TOKOH ; Mbah Mad Sang Maestro Faraidl
Membagi harta warisan sesuai dengan ketentuan syariat tentu tidaklah sulit bagi orang yang benar-benar sudah faham ilmu faraidh. Tetapi, menjadikan semua ahli waris bisa menerima dengan legowo dan marem atas pembagian itu, terlebih ketika terjadi perselisihan diantara mereka, bukanlah perkara mudah, meski oleh seorang kiai sekalipun. Seringkali ahli waris terkesan menerima ketika di muka kiai yang membagikan, namun setelah itu mereka berselisih kembali bahkan kadang perselisihan itu malah lebih meruncing daripada yang semula.
Tetapi hal itu tidaklah sulit bagi Mbah Jipang Batokan. Setiap ada perselisihan warisan, dan beliau dilibatkan untuk membagi dan menyelesaikannya, semuanya terasa menjadi mudah. Semua ahli waris pun bisa menerima dengan lapang dada dan perselisihan selalu berakhir happy ending. Itulah salah satu dari sekian banyak kelebihan beliau.
Konon, keahlian beliau ini tidak lepas dari berkah Mbah Kiai Abdul Karim (Mbah Manaf) Lirboyo, guru utama yang masih terhitung paman beliau sendiri. Suatu hari, saat masih mondok di Lirboyo, beliau dipanggil Mbah Manaf di ndalemnya dan didawuhi: "Besok kamu ngaji ke sini, bawa kitab Syansyuriah Syarh Rahabiyah dan sabak (alat tulis-menulis kuno, semacam papan tulis kecil, mungkin dimaksudkan untuk memberikan latihan-latihan penghitungan)."
Mulai saat itu beliau mendapat pelajaran ilmu faraidh langsung dari Kiai Sepuh Lirboyo, Mbah Manaf itu. Namun uniknya, saat pelajaran itu khatam, tiba-tiba ada tamu dari keluarga berada yang berasal dari daerah sekitar Kediri yang meminta bantuan Mbah Manaf untuk membantu membagikan warisan di keluarganya. Lalu Mbah Manaf mengutus santri kesayangannya ini yang baru mengkhatamkan pelajaran ilmu faraidh untuk mewakili beliau memenuhi permintaan tamunya. Maka berangkatlah Mbah Jipang bersama tamu kiainya ini menuju rumahnya.
Esoknya, dengan wajah berseri-seri, tamu tersebut kembali ke Lirboyo menemui Mbah Manaf untuk mengucapkan terimakasih mewakili keluarganya. Keluarganya sangat gembira dan puas atas kepintaran santri beliau dalam pembagian harta warisan. Tak lupa, tamu itupun memberikan oleh-oleh yang banyak pada Mbah Manaf sebagai ungkapan terimakasihnya.
Setelah tamu itu pamit, Mbah Manaf Lirboyo segera memanggil santri kesayangannya itu dan memberikan semua oleh-oleh tamu itu padanya. Karena oleh-oleh itu diberikan langsung oleh kiainya sendiri, bukan oleh tamu tadi, tentu bukan main senangnya Mbah Jipang. Konon saking banyaknya oleh-oleh itu hingga cukup untuk biaya kebutuhan sehari-hari selama setahun di pondok.
Nama asli Mbah Jipang adalah Muhammad Tholhah. Dengan baju sederhana ala petani atau pedagang sayur dan ikat blangkon di kepala menjadi penampilannya sehari-hari. Bagi yang belum mengenalnya, tentu tidak pernah menyangka di balik penampilan yang sangat sederhana ini, bahwa beliau adalah orang yang sangat alim yang sulit dicari tandinganya, yang begitu dihormati dan disegani oleh kiai-kiai yang sudah mengenalnya. Tidak ada yang tidak mengakui kealiman beliau bagi yang sudah mengenalnya, tak terkecuali Syaikh Masduqi Lasem sekalipun. 
Saat kitab Sirajut Thalibin karya Syaikh Ihsan Dahlan Jampes sudah tersebar luas, Syaikh Masduqi Lasem sering memberikan kritik atas beberapa redaksi yang ada di kitab itu, mulai dari sisi nahwu, sharaf, balaghah dan pengertiannya yang dirasa kurang tepat atau malah mungkin keliru.
Mendengar itu, Mbah Jipang (sebagai sahabat, juga masih terhitung saudara misannya Syaikh Ihsan karena ibu beliau adalah saudari kandung ibu Syaikh Ihsan) berangkat ke Lasem dengan menyaru sebagai penjual pisang menemui Syaikh Masduqi terkait redaksi-redaksi kitab Sirajut Thalibin yang dipermasalahkan. Terjadilah perdebatan seru dan panjang di antara mereka. Hingga setelah selesainya perdebatan itu Mbah Jipang pamit, Syaikh Masduqi mengatakan pada para santrinya: "Aku tas wae kalah debatan je karo bakul gedang ko Kediri" (Saya baru saja kalah berdebat sama penjual pisang dari Kediri). 
Konon nama Jipang adalah nama julukan yang diberikan Mbah Kiai Ma'ruf Kedunglo Kediri (yang masih terhitung paman beliau), singkatan dari Ngajine Gampang. Mungkin karena kecerdasan beliau yang jauh di atas teman-teman beliau pada umumnya, hingga dengan mudah bisa memahami kitab-kitab yang diajarkan. Nama itu menjadi melekat pada diri beliau, orang-orang lebih mengenal nama Mbah Mad Jipang atau Mbah Jipang saja dibanding nama asli beliau.

Mbah Jipang! sebuah nama yang begitu melegenda di Kota Kediri, sebuah nama yang menjadi ikon kecerdasan dan kealiman santri-santri Lirboyo pada masa-masa pra kemerdekaan, sebagaimana Gus Aly Bakar pada masa Orde Baru dan Gus Ishomuddin Hadziq di era Reformasi. Allahu yarhamhum, wallahu a'lam.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top