IPNU DULU, KINI DAN AKAN DATANG: Ikhtiyar Menuju Organisasi Pemberdaya Oleh ; Achmad Syauqi
 (1)
Mula-mula ingin saya katakan bahwa IPNU adalah “The main place of regeneration”. Kalimat itu patut disematkan kepada IPNU sebagai tulang punggung kaderisasi NU, sekaligus kaderisasi bangsa.
Betapa tidak! IPNU sejak awal kelahirannya telah mengemban amanat luhur sebagai pengkaderan pelajar yang merupakan basis generasi muda NU. Pada saat bersamaan, secara ideasional diaspora potensi kader diharapkan mampu mewarnai dinamika NU dalam konteks keumatan dan menjadi penentu sejarah bangsa dalam konteks kebangsaan.
Inilah posisi penting IPNU ditengah fluktuasi problematika keumatan dan kebangsaan sejak dulu, sekarang bahkan hingga di masa yang akan datang. Sebab kehadiran IPNU dilandasi oleh kebutuhan hadirnya kader pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang mempunyai kemapanan sikap mental, kearifan perilaku, kecerdasan spiritual, kekayaan khazanah keilmuan dan inovasi tinggi. Kader IPNU adalah para inisiator unggul yang mampu mengkreasi tawaran-tawaran solutif atas problem pendidikan, problem stagnasi kaderisasi maupun dilema sosial kebangsaan yang ada selama ini dan akan datang.
(2)
Sebelum mengeksplorasi lebih lanjut orientasi progresif dan kerangka masa depan organisasi yang kita cintai ini, alangkah baiknya kalau kita menapak-tilasi jejak-jejak historis IPNU untuk mengetahui spirit masa (zeitgeist) dari ruang diskursif generasi IPNU yang berbeda-beda.
Ditilik dari latar historis, semangat berorganisasi dan berkader di IPNU tampak dari cikal bakal kelahirannya. Semenjak adanya Persano (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama) pada 1939, IMNU (Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang pada 1947 dan di Semarang 1950, PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri sampai keberadaan Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama di Bangil. Hingga pada kongres LP Ma’arif di Semarang tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 H, almarhum Tholchah Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama dan satu faham dengan nama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang disingkat IPNU.
Sejak saat itu  IPNU berada dibawah naungan LP Ma’arif. Dan tepatnya di Kongres IV Surabaya tahun 1966, IPNU resmi menjadi badan otonom NU. Pada perkembangan selanjutnya IPNU sempat mengalami peredupan kiprah dan penurunan, karena terimbas oleh despotisme kebijakan pemerintah dan benih totalitarianisme Orde Baru. Hal ini berimplikasi pada akomodasi kepentingan negara untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi dengan merubah akronim ‘pelajar’ menjadi ‘putera’. Perubahan nama itu berkonsekwensi pada perluasan zona garap dan target group yang awalnya spesifik ke ranah pelajar, menjadi lebih makro ke ranah pemuda secara umum. Kondisi semacam itu sekaligus memengaruhi fokus kinerja dan kerangka programatik IPNU secara keseluruhan.
Sehingga amanat Kongres XIII di Makassar pada Maret 2000 menitahkan agar IPNU kembali ke basis pelajar dan santri. Dan secara verbal akronim ‘putera’ pun dikembalikan kepada ‘pelajar’ pada Kongres XIV pada 18-24 Juni 2003 di Surabaya. Hingga saat ini pun, Ikatan ‘Pelajar’ Nahdlatul Ulama mempunyai target group pelajar yang berkorelasi langsung dengan beragam problem pendidikan secara menyeluruh.
(3)
Napak tilas singkat historiografi IPNU diatas telah menjelaskan kepada kita semua bahwa semenjak awal hingga kini dan nanti di masa mendatang, IPNU tetap konsisten, istiqomah dan berkomitmen menjadi ruang dialektika kader-kader pelajar, sekaligus sebagai ‘kawah candradimuka’ kaderisasi generasi masa depan NU.
Positioning semacam ini secara kontinyu dilakoni oleh IPNU, sehingga IPNU sedang dan telah menjadi organisasi pembelajar, meski secara ideal masih membutuhkan berbagai pembenahan disana-sini. Sebagaimana yang sering saya sampaikan, bahwa organisasi pembelajar atau learning organisation adalah organisasi yang tidak hanya menghasilkan produk, tapi juga melakukan peningkatan kualitas diri, terobosan, kreatifitas dan kemampuan multidisipliner.
Harus kita sadari bersama bahwa IPNU saat ini dan di masa mendatang, menghadapi berbagai tantangan yang kian hari kian berat. Dalam berbagai kesempatan tidak jarang saya menyampaikan adanya berbagai tantangan IPNU ke depan, terkait problematitika makro-eksternal seperti liberalisasi ekonomi yang berpengaruh pada kapitalisasi dunia pendidikan, kian merosotnya Human Development Index atau rating kualitas SDM Indonesia dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, maupun kegagapan kita dalam mengadaptasi kemajuan teknologi dan informasi.
Salah satu problem yang tak kalah penting adalah benih radikalisasi agama yang kini sedang menggejala di kalangan pelajar. Penelitian paling mutakhir oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian, menyebutkan 48,9 persen pelajar tingkat SMP dan SMA di Jabodetabek menyatakan siap melakukan kekerasan terkait isu agama dan moral. Fakta ini tentu sangat mencengangkan kita semua.
Berbagai ikhtiar programatik telah dan sedang kita laksanakan untuk menjawab fenomena tersebut. Diantaranya, sejak awal kepengurusan kita di PP IPNU, radikalisme agama merupakan satu mind issue yang secara konsisten kita lawan. Kita telah mendesak pemerintah untuk mencabut dan meninjau ulang SK Menteri Pendidikan Kebudayaan RI Nomor 0209/4/1984 dan Surat Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud tanggal 9 Juni 1980 tentang monopoli OSIS sebagai organisasi pelajar, karena nyata-nyata di dalamnya telah tumbuh subur penanaman benih radikalisme melalui Rohis (rohaniawan Islam). Kita bahkan telah bertemu dengan wakil Presiden Boediono dan menyampaikan desakan untuk segera menyikapi dan bertindak tegas terhadap ancaman radikalisasi di kalangan pelajar. Beragam program empat pilar yang bekerja sama dengan MPR RI juga sedang dalam proses pelaksanaan, sebagai bukti keterlibatan aktif IPNU menopang Pancasila, nasionalisme dan eksistensi NKRI dari rongrongan kaum radikalis.
Selain itu pula, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM kader IPNU, kita sedang menggalakkan pendidikan anak-anak pintar usia SMA agar mempunyai kemampuan ilmu multidisipliner, kepiawaian berorganisasi, mengasah talenta kepemimpinan sekaligus mempunyaisocial and political concern. Upaya itu kita lakukan melalui Beasiswa Pintar. Kita juga telah dan sedang menggalakkan peningkatan kapasitas militansi dan pendalaman materi kaderisasi melalui berbagai workshop kadiresasi dan rencana pembuatan modul kaderisasi, meski hingga kini masih menemui beberapa hambatan. Kita berharap semoga segera tuntas.

(4)
Dialektika programatik yang telah dan sedang kita gagas sesungguhnya menjadi ikhtiyar dan ijtihad organisatoris dalam memerankan diri sebagai learning organisation dan menjawab himpitan tantangan yang kita hadapi saat ini.
Lebih lanjut, tidak sekedar kebutuhan akan learning organisation, di masa mendatang IPNU harus siap menjadi organisasi pemberdaya (empowering organisation), yaitu organisasi yang mampu memberdayakan para kadernya menjadi para kreator, inisiator dan inspirator yang menjalankan roda organisasi ke arah peran-peran profetik-keumatan dan kebangsaan. Ketiga kata: ‘kreator, inisiator dan inspirator’ itulah yang menjadi motor penggerak dinamika organisasi.
Ketiga katab kunci tersebut didalam Empoworing organizationsebagaimana digagas oleh David Gershon dalam The Empowering Organization: Changing Behavior and Development Talent in Organizations, memerlukan sinergi yang baik dari masing-masing kader di dalam organisasi. Setidaknya terdapat lima pilar utama menuju organisasi pemberdaya.
Pertama, tanggungjawab bersama (group responsibility). Tanggungjawab bersama ini mutlak dilakukan melalui sinergi programatik sesuai kewenangan masing-masing.
Kedua, kepercayaan (trust). Ini penting diberdayakan antar masing-masing elemen di dalam organisasi agar terjadi mutualisme pola kerja dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketiga, keseriusan berproses bersama dalam meningkatkan kemampuan diri (personal and group processe skill). Beragam permasalahan dan  tantangan yang dihadapi organisasi harusnya dijadikan alat untuk belajar mencari formula solutif. Jadi kader-kader IPNU akan terbiasa menghadapi masalah dan sekaligus menyelesaikannya dengan cepat dan tepat.
Keempat, pembelajaran dan pengembangan diri (learning and growing). Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi (humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses pembentukan kehidupan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang terkandung dalam salam kebanggaan warga IPNU, “belajar, berjuang, bertaqwa”.
Kelima, saling menjaga (carying). Organisasi akan karut-marut jika kader satu dan lainnya tidak saling menjaga, sebaliknya saling menjegal. Ini artinya, betapapun kuatnya arus politik yang terjadi di dalam organisasi sebagai bagian dari dinamika internal, musti ada kesepakatan bersama sejauhmana koridor politik dilakukan, dan sejauhmana masing-masing kader saling menopang dan menjaga satu dan lainnya.
Nah, kelima poin tersebut diatas menjadi semacam inspirasi dan terapi bagi IPNU untuk melahirkan kader-kader militan, kreator, inisiator dan sekaligus inspirator. Pada akhirnya, empowering organization dapat menjadi peta jalan (road map) bagi proses menuju IPNU yang berdaya, kreatif, inovatif dan inspiratif. Sehingga harapan NU dan harapan bangsa kepada kader-kader IPNU untuk menata masa depan tidak akan sia-sia.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith Thoriq


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top