Pidana hukuman mati selalu menjadi buah bibir banyak kalangan
setiap kali terpidana mati dieksekusi. Eksekusi mati bagi 6 (enam) terpidana -5 (enam) di antaranya warga negara asing
(WNA)- kasus narkoba pada Minggu, 18 Januari 2015 ini sudah dilaksanakan.
Dan yang lagi hangat-hangatnya adalah masalah 133 terpidana mati dengan rincian
57 orang terkait kasus narkotika, 2 terpidana mati terkait kasus terorisme,
serta 74 terpidana mati terkait kasus pidana umum yang belum dieksekusi. Hingga
kini mereka masih mendekam di beberapa lembaga pemasyarakatan (Lapas).
Mengenai hukuman mati, banyak kalangan yang setuju, namun
tidak sedikit yang menolak. Eksekusi mati yang tetap dipertahankan oleh
pemerintah Indonesia mengundang pro dan kontra. Beberapa pihak menilai hal ini
penting untuk memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Namun tidak jarang
yang menganggap tindakan tersebut sebagai pelanggaran terhadap HAM.
Masih pantaskah hukuman mati tetap dicantumkan dalam
perundang-undangan Indonesia? Manusiawikah pidana mati tetap diterapkan di negeri
ini? Dan bagaimana pandangan agama mengenai pidana mati ini?
Menanggapi hukuman mati yang diberlakukan pemerintah
Indonesia ini, dunia internasional merespon keras bahkan meminta langsung
kepada Presiden Joko Widodo untuk tidak mengeksekusi terpidana dengan hukuman
mati. Seakan dunia dibuat geger, pemerintah negeri Belanda, Australia dan
Brasil pun angkat bicara mengenai hukuman mati di Indonesia.
Kalangan pegiat HAM meminta semua undang-undang yang
melegalkan hukuman mati tidak diberlakukan. Mereka menilai hukuman mati adalah
racun bagi konstitusi dan bertentangan dengan UUD 1945 mengenai hak untuk hidup
dan hak asasi manusia. Ini berarti seluruh produk hukum yang masih mencantumkan
hukuman mati sebagai ancaman pidana harus ditiadakan.
Senafas dengan hal diatas, kalangan Dewan Amnesty
Internasional mengecam kebijakan Presiden
Joko Widodo ini. Kecaman tersebut keluar dari lembaga yang didirikan
pengacara Inggris bernama Peter Benenson
mengingat kampanye Jokowi yang terus
mengedepankan peningkatan Hak Asasi Manusia (HAM). Sedangkan, kebijakannya
untuk menghukum mati sangat bertentangan dengan HAM. Mereka juga mengatakan
bahwa terjadi kemunduruan dalam penegakan dan penghormatan terhadap hak asasi
manusia di Indonesia.
Di lain pihak banyak yang setuju atas penerapan hukuman mati.
Sepanjang pidana mati masih dicantumkan dalam KUHP dan undang-undang, maka
pelaksanaan hukuman tersebut harus dilakukan dan tidak dapat dihindari. Secara
otomatis pula maka perdebatan tentang hukuman mati (death penalty) akan terus berlangsung.
Eksistensi pidana mati
dalam sistem hukum pidana Indonesia tampaknya sulit untuk dihapuskan. Hal ini
setidaknya dapat dibaca dari masih keukeuh-nya
pemerintah Indonesia mencantumkan pidana mati sebagai salah satu bentuk
pemidanaan dalam rancangan KUHP Indonesia. Ditegaskan pula bahwa pidana mati untuk kasus narkoba ini
merupakan tindakan untuk menimbulkan efek jera. Tak hanya itu, organisasi
keagamaan seperti Nahdlatul Ulama pun ikut mendukung kebijakan pemerintah untuk
melegalkan hukuman mati bagi kasus narkoba.
Selain itu, dukungan
dari Dewan Permusyawaratan Rakyat mengenai hukuman mati pun secara resmi
disampaikan. DPR mendukung
kebijakan pemerintah memberlakukan hukuman mati bagi para bandar narkoba.
Mereka mengklaim bahwa ketentuan hukuman mati merupakan hukum positif di
Indonesia untuk kejahatan-kejahatan yang dianggap luar biasa, khususnya
terhadap pembunuh berencana dan berganda, pengedar narkotika kelas kakap dan
teroris. Hal ini membuat cita-cita pegiat HAM untuk menghapus hukuman mati kian
sulit terwujud.
Simalakama
Hukuman Mati
Melihat kondisi diatas, Pemerintah Indonesia seperti sedang
memakan buah simalakama. Jika pidana mati tetap diberlakukan di Indonesia dan
bahkan pemerintah dengan getol menyuarakannya maka reaksi keras dunia
internasional menjadi hal yang perlu diwaspadai. Bahkan tidak mustahil jika
negara-negara yang kontra terhadap kebijakan pidana mati ini akan menyebut
Indonesia sebagai musuh. Sebaliknya, jika pidana mati -terpaksa- dihapuskan maka pemerintah Indonesia akan menghadapi
bahaya laten narkoba yang memang sudah dinyatakan darurat.
Lalu bagaimanakah seharusnya Indonesia berikap? Pertanyaan
inilah yang mungkin bisa sedikit meredakan ketegangan antara pro kontra pidana
mati.
Hukuman mati
di Indonesia akan tetap dipertahankan oleh negara dengan akan munculnya rancangan
perubahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana. Hukuman mati atau pidana mati dalam
rancangan perubahan ini diancam sebagai alternatif terakhir. Meskipun memang
apabila dilihat dari konteks Hak Asasi Manusia merupakan suatu bentuk
pelanggaran, tetapi dikhawatirkan apabila hukuman mati ini dihapuskan akan
terjadi banyak kejahatan yang luar biasa karena kurangnya ketegasan hukum dari
ancaman pidana yang diberlakukan kepadanya.
Dilihat
dari socio legal, Masyarakat pada umumnya menghendaki ancaman
hukuman mati terhadap para pelanggar yang memang benar-benar extra
ordinary, karena masyarakat akan merasakan aman apabila pelaku kejahatan
tersebut sudah tidak ada lagi. Akan tetapi disamping lain pihak keluarga pasti
tidak ada yang mendukung apabila hukuman mati tersebut menimpa salah satu
keluarganya. Jadi dapat disimpulkan bahwa pembatalan hukuman mati hanya
disetujui oleh mereka yang berkepentingan saja sedangkan khalayak umum
menghendakinya karena kejahatan yang secara otomatis mengancam dan merugikan
mereka.
Tapi yang jelas, terlepas dari apakah Anda pro atau kontra
hukuman mati, satu prinsip ini hendaknya jangan sampai dibiarkan hilang. Yaitu
prinsip untuk bersikap tegas dan non-kompromis terhadap kejahatan, terhadap
ketidak-benaran. Pengampunan sama sekali tidak berarti memandang ringan
kesalahan. Pengampunan adalah tindakan awal dalam upaya pertobatan. Tidak ada
pertobatan, tidak ada pengampunan. Yang ada ialah hukuman. Hukuman mati, kalau
pun dijalankan, ia tidak dilaksanakan dengan maksud membunuh. Satu-satunya
tujuan hukuman mati yang sah adalah untuk memelihara dan melindungi kehidupan
dari kejahatan yang mengancamnya.
0 komentar:
Posting Komentar