bahwa kemegahan dunia yang engkau miliki
tidak pernah ada dalam hatimu. Semua hanya untuk kemaslahatan umat saja. Tidak pernah
mengotori hati sucimu sehingga lalai kepada Allah”.
Kiai Munif, juga sosok yang
sangat cerdas, menurut beberapa saksi, termasuk putra-putrinya, beliau itu
menguasai banyak bahasa, mulai Arab, Inggris, Cina, Mandarin, Jepang, Prancis,
Spanyol dan sebagaianya. Entah dari mana beliau belajar bahasa-bahasa dunia
itu, padahal jika dirunut ke belakang riwayat pendidikan beliau, dulu sekolah
rakyat (SR) saja beliau tidak lulus. Kecakapan beliau dengan menggunakan
bahasa-bahasa –yang secara logika hanya bisa dilakukan oleh orang yang pernah
mempelajarinya- membuat banyak kalangan menyebut bahwa Kiai Munif adalah sosok
yang sangat santun dalam berbahasa, tak ayal beliau sering menjadi penengah di
antara keluarganya, selalu bisa menyatukan, memberi jalan tengah yang bisa
diterima oleh semuanya. Hal ini mengigatkan pada mendiang kakaknya, KH Chamim
Djazuli, Gus Miek. Tak pernah diketahui riwayat pendidikannya, tapi
sangat mumpuni dalam keilmuannya, baik ilmu agama maupun ilmu-ilmu lainnya. Mungkin
inilah satu ilmu ladunni yang diberikan Allah SWT kepada Gus Munif.
Dalam berdakwah, beliau juga
sangat nyentrik. Beliau tak pernah membeda-bedakan siapa saja. Semua jika
memang membutuhkan untuk diarahkan, maka akan beliau beri arahan. Diceritakan
dulu, pernah Prabowo, ketua umum partai Gerindra, sempat ingin sowan kepada
Kiai Munif, tapi beliau memberi syarat, Prabowo harus datang sendiri tanpa
pengawal, sebab kebiasaan para pejabat jika ke mana saja selalu diiringi
pengawal. Kemudian Prabowo pun mengiyakan. Tibalah hari, Prabowo sowan pada
kiai Munif. Memang Prabowo datang tanpa pengawal, namun Kiai Munif tidak bisa
dibohongi, beliau tahu bahwa ternyata Prabowo tetap membawa pengawal, hanya
saja dengan cara menyamar, ada pengawal yang menyamar tukang becak, pedagang
dan sebagainya. Akhirnya Prabowo pun meminta maaf pada kiai Munif karena dia
tidak menepati janjinya.
Sosok yang Sederhana
Mungkin banyak yang mengira, KH.
Munif Djazuli, yang selalu berpenampilan stylist, pengampu pondok
pesantren Queen Al-Falah yang begitu besar dan mewah adalah seorang hedonis.
Namun asumsi itu tidaklah benar, karena ternyata beliau adalah sosok yang
sangat sederhana. Bahkan menurut cucu KH Nurul Huda Djazuli, kakak KH MUnif
Djazuli, Agus Nailil Author, KH Munif Djazuli itu tidak memiliki ndalem (rumah).
Beliau dan ketiga belas putranya hanya tinggal dalam sebuah kamar yang letaknya
di antara kamar-kamar para santri. Jadi bukan bentuk rumah yang beliau miliki
untuk tempat tinggal, hanya kamar.
Hingga karena itu, Kiai Munif
menjadi sosok yang lebih banyak menghabiskan waktunya di dalam kamar. Kamar
yang selalu dalam keadaan gelap gulita, tanpa secercah cahaya. Mungkin dalam
keadaan sunyi inilah beliau lebih bisa untuk bertafakur dan mendekat kapada
Allah. Sungguh cermin kehidupan kiai besar yang jauh dari gemerlap dunia.
Dalam hidangan makanan, beliau
juga sangat sederhana. Jangan dibayangkan di meja makan beliau tersaji berbagai
menu makanan, yang ada hanya makanan-makanan sederhana, seadanya yang cukup
untuk penyuplai gizi sebagai bekal ibadah saja. Dan beliau juga menerapkan
hidup sederhana ini ketika menyambut para tamu besarnya. Pernah saat itu mantan
gubernur Jatim Imam Utomo, dan wakil gubernur Jatim saat ini Gus Ipul datang
sowan. Kiai Munif hanya menghidangkan sajian sederhana, makanan yang beliau
beli di depan pondok. Ini tak lain adalah untuk memberikan teladan betapa hidup
itu tidak perlu bermewah-mewahan, cukup apa yang cukup untuk bekal beribadah
saja.
Kesederhanaan ini selalu beliau
tanamkan pada putra-putrinya, melalui cermin kehidupan beliau sehari-hari. Bahkan
sempat ada yang menawarkan pada beliau agar putra-putrinya dibangunkan sebuah
rumah, tapi beliau hanya menjawab, “Biar, sudah saya pasrahkan kepada Allah.”
Bukan karena tidak mampu untuk membangun rumah yang mewah. Bahkan andai ingin
membangun istana beliau akan bisa. Namun beliau lebih memilih hidup sederhana.
Dan mempersembahkan semua harta yang dimiliki hanya untuk umat saja. Bahkan
sampai menutup mata, semua sawah, dan apa yang beliau miliki semua diberikan
kepada orang lain.
Sosok Yang Bersahaja
Untuk mempersembahkan cinta
kasih beliau terhadap sang Ibu, Nyai Radliyah, Kiai Munif –atas saran sang Ibu-
mendirikan pondok pesantren Queen Al-Falah yang terletak di sebelah barat
pondok pesantren induk Al-Falah. Nama Queen sendiri –menurut penuturan Kiai
Munif-diambil dari potongan ayat “quu anfusakum wa ahliikum naroo”.
Namun menurut Ning Eva, nama Queen yang artinya ratu itu, adalah untuk
memuliakan para pemegang Al-Qur’an, memuliakan ibu, para wanita, menjadikannya
ratu. Dan seiring perjalanan waktu, pondok pesantren Queen berkembang menjadi
sebuah pesantren yang menampung santri yang ingin sekolah formal.
Betapa perhatian Kiai Munif
terhadap keluarganya, para putra-putri, sangat luar biasa. Beliau bahkan sering
menyuruh para mufattiys, atau semacam guru privat untuk mengajari
putra-putri beliau. Dalam prinsip beliu, yang paling penting dalam hidup ini
adalah adab, budi pekerti, tata karma. Ilmu atau kepandaian itu nomor sekian.
Sehingga beliau sendiri selalu mencerminkan budi pekerti yang luhur dalam
kesehariannya, sabar, teguh, tidak pernah mengeluh. Bahkan dalam kondisi kritis
–ketika akan dibawa ke rumah sakit Dr. Soetomo Surabaya- dan kebetulan saat itu
satu di antara beberapa keponakan yang mengantarkan lupa tidak memakai peci,
dengan tegas beliau menegur “Wes bosen ta dadi santri?” sontak, semua
pun takut, dan merasa untung bagi yang waktu itu memakai peci. Beliau
benar-benar sangat memperhatikan bagaiamana etika seorang santri, terlebih
keluarganya. Jangan sampai seorang santri melepaskan identitas kesantriannya.
Sungguh, telaga teladan yang tak
akan habis jika kita meminumnya. Terus meneladani seorang kiai, untuk
melanjutkan estafet pewaris para Nabi. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar