TOKOH ; Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Beliau dikenal dengan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran dan memfokuskannya atas titik-titik keimanan dalam menafsirkannya. Hal itulah yang menjadikannya dekat di hati manusia, terkhusus metodenya sangat sesuai bagi seluruh kalangan dan kebudayaan sehingga beliau dianggap memiliki kepribadian Muslim yang lebih mencintai dan menghormati Mesir dan dunia Arab. Oleh karena itu beliau diberi gelar Imam ad-Du’at (Pemimpin Para Da’i)

1.    Kelahiran Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Asy-Syaikh al-Imam Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi lahir pada 16 April 1911 M di Desa Daqadus, Distrik Mith Ghamr, Provinsi Daqahlia, Republik Arab Mesir. Di usia yang masih dini, 11 tahun, ia sudah hafal al-Quran.

Sejak kecil selalu dipanggil oleh kedua orangtuanya dengan panggilan “Syaikh al-Amin” (yang amanah). Tidak ada keterangan tentang hal ini, namun boleh jadi karena kecerdasan dan kepolosannya kepada orangtuanya.

2.    Pengembaraan Mencari Ilmu Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Syaikh asy-Sya’rawi semasa kecilnya belajar di Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar, Zaqaziq. Kecerdasannya telah tampak semenjak kecil dalam menghafal syair dan peribahasa Arab. Beliau berhasil meraih ijazah Madrasah Ibtidaiyah al-Azhar pada tahun 1923. Selanjutnya ia melanjutkan pendidikannya ke Madrasah Tsanawiyah di tempat yang sama hingga bertambahlah minatnya dalam syair dan sastra.

Ia mendapatkan tempat khusus di antara rekan-rekannya, hingga terpilih sebagai ketua persatuan mahasiswa dan menjadi ketua perkumpulan sastrawan di Zaqaziq. Diantara rekan-rekan beliau adalah:

1.    Dr. Muhammad Abdul Mun’im Khafaji (Penyair Thahir Abu Fasya)
2.    Prof. Khalid Muhammad Khalid
3.    Dr. Ahmad Haikal 
4.    Dr. Hassan Gad.

Mereka semua adalah guru sekaligus rekan sesama kaum muda yang gandrung dengan sastra Arab. Mereka memperlihatkan kepadanya apa yang mereka tulis. Hal itulah yang menjadi titik perubahan kehidupan Syaikh asy-Sya’rawi.

Ketika orangtuanya ingin mendaftarkan dirinya ke al-Azhar, Kairo, ia ingin tinggal dengan saudara-saudaranya di Zaqaziq demi untuk menekuni dunia tani, sebagaimana keluarga besarnya yang hidup sebagai petani desa. Namun mereka tetap mendesak beliau untuk ke Kairo agar dapat mengeruk ilmu sebanyak-banyaknya dan mengamalkannya sekembalinya ke kampung halaman. Akhirnya tak ada hal yang patut dilakukannya kecuali patuh kepada orangtua dan mewujudkan keinginan mereka. Maka ia pun akhirnya terdaftar di Fakultas Bahasa Arab tahun 1937 M.

Syaikh asy-Sya’rawi tamat dari al-Azhar tahun 1940 M dengan gelar S1. Lalu beliau mendapat izin mengajar pada tahun 1943 M setelah menyelesaikan pendidikan Master of Art. Ia ditugasi mengajar di Thanta, Zaqaziq, dan selanjutnya di Iskandaria.
Setelah masa pengalaman yang panjang di negerinya, Syaikh asy-Sya’râwi pindah ke Arab Saudi pada tahun 1950 M, untuk menjadi dosen syari’ah di Universitas Ummu al-Qurra. Beberapa tahun kemudian, ia kembali ke kampung halamannya.

Di Kairo, ia diangkat sebagai direktur di kantor Syaikh al-Azhar Syaikh Husain Ma’mun, kemudian menjadi duta al-Azhar di Aljazair dan menetap selama tujuh tahun di sana. Setelah itu ia kembali lagi ke Kairo, ditugasi sebagai kepala Departemen Agama Provinsi Gharbiyah dan utusan khusus al-Azhar untuk mengajar di Universitas King Abdul Aziz, Arab Saudi.

Pada bulan November 1976 M, Perdana Menteri Mesir, Mamduh Salim, memilihnya untuk memimpin Departemen Urusan Wakaf dan Urusan al-Azhar. Perannya bagi al-Azhar dan pemerintahan Mesir sungguh luar biasa. Ia seorang ahli agama yang juga sangat handal dalam tata administrasi pemerintahan.

Sekalipun menduduki kedudukan elite dan termasyhur, sikap wara’ dan tawadhunya tidak luntur. Ia juga seorang yang amat pemurah dan menafkahkan gaji yang diperolehnya bagi para pelajar, mahasiswa, hafidz al-Quran dan orang-orang miskin. Bahkan, royalti atas karya-karyanya banyak digunakannya untuk kegiatan-kegiatan sosial seperti membangun sekolah, masjid, memberikan santunan dan sebagainya.

Selain berpengetahuan luas, asy-Sya’rawi juga amat menguasai bahasa dialektika. Kedua kemampuan ini menjadikannya ulama dan muballigh yang handal.

3.    Kepribadian Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Syaikh Asy-Sya’râwi juga amat cinta kepada keturunan Rasulullah Saw. Ia sering berkunjung ke kawasan al-Husain (sebuah wilayah yang banyak didiami dzurriyyah Rasul), rutin berziarah ke makam Sayyidah Nafisah, dan menghadiri majelis Maulid di halaman Masjid al-Husain.

Suatu ketika, dalam sebuah diskusi keagamaan, ia pernah ditanya: “Bagaimana pendapat Tuan tentang ziarah ahlul bait dan para wali yang merupakan kebiasaan orang-orang Mesir khususnya orang-orang dari dusun yang bertabarruk kepada mereka?”

Seraya meletakkan tangannya di dada seolah-olah berbicara tentang dirinya, ia menjawab: “Kami besar sebagai orang dusun. Selama hidup, kami tinggal di lingkungan ahlul bait dan para wali. Orangtua-orangtua kami, datuk-datuk kami, ibu-ibu kami dan saudara-saudara kami semuanya tinggal di serambi para wali. Kami tidak melihat kebaikan kecuali dari mereka. Kami tidak mengetahui ilmu kecuali di tempat-tempat mereka. Kami juga tidak mengenal keberkahan kecuali dengan mencintai mereka.

Kami mencintai mereka karena mereka berhubungan dengan Allah. Kebaikan datang kepada kami dari orang-orang yang sangat kami yakini bahwa mereka berhubungan dengan Allah. Mereka tidak dikenal kecuali oleh orang-orang yang jiwanya menerima manhaj (syari’at) Allah.

Bagaimana mungkin mereka membolehkan berziarah ke kuburan orang-orang Muslim awam tetapi mengharamkan menziarahi mereka yang dikenal sebagai orang shalih! Ziarah kubur itu diperintahkan. Jika hal itu telah dilakukan untuk orang-orang Muslim awam, apakah orang-orang yang telah dikenal atau orang yang baik dikecualikan dari hal itu, lalu diharamkan menziarahi kuburnya karena ia orang baik? Pendapat ini sungguh tidak masuk akal! Anggap sajalah itu seperti kubur-kubur yang lain dan berdzikirlah kepada Allah di tempatnya.

Kita tidak menentang ziarah. Yang kita tentang adalah hal-hal yang tidak benar yang terjadi di dalamnya. Orang-orang yang meminta sesuatu dari mereka dapat kita katakan berbuat syirik. Tetapi jika ia meminta kepada Allah di makam-makam mereka, apa yang harus dilarang?

Demi Allah, seandainya dalam berziarah itu tidak ada hal lain yang didapatkan selain sekadar pertemuan dengan orang-orang yang tunduk di hadapan Allah, itu sudah cukup bagi saya. Seandainya tidak ada yang saya dapatkan di sana selain bertemu orang-orang yang menggunakan dirinya kembali kepada Allah, itu sudah cukup. Saya akan pergi untuk bertemu orang-orang yang meninggalkan dunia dan makan sekali saja dalam sehari.

Orang-orang yang menziarahi Imam Husain, Sayyidah Nafisah, Sayyid Ahmad al-Badawi atau Syaikh Ibrahim ad-Dasuqi, akan malu melakukan maksiat setelah itu. Mungkin juga perasaan malu itu akan terus menyertainya sepanjang hayatnya.”

Setiap hari Jum’at selama 20 tahun di Masjid Arba’in di kampung kelahirannya dan beberapa masjid di Kairo, ia mengisi sebuah majelis bertajuk “Khawathir Sya’rawi”. Ia berceramah dan mengisi pengajian tafsir al-Quran. Kemampuan orasinya mampu memikat pendengarnya yang terdiri dari kalangan masyarakat biasa. Sungguh pun begitu, para pendengar dari kumpulan kaum intelektual sekuler, seperti Syaikh al-Qimani, senantiasa memperhatikan ceramahnya.

Selepas meninggalkan jabatannya dalam kementerian, ia berkhidmat sebagai ulama al-Azhar. Namun dalam penampilan berpakaian, ia enggan memakai pakaian resmi para ulama al-Azhar dan hanya memakai kopiah dan jubahnya.

4.    Keluarga Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Setelah menikah, Syaikh asy-Sya’rawi dikaruniai tiga orang putra dan dua orang putri: Sami, Abdul Rahim, Ahmad, Fathimah dan Shalihah. Baginya, faktor utama keberhasilan pernikahannya adalah ikhtiar dan kerelaan antara suami dan istri. 

Mengenai pendidikan anaknya, ia berkata: “Yang terpenting dalam mendidik anak adalah suri teladan. Seandainya didapatkan suri teladan yang baik, seorang anak akan menjadikannya sebagai contoh. Maka seorang anak harus dicermati dengan baik, dan di sana terdapat perbedaan antara mengajari anak dan mendidiknya.

Seorang anak, jika tidak bergerak kemampuannya dan bersiap untuk menerima dan menampung sesuatu di sekitarnya, artinya, apabila tidak siap telinganya untuk mendengar, kedua matanya untuk melihat, hidungnya untuk mencium, dan ujung-ujung jarinya untuk menyentuh, kita wajib menjaga seluruh kemampuannya dengan tingkah laku kita yang mendidik bersamanya dan di depannya. Oleh karena itu, kita harus menjaga telinganya dari setiap perkataan yang jelek, dan menjaga matanya dari setiap pemandangan yang merusak. 

Kita harus mendidik anak-anak kita dengan pendidikan Islami. Apabila anak melihat kita dan kita mengerjakan yang demikian itu, dia akan mengikutinya, juga yang lainnya. Tapi jika anak itu tidak mengambil pelajaran dalam hal ini, tindakan lebih penting daripada omongan belaka.”

5.    Karya-karya Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Syaikh Muhammad Mutawalli asy-Sya’rawi adalah salah satu ulama terkemuka masa kini. Ia memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan masalah agama dengan mudah dan sederhana dalam karya-karyanya. Karya-karyanya begitu familiar di tengah-tengah masyarakat muslim, baik karya asli maupun terjemahan. 

Ia juga memiliki usaha yang luar biasa besar dan mulia dalam bidang dakwah Islam. Lisannya yang fasih dan metodenya yang bagus dan mudah dalam menafsirkan al-Quran mudah dicerna oleh berbagai lapisan masyarakat Muslim, baik di Mesir, tempat kelahirannya, maupun di berbagai penjuru dunia, sehingga ia diberi gelar Imam ad-Du’at (Imam para Da’i) oleh rekan sejawat sesama ulama di Mesir.

Sebagai seorang ulama yang juga cendekiawan, ia tak hanya fokus dengan dakwah billisan. Ketertarikannya dalam dunia tulis-menulis turut memasyhurkan namanya sebagai ulama penulis handal dan produktif. Beliau juga dijuluki “Mujaddid Abad 20” oleh sebagaian pecinta beliau. Di tengah-tengah kesibukannya dalam aktivitas kepemerintahan dan akademi, Syaikh asy-Sya’rawi masih sempat menelurkan banyak karya diantaranya:

1.    Al-Isra’ wa al-Mi’raj (Peristiwa Isra dan Mi’raj).
2.    Asrar Bismillahirrahmanirrahim (Rahasia di balik kalimat Bismillahirrahmanirrahim).
3.    Al-Islam wa al-Fikr al-Mu’ashir (Islam dan Pemikiran Modern).
4.  Al-Islam wa al-Mar’ah: ‘Aqidah wa Manhaj ( Islam dan Perempuan, Akidah dan Metode).
5.    Asy-Syura wa at-Tasyri’ fi al-Islam (Musyawarah dan Pensyariatan dalam Islam).
6.    Ash-Shalah wa Arkan al-Islam (Shalat dan Rukun-rukun Islam).
7.    Ath-Thariq ila Allah (Jalan Menuju Allah).
8.    Al-Fatawa (Fatwa-fatwa).
9.    Labbayk Allahumma Labbayka (Ya Allah Kami Memenuhi PanggilanMu).
10.    Mi-ah Su-al wa Jawab fi al-Fiqh al-Islam (100 Soal Jawab Fiqih Islam).
11.    Al-Mar’ah Kama Aradaha Allah (Perempuan Sebagaimana yang Diinginkan Allah).
12.    Mu’jizah al-Qur’an Min Faydhi al-Qur’an (Kemukjizatan Al-Quran Diantara Limpahan Hikmah Al-Quran).
13.    Nadzarat al-Qur’an (Pandangan-pandangan Al-Quran).
14.    ‘Ala Ma-idah al-Fikr al-Islamiy (Di Atas Hidangan Pemikiran Islam).
15.    Al-Qadha wa al-Qadar (Qadha dan Qadar).
16.    Hadza Huwa al-Islam (Inilah Islam).
17.    Al-Muntakhab fi Tafsir al-Qur’an al-Karim (Pilihan dari Tafsir Al-Quran Al-Karim).
18.    Al-Hayah wa al-Maut (Hidup dan Mati).
19.    At-Taubah (Taubat).
20.    Adz-Dzalim wa adz-Dzalimun (Dzalim dan Orang-orang yang Dzalim).
21.    Sirah an-Nabawiyyah (Sejarah Kenabian).

Karya-karya beliau dapat dipahami sebagai wujud perpaduan keindahan dan penguasaan sastrawi, fiqh, aqidah, tafsir, hingga permasalahan kontemporer kehidupan Muslimin. Para ulama Mesir mengakui kepiawaiannya di bidang tafsir dan fiqh perbandingan madzhab. Ia juga amat menguasai bahasa dialektika, sehingga Syaikh Ahmad Bahjat dan Syaikh Yusuf al-Qaradhawi menyebutkan Syaikh asy-Sya’rawi sebagai seorang ahli tafsir kontemporer yang dapat menafsirkan ayat-ayat al-Quran dengan uslub (metode) yang mudah dipahami orang umum. Bahasanya lugas dan mudah, tapi mendalam. 

Al-Qaradhawi, muridnya saat belajar di al-Azhar Thantha, memuji gurunya ini sebagai tokoh yang rendah hati dan luas pemikirannya dalam berbeda pendapat. Sementara Syaikh Umar Hasyim, salah satu petinggi al-Azhar, menganggapnya sebagai tokoh yang pantas disebut sebagai salah seorang mujaddid (pembaharu) abad ke-20.

6.    Kewafatan Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Tiga bulan sebelum wafatnya, saat peresmian sebuah masjid di kampungnya, ia berkata: “Semua harta adalah milik Allah Ta’ala, dan setiap apa yang telah diberikan oleh Allah kepadaku akan aku nafkahkan pada jalan Allah. Sesungguhnya aku tidak memiliki apa-apa. Harta dan diriku hanya untuk Allah. Seandainya setiap orang merasa bertanggung jawab pada kampung dan bandar tempat kelahirannya, niscaya tempat itu lebih indah daripada bandar-bandar besar di seluruh dunia. Aku ingin tanah tempat kelahiranku ini yang menimbun jasadku nanti.”

Kerajaan Saudi pernah menawarkan kepadanya tanah pekuburan di Baqi’. Tawaran itu adalah tawaran terhormat bagi seorang ulama Mesir yang banyak jasanya bagi studi Islam di Arab Saudi, yang Wahabi-sentris. Namun, kecintaannya kepada kampung halamannya, Mesir, diungkapkannya: “Tanah kelahiranku lebih layak menerima jasadku hingga ia dapat memelukku ketika aku mati sebagaimana aku memeluknya dan memeliharanya ketika hayatku.”

Pada pagi Rabu 17 Juni 1998 M/22 Shafar 1419 H, Syaikh asy-Sya’rawi kembali ke haribaan Ilahi, dalam usia 87 tahun. Saat pemakamannya, ratusan ribu orang memadati kuburnya di Kampung Daqadus, sebagai penghormatan terakhir bagi ‘allamah besar ini.

7.    Kisah Karomah Asy-Syaikh Muhammad Mutawalli As-Sya’rawi
Pada kisaran tahun 90-an, dalam sebuah Muktamar Tingkat Dunia yang diselenggarakan di Mesir, muncul pertanyaan dari Syeikh Mutawwali Asy-Sya'rawi tentang kemanakah perginya air bekas memandikan jasad Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam. Semua peserta Muktamar yang merupakan para ulama perwakilan dari berbagai negara itu tak ada yang mampu menjawab.

Karena pertanyaan tersebut menarik dan belum pernah dibahas dalam sejarah Islam sebelumnya, maka sang pimpinan Muktamar meminta waktu untuk mencari jawaban tersebut. Beliau berkata bahwa besok beliau akan menemukan jawabannya.
Sepulangnya dari Muktamar, sang pimpinan langsung masuk ke perpustakaan dan membuka seluruh kitab yang ada guna mencari jawaban dari pertanyaan tersebut. Namun setelah semua kitab dibuka, tak ada satupun kalimat yang membahas pertanyaan tersebut. Karena kelelahan, akhirnya beliau tertidur.

Saat tidur itulah beliau bermimpi bertemu dengan Rasulullah Shollallahu 'Alaihi Wasallam yang sedang bersama seorang pembawa lentera. Bak pucuk dicinta ulam pun tiba, beliau menggunakan kesempatan tersebut untuk meminta jawaban yang dicarinya langsung kepada Rasulullah.

Rasulullah memberi isyarat agar beliau bertanya kepada pemegang lentera disampingnya. "Tanyalah kepada Shohibul Qindil (Lentera)." Shohibul Qindil menjawab, "Air tersebut naik ke langit dan turun kembali ke bumi bersama hujan. Setiap tanah yang dijatuhi air tersebut, maka di kemudian hari akan didirikan sebuah masjid."

Keesokan harinya, berdirilah sang pemimpin Muktamar untuk memberikan jawaban tentang perginya air bekas memandikan jasad Rasulullah. Semua yang hadir terkagum-kagum. Syeikh Mutawwali yang mengajukan pertanyaan tersebut, bertanya lagi, "Darimana engkau mengetahuinya?" Sang pimpinan Muktamar menjawab, "Dari seseorang yang saat itu sedang bersama Rasulullah dalam mimpiku semalam." Syeikh Mutawwali bertanya lagi, "Apakah ia membawa Qindil?" "Bagaimana engkau tahu?" Tanya balik sang pimpinan. "Karena akulah Shohibul Qindil tersebut." Jawab Syeikh Mutawwali.

Kisah ini amat masyhur di kalangan ulama, terlebih di Mesir. Sekalipun banyak saksi mata yang menyaksikan langsung peristiwa ini, namun ulama-ulama dari kelompok Wahabi yang kala itu hadir juga, sedikitpun tidak mempercayai kisah ini, kecuali Syeikh Umar Abdul Kafi.

Beliau mengatakan bahwa dirinya telah banyak melihat berbagai karamah dalam diri Syeikh Mutawwali Asy-Sya'rawi, namun beliau enggan mengakuinya karena keyakinan yang dianutnya (faham Wahabi) menolak adanya karamah.

Tapi untuk kali ini, Allah telah menumbuhkan keyakinan dalam dadanya, sehingga beliau termasuk orang yang mempercayai kisah ini. Beliau kemudian keluar dari Wahabi dan masuk ke dalam faham Ahlussunnah Wal Jama'ah.


0 komentar:

Posting Komentar

 
Top