Minggu ini mungkin menjadi minggu paling
kelabu dalam hidup Abraham Samad. Sehari setelah
KPK menetapkan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka, beredar foto “fitnah”
mirip Abraham terlihat sedang mendekap dan mencium perempuan yang menurut banyak
kalangan adalah Elvira putri Indonesia. Kini Abraham kembali diterpa isu
politik yang mengguncang institusi tempatnya ia berkantor. Pelaksana Tugas
Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan,
Hasto Kristiyanto, mengungkap sebuah kasus pelanggaran pimpinan KPK.
Hasto Kritiyanto menyebutkan bahwa Samad
melakukan aktifitas lobi dengan PDIP untuk bisa maju sebagai calon Wakil
Presiden Jokowi dalam masa pemilihan presiden lalu. Bahkan, Samad, dikatakan
menggunakan alat sadap untuk mengetahui perkembangan terkait pencalonannya
sebagai calon wakil presiden. Jika pernyataan
Hasto ini bisa dipertanggungjawabkan, maka Indonesia tidak hanya wajib mengatakan
darurat narkoba namun juga darurat elit haus kuasa. Rumor tak sedap yang
ditujukan kepada Abraham ini juga bisa dikategorikan tindak pidana korupsi,
minimal korupsi karena telah menggunakan jabatannya untuk “menjual diri”.
Memang, siapa
yang tidak tergiur dengan jabatan? Apalagi jabatan institusi Negara yang
katanya dapat mempercepat status “kaya”. Ya, cinta kekuasaan adalah salah satu
syahwat yang sering menimpa manusia. Bagi orang yang terkena penyakit ini,
kekuasaan, jabatan, dan segala yang mengiringinya merupakan tujuan hidupnya. Segala cara dilakukan tak mempertimbangkan halal
haramnya, bahkan kode etikpun dilanggar.
Masyarakat
awam mungkin melihat kasus Abraham Samad ini sebagai dagelan politik yang
sedang dipertontonkan para elit. Tak sedikit yang menyangka bahwa Abraham Samad
kembali difitnah. Karena sebagai ikon KPK ia telah mempidanakan salah satu
putra terbaik partai penguasa yaitu Komjen Budi Gunawan. Bahkan banyak isu yang
beredar bahwa manuver Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) menetapkan Kepala Lembaga Pendidikan Polisi (Lemdikpol) Komjen
Budi Gunawan sebagai tersangka kasus rekening gendut adalah balas dendam
Abraham Samad terhadap partai penguasa yang mencekal dirinya menjadi Wapres
mendampingi Jokowi. Maklum, PDIP menjadi partai yang paling keras bereaksi
ketika Budi Gunawan batal dilantik karena jadi tersangka di KPK.
Anehnya, si
Macan KPK Abraham Samad memilih untuk sembunyi dan hanya mengutus Deputi
Pencegahan KPK, Johan Budi Sapto Prabowo, untuk menjelaskan tudingan itu. Hal ini
membuat semua orang masih penasaran. Tidak mustahil jika masyarakat percaya
dengan apa yang diungkapkan Hasto Kristiyanto. Logikanya, jika memang Abraham
Samad tidak merasa melakukan apa yang dituduhkan kepadanya, maka harusnya Samad
muncul dan menjelaskan kepada publik akar masalahnya.
Aksi sembunyi
Samad ini memunculkan kesan negative terhadap Abraham Samad. Publik bisa
menggambarkan bagaimana Samad melakukan lobi-lobi politik untuk mengincar
posisi Wakil Presiden. Turut digambarkan pula bagaimana Samad memperjuangkan
posisinya itu sampai Abraham girang saat dikabarkan ada peluang menjadi
pendamping Jokowi. Sayang, ada pihak yang menolak Abraham Samad dan orang
itu adalah Komjen Budi Gunawan. Bisa ditebak,
gara-gara itulah ketegangan Abraham dan PDIP dimulai.
Abraham disebut tak terima dan mengancam membalaskan kemarahannya.
Saya jadi
teringat, dalam salah satu poin dari sepuluh poin nasihat Al-Ghazali terhadap
seorang penguasa Saljuq, bahwa kekuasaan ibarat pisau bermata dua; di satu sisi
bisa menjadi bekal yang sangat bernilai untuk kehidupan di akhirat kelak bagi
pemegangnya jika ia sanggup menggunakan untuk mewujudkan kebaikan dan keadilan
bagi agama dan rakyat. Sebaliknya, hal itu juga bisa menjadi sebuah malapetaka
yang besar bagi pemegangnya jika disalagunakan apalagi untuk kepentingan pribadinya
serta tidak untuk mewujudkan keadilan bagi masyarakat. Terlebih jika dalam
memegang kekuasaan itu, seorang penguasa justru melakukan perbuatan yang
berlawanan dengan nilai-nilai agama.
Oleh sebab
itu, seorang penguasa, menurut Al Ghazali, harus mengetahui betul bahaya dan
manfaat sebuah kekuasaan. Sebab, jika hal itu tidak dicermati dengan
sungguh-sungguh akan menjadi sebuah musibah dan penyesalan tiada akhir di
akhirat kelak.
Berkaitan
dengan masalah Samad ini, tidak ada pilihan lain selain mengusut tuntas masalah
tersebut hingga nyata siapa yang difitnah dan siapa yang memfitnah. Jika Abraham Samad benar, dia harus
mengatakannya kepada publik disertai bukti konkrit tanpa harus sembunyi. Kita
faham bahwa setiap kejahatan akan sirna dengan datangnya kebenaran.
Lain dulu
lain sekarang. Mungkin ungkapan ini cocok dengan keadaan pejabat elit pada hari
ini. Mereka telah terhempas jauh dari tuntunan yang sudah digariskan. Besarnya
gelombang syahwat dan syubhat membuat mereka terpisah jauh dari apa yang diharapkan.
Mereka berpolitik, bukan dengan politik santun ala Umar bin Abdul Aziz. Mereka
mengabdi, bukan dengan etika yang dicontohkan. Akhirnya, kenyataan membiarkan
mereka memilih jalannya sendiri dan memalingkan mereka dari kebenaran, kemana
mereka mau berpaling sebagai hukuman kepada mereka atas kedurhakaannya dan
akibat mereka tidak mau mengikuti aturan.
Jabatan atau kedudukan sebagai pemimpin
memang berkaitan erat dengan fasilitas dan kekuasaan namun itu bukanlah tujuan
pada dirinya, melainkan sarana. Menurut Aristoteles, seorang filosof Yunani
mengatakan tujuan hidup manusia adalah kebahagiaan dan jika sudah mendapat
kebahagiaan maka tidak ada yang diinginkan lagi. Segala hal yang didapat dari
jabatan dan kekuasaan seorang pemimpin memang membawa kepada kebahagiaan dan
kenikmatan (hedonisme) jika memang jabatan itu adalah tujuannya. Namun pola
hidup yang demikian, dimana dengan kekuasaannya hanya mengejar kenikmatan,
dengan keras dikatakan Aristoteles sebagai “pola hidup ternak”. Menurut
Aristoteles, hedonisme menerapkan cara hidup hewani kepada manusia, jadi
manusia yang demikian sama dengan binatang yang memang melakukan apapun
semata-mata demi pencapaian nikmat.
0 komentar:
Posting Komentar