(1)
Mula-mula ingin saya
katakan bahwa IPNU adalah “The
main place of regeneration”. Kalimat itu patut disematkan kepada
IPNU sebagai tulang punggung kaderisasi NU, sekaligus kaderisasi bangsa.
Betapa tidak! IPNU sejak awal kelahirannya telah
mengemban amanat luhur sebagai pengkaderan pelajar yang merupakan basis
generasi muda NU. Pada saat bersamaan, secara ideasional diaspora potensi kader
diharapkan mampu mewarnai dinamika NU dalam konteks keumatan dan menjadi
penentu sejarah bangsa dalam konteks kebangsaan.
Inilah posisi penting IPNU ditengah fluktuasi
problematika keumatan dan kebangsaan sejak dulu, sekarang bahkan hingga di masa
yang akan datang. Sebab kehadiran IPNU dilandasi oleh kebutuhan hadirnya kader
pemimpin umat dan pemimpin bangsa yang mempunyai kemapanan sikap mental,
kearifan perilaku, kecerdasan spiritual, kekayaan khazanah keilmuan dan inovasi
tinggi. Kader IPNU adalah para inisiator unggul yang mampu mengkreasi
tawaran-tawaran solutif atas problem pendidikan, problem stagnasi kaderisasi
maupun dilema sosial kebangsaan yang ada selama ini dan akan datang.
(2)
Sebelum
mengeksplorasi lebih lanjut orientasi progresif dan kerangka masa depan
organisasi yang kita cintai ini, alangkah baiknya kalau kita menapak-tilasi
jejak-jejak historis IPNU untuk mengetahui spirit masa (zeitgeist)
dari ruang diskursif generasi IPNU yang berbeda-beda.
Ditilik dari latar historis, semangat
berorganisasi dan berkader di IPNU tampak dari cikal bakal kelahirannya.
Semenjak adanya Persano (Persatoean Santri Nahdlatoel Oelama) pada 1939, IMNU
(Ikatan Murid Nahdlatul Ulama) di Malang pada 1947 dan di Semarang 1950,
PARPENO (Persatoean Pelajar Nahdlatoel Oelama) di Kediri sampai keberadaan
Ikatan Pelajar Islam Nahdlatul Ulama di Bangil. Hingga pada kongres LP Ma’arif
di Semarang tanggal 24 Februari 1954/20 Jumadil akhir 1373 H, almarhum Tholchah
Mansyur (Malang), Sofyan Cholil (Jombang), H. Mustamal (Solo) bermusyawarah
untuk mempersatukan organisasi-organisasi tersebut dalam satu wadah, satu nama
dan satu faham dengan nama Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama yang disingkat IPNU.
Sejak saat itu IPNU berada dibawah naungan
LP Ma’arif. Dan tepatnya di Kongres IV Surabaya tahun 1966, IPNU resmi menjadi
badan otonom NU. Pada perkembangan selanjutnya IPNU sempat mengalami peredupan
kiprah dan penurunan, karena terimbas oleh despotisme kebijakan pemerintah dan
benih totalitarianisme Orde Baru. Hal ini berimplikasi pada akomodasi
kepentingan negara untuk menerima Pancasila sebagai asas tunggal organisasi
dengan merubah akronim ‘pelajar’ menjadi ‘putera’. Perubahan nama itu
berkonsekwensi pada perluasan zona garap dan target group yang awalnya spesifik
ke ranah pelajar, menjadi lebih makro ke ranah pemuda secara umum. Kondisi semacam
itu sekaligus memengaruhi fokus kinerja dan kerangka programatik IPNU secara
keseluruhan.
Sehingga amanat Kongres XIII di Makassar pada
Maret 2000 menitahkan agar IPNU kembali ke basis pelajar dan santri. Dan secara
verbal akronim ‘putera’ pun dikembalikan kepada ‘pelajar’ pada Kongres XIV pada
18-24 Juni 2003 di Surabaya. Hingga saat ini pun, Ikatan ‘Pelajar’ Nahdlatul
Ulama mempunyai target group pelajar yang berkorelasi langsung dengan beragam
problem pendidikan secara menyeluruh.
(3)
Napak tilas singkat historiografi IPNU diatas
telah menjelaskan kepada kita semua bahwa semenjak awal hingga kini dan nanti
di masa mendatang, IPNU tetap konsisten, istiqomah dan berkomitmen menjadi
ruang dialektika kader-kader pelajar, sekaligus sebagai ‘kawah candradimuka’
kaderisasi generasi masa depan NU.
Positioning semacam
ini secara kontinyu dilakoni oleh IPNU, sehingga IPNU sedang dan telah menjadi
organisasi pembelajar, meski secara ideal masih membutuhkan berbagai pembenahan
disana-sini. Sebagaimana yang sering saya sampaikan, bahwa organisasi
pembelajar atau learning
organisation adalah
organisasi yang tidak hanya menghasilkan produk, tapi juga melakukan
peningkatan kualitas diri, terobosan, kreatifitas dan kemampuan
multidisipliner.
Harus kita sadari bersama bahwa IPNU saat ini dan
di masa mendatang, menghadapi berbagai tantangan yang kian hari kian berat.
Dalam berbagai kesempatan tidak jarang saya menyampaikan adanya berbagai
tantangan IPNU ke depan, terkait problematitika makro-eksternal seperti
liberalisasi ekonomi yang berpengaruh pada kapitalisasi dunia pendidikan, kian
merosotnya Human Development Index atau rating kualitas SDM Indonesia
dibandingkan dengan negara-negara berkembang lain, maupun kegagapan kita dalam
mengadaptasi kemajuan teknologi dan informasi.
Salah satu problem yang tak kalah penting adalah
benih radikalisasi agama yang kini sedang menggejala di kalangan pelajar.
Penelitian paling mutakhir oleh Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian,
menyebutkan 48,9 persen pelajar tingkat SMP dan SMA di Jabodetabek menyatakan
siap melakukan kekerasan terkait isu agama dan moral. Fakta ini tentu sangat
mencengangkan kita semua.
Berbagai
ikhtiar programatik telah dan sedang kita laksanakan untuk menjawab fenomena
tersebut. Diantaranya, sejak awal kepengurusan kita di PP IPNU, radikalisme
agama merupakan satu mind
issue yang secara
konsisten kita lawan. Kita telah mendesak pemerintah untuk mencabut dan
meninjau ulang SK Menteri Pendidikan Kebudayaan RI Nomor 0209/4/1984 dan Surat
Keputusan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Depdikbud tanggal 9 Juni 1980
tentang monopoli OSIS sebagai organisasi pelajar, karena nyata-nyata di
dalamnya telah tumbuh subur penanaman benih radikalisme melalui Rohis
(rohaniawan Islam). Kita bahkan telah bertemu dengan wakil Presiden Boediono
dan menyampaikan desakan untuk segera menyikapi dan bertindak tegas terhadap
ancaman radikalisasi di kalangan pelajar. Beragam program empat pilar yang
bekerja sama dengan MPR RI juga sedang dalam proses pelaksanaan, sebagai bukti
keterlibatan aktif IPNU menopang Pancasila, nasionalisme dan eksistensi NKRI
dari rongrongan kaum radikalis.
Selain
itu pula, dalam rangka meningkatkan kualitas SDM kader IPNU, kita sedang
menggalakkan pendidikan anak-anak pintar usia SMA agar mempunyai kemampuan ilmu
multidisipliner, kepiawaian berorganisasi, mengasah talenta kepemimpinan
sekaligus mempunyaisocial and political
concern. Upaya itu kita lakukan melalui Beasiswa Pintar. Kita juga
telah dan sedang menggalakkan peningkatan kapasitas militansi dan pendalaman
materi kaderisasi melalui berbagai workshop kadiresasi dan rencana pembuatan
modul kaderisasi, meski hingga kini masih menemui beberapa hambatan. Kita
berharap semoga segera tuntas.
(4)
Dialektika
programatik yang telah dan sedang kita gagas sesungguhnya menjadi ikhtiyar dan
ijtihad organisatoris dalam memerankan diri sebagai learning
organisation dan
menjawab himpitan tantangan yang kita hadapi saat ini.
Lebih
lanjut, tidak sekedar kebutuhan akan learning
organisation, di masa mendatang IPNU harus siap menjadi organisasi
pemberdaya (empowering organisation),
yaitu organisasi yang mampu memberdayakan para kadernya menjadi para kreator,
inisiator dan inspirator yang menjalankan roda organisasi ke arah peran-peran
profetik-keumatan dan kebangsaan. Ketiga kata: ‘kreator, inisiator dan
inspirator’ itulah yang menjadi motor penggerak dinamika organisasi.
Ketiga
katab kunci tersebut didalam Empoworing
organizationsebagaimana digagas oleh David Gershon dalam The
Empowering Organization: Changing Behavior and Development Talent in
Organizations, memerlukan sinergi yang baik dari masing-masing
kader di dalam organisasi. Setidaknya terdapat lima pilar utama menuju
organisasi pemberdaya.
Pertama,
tanggungjawab bersama (group responsibility).
Tanggungjawab bersama ini mutlak dilakukan melalui sinergi programatik sesuai
kewenangan masing-masing.
Kedua,
kepercayaan (trust). Ini penting
diberdayakan antar masing-masing elemen di dalam organisasi agar terjadi
mutualisme pola kerja dalam mencapai tujuan yang diinginkan.
Ketiga,
keseriusan berproses bersama dalam meningkatkan kemampuan diri (personal
and group processe skill). Beragam permasalahan dan tantangan
yang dihadapi organisasi harusnya dijadikan alat untuk belajar mencari formula
solutif. Jadi kader-kader IPNU akan terbiasa menghadapi masalah dan sekaligus
menyelesaikannya dengan cepat dan tepat.
Keempat,
pembelajaran dan pengembangan diri (learning and growing).
Pembelajaran sebenarnya mendapatkan inti artinya untuk menjadi sangat manusiawi
(humanis). Melalui pembelajaran kita dapat melakukan sesuatu yang tidak pernah
dapat kita lakukan sebelumnya. Melalui pembelajaran kita merasakan kembali
dunia dan hubungan kita dengan dunia tersebut. Melalui pembelajaran kita
memperluas kapasitas kita untuk menciptakan, menjadi bagian dari proses
pembentukan kehidupan. Pandangan ini tidak jauh berbeda dengan pesan moral yang
terkandung dalam salam kebanggaan warga IPNU, “belajar, berjuang, bertaqwa”.
Kelima,
saling menjaga (carying).
Organisasi akan karut-marut jika kader satu dan lainnya tidak saling menjaga,
sebaliknya saling menjegal. Ini artinya, betapapun kuatnya arus politik yang
terjadi di dalam organisasi sebagai bagian dari dinamika internal, musti ada
kesepakatan bersama sejauhmana koridor politik dilakukan, dan sejauhmana
masing-masing kader saling menopang dan menjaga satu dan lainnya.
Nah,
kelima poin tersebut diatas menjadi semacam inspirasi dan terapi bagi IPNU untuk
melahirkan kader-kader militan, kreator, inisiator dan sekaligus inspirator.
Pada akhirnya, empowering
organization dapat
menjadi peta jalan (road map) bagi
proses menuju IPNU yang berdaya, kreatif, inovatif dan inspiratif. Sehingga
harapan NU dan harapan bangsa kepada kader-kader IPNU untuk menata masa depan
tidak akan sia-sia.
Wallahul Muwaffiq Ila Aqwamith
Thoriq
0 komentar:
Posting Komentar