Kadar bobot keimanan seseorang tergantung pada kecintaannya kepada Nabi Nabi Muhammad SAW. Kadar bobot kecintaan pada bangsa, tergantung kecintaannya pada Tanah Air. Bila telah melekat cinta pada bangsa, tidak akan mudah di telinga kita dikorok dan dibenturkan oleh sesama kita. Karena itu kepada segenap umat beragama khususnya umat Muslim untuk merapatkan barisan, jangan berikan celah sedikitpun kepada siapapun yang ingin memecah-belah bangsa ini.

Interpretasi terhadap teks dan nilai-nilai Islam saat ini berada pada ruang kontestasi. Setiap kelompok, dengan rujukan ideologinya masing-masing, berusaha menafsirkan al-Qur’an untuk menyampaikan pesan perjuangan kelompoknya, seraya menegasi tafsir dan pemaknaan teks yang lain. Ruang kontestasi inilah yang sekarang tercipta dan memanggungkan beragam kondisi sosial-politik warga Indonesia mutakhir. Dari ruang inilah, lahir perdebatan tentang terorisme, khilafah, jihad dan keragamaan manusia.

Pada titik ini, Nur Kholish Setiawan, doktor lulusan Orientalisches Seminar der Universitat Bonn dan guru besar UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, berusaha mempribumisasikan teks-teks al-Qur’an yang selama ini diperdebatkan pemaknaannya. Pribumisasi, dalam konteks ini, memberikan wawasan keindonesiaan dalam spirit tafsir al-Qur’an. Konsepsi “pribumisasi” ini pernah dilontarkan Abdurrahman Wahid, dalam memandang perlunya pendekatan sprit nilai-nilai Nusantara, dalam pemaknaan pribumisasi Islam.

Pribumisasi al-Qur’an oleh Nur Kholish Setiawan ini, melanjutkan proyek tafsir yang dilakukan oleh ulama-ulama Nusantara pada era sebelumnya. Misalkan pada karya Tafsir al-Huda oleh Bakri Syahid (w. 1994), Marah Labid Tafsir al-Nawawi atau Tafsir al-Munir (1882-an), Tafsir Basa Jawi dalam huruf Arab karya Saleh Darat (1892-a), dan Tafsir Jalalen Basa Jawi Alus dalam bahasa Arab karya Bagus Arafah (1913).

Dalam menulis gagasannya, Nur Kholis menggunakan paradigma tafsir tematik (tafsir maudhu’i). Tafsir tematik, mengundang banyak sarjana untuk berkontribusi di dalam melengkapi dan menyempurnakan proses kerja dan alur metodologisnya. Amin al-Khuli (w. 1976) menggenapkan dua prinsip metodologis, yakni studi di sekitar al-Qur’an, dirasah ma hawl al-Qur’an, dan studi tentang teks itu sendiri, dirasah fi al-Qur’an nafsih (hal. 17). Dalam penulisan karya ini, Nur Kholis Setiawan menganut gerak ganda, dari teks menuju realitas, atau sebaliknya dari realitas menuju teks. Titik tekan dari upaya penafsiran yang dilakukan dalam buku ini, adalah eksplorasi pemahaman dengan menjadikan ayat al-Qur’an menjadi inspirator (hal. 21).

Buku “Pribumisasi al-Qur’an” ini dibagi dalam beberapa “korasan” (bagian); (1) hak dan kewajiban keluarga-rumah tangga, (2) pernikahan beda agama, (3) persoalan generasi muda dan wirausaha, (4) ketenagakerjaan dan kelompok difabel, (5) miskomunikasi, (6) wilayah dan kedaulatan, (7) kebinekaan dalam budaya, (8) tanggungjawab sosial dan ketahanan bangsa, (9) jihad melawan korupsi, (10) masalah kemiskinan, (11) tentang lingkungan hidup, (13) pencuciang uang (money laundring), (14) perjudian dan prostitusi, serta (15) konsepsi ummatan wasathan dan masa depan kemanusiaan.

Visi keindonesiaan 
Perhatian utama Nurkholish dalam buku ini, pada isu-isu keindonesiaan kontemporer, yang masih memerlukan pemikiran mendalam, semisal kasus korupsi dan ketahanan bangsa. Dalam catatan Nurkholish, hasrat korupsi didasarkan pada hawa nafsu, egoisme dan ketamakan. Al-Qur’an menyebutnya sebagai “hubbu ad-dunnya wa maa fiha”, yang menyebabkan manusia lupa terhadap kehidupan setelah kematian. Nur Kholis Setiawan mengajukan “fiqih antikorupsi” sebagai sebagai fondasi epistemik untuk menyelesaikan kasus korupsi di Indonesia, dari sudut pandang keagamaan (hal. 162-5).

Sedangkan, konsepsi tentang kedaulatan negara, merujuk pada kisah Nabi Daud dan Sulaiman, yang merepresentasikan ketokohan untuk membangun komunitasnya, misalnya dalam ayat al-Qur’an 2:251, 21:79, 34:10, 38:26 dan beberapa ayat lain. Intinya, kedaulatan negara terkait dengan subtansi keragaman masyarakat dalam wilayah keindonesiaan, yang semestinya menjadi kohesi sosial. 

Selanjutnya, pada konteks membangun visi kemanusiaan di Indonesia, Nur Kholis merujuk pada konsepsi ummathan wasathan. Ada dua gelar yang diberikan oleh al-Qur’an kepada umat Rasulullah Saw, yakni khayr ummah (umat terbaik), dalam Q.S Ali ‘Imran (3): 110, dan ummat wasat (umat moderat), dalam Q.S Al Baqarah (2): 142. Dengan gelar yang disandangkan ini, Nabi Muhammad, kala itu mampu mengatasi berbagai persoalan sosial dan politik, hidup di tengah keragaman dengan Yahudi, Nasrani dan umat beragama lain, hingga pada masa berikutnya menjadi pelopor peradaban dunia.

Ayat tentang ummat wasath, turun dalam konteks sejarah persinggungan antar agama pada zaman Nabi Muhammad, yaitu terkait dengan pemindahan kiblat. Sebelum Nabi Muhammad menyeru pesan Islam, kiblat yang dijadikan pedoman kaum sebelumnya adalah Bait al-Maqdis, yang kemudian disempurnakan ke arah Ka’bah. Pada titik inilah, perdebatan berlangsung dalam konteks relasi antara agama. Selain terma ummat wasath, ada konsep sufaha’. Siapakah sufaha’ dalam surat al-Baqarah, ayat 143? Al-Zamakhsari menyebutkan bahwa kata ini merujuk pada orang Yahudi yang mengolok pergantian Ka’bah, orang munafik yang punya kebiasaan mengolok-olok dan orang musyrik. Tentu saja, kritik yang disampaikan tanpa dasar. Penolakan kaum Yahudi, Nasrani dan kelompok lain, berdasar pada kepentingan ekonomi (khawatir karena kepentingan ekonomi di sekitar Ka’bah akan terganggu) dan sosial-politis, karena kontestasi kuasa antara pemuka Arab (hal. 223-9)

Agama, dalam hal ini Islam, diharapkan memberikan sumbangsih bagi penataan masyarakat. Untuk itu, rujukan tatanan yang dijadikan model adalah ummat wasat. Gelar ini tidak melekat begitu saja ketika seseorang telah memeluk agama Islam (hal. 234). Gelar ini bukankah kualitas yang terberi begitu saja, namun perlu diperjuangkan dengan sikap hidup, etos dan prinsip untuk mengaktualisasi nilai-niali Islam yang sejalan dengan visi kemanusiaan Islam maupun pesan perdamaian Nabi Muhammad.

Tafsir tematik (maudhu’i) yang disampaikan Nur Kholish Setiawan dalam buku ini menyiratkan moderatisme dalam beragama. Tafsir keindonesiaan yang disampaikan, berupaya mengintegrasikan pesan al-Qur’an, konteks historis turunnya ayat (asbabun nuzul), hingga relevasi dengan kondisi negeri ini pada zaman sekarang. Visi keindonesiaan yang dianggit oleh Nur Kholish Setiawan pada buku ini penting untuk memberikan pemahaman berimbang, segar dan komprehensif untuk menyampaikan serta memahami ayat-ayat agama, dengan meminggirkan fanatisme dan taklid ideologis yang dapat mereduksi nilai-nilai moral dan spirit keislaman.

Sangat disayangkan manakala generasi bangsa ini mengabaikan, apalagi memilih untuk tidak mempelajari kembali aneka gagasan serta polemik pemikiran yang pernah mengemuka di antara para pendiri bangsa. Mengapa? Sebab mereka (para pendiri bangsa) bukan saja merupakan leluhur kita yang berjasa besar dalam mendirikan negara bangsa (nation state) ini, melainkan juga, sangat boleh jadi pemikiran mereka telah melampaui zamannya hingga dapat diadaptasi dan dimanfaatkan untuk menjawab tantangan zaman kontemporer dan masa depan bangsa dan negara ini. Sebagaimana dengan fenomena missing link (keterputusan hubungan) dalam sejarah manusia purba di Nusantara, fenomena serupa juga dapat terjadi dalam sejarah perjalanan bangsa dan negara ini, tatkala generasi kontemporernya mengabaikan, apalagi memilih untuk tidak mempelajari kembali pemikiran-pemikiran serta polemik pemikiran yang pernah mengemuka di antara para pendiri bangsanya.

Generasi muda Indonesia kontemporer, terutama kalangan para pelajarnya, sangat boleh jadi tidak sedikit yang lebih memahami sejarah hidup dan pemikiran para tokoh legendaris asal luar negeri, ketimbang para tokoh pemikir yang berasal dari negeri sendiri. Misalnya lebih memahami sejarah hidup dan pemikiran Karl Marx, Che Guevara, Antonio Gramsci, dan sebagainya, dibanding sejarah hidup dan pemikiran Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Soetan Sjahrir, dan lain-lain. Lebih mengenali sejarah hidup dan pemikiran Paulo Freire dan Ivan Illych, ketimbang sejarah hidup dan pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari, Dokter Soetomo, Ki Hadjar Dewantara, Kartini, Dewi Sartika, dan sebagainya. Lebih memahami sejarah hidup dan pemikiran Taqiyudin An-Nabhani (pendiri Hizbut Tahrir) dan Hasan Al-Bana (pendiri Ikhwanul Muslimin) dan sebagainya, ketimbang sejarah hidup dan pemikiran Syekh Ahmad Khatib, Hadratus Syekh Hasyim Asy’ari, K.H. Ahmad Dahlan, dan seterusnya.

Tentu tidak ada salahnya, bahkan justru perilaku terpuji manakala generasi bangsa ini mempelajari panorama pemikiran dari berbagai tokoh pemikir dari luar negeri. Namun hal itu akan tampak kurang tepat dan kurang proporsional ketika bersamaan dengan itu, mengabaikan mutiara gagasan dari para tokoh yang berasal dari Nusantara. Kendati pemikiran dapat bersifat universal, namun satu hal jangan dilupakan, bahwa pijakan dan penerapan pemikiran akan sangat bersinggungan dengan locus (tempat) sosial tertentu darimana asal dan untuk kondisi sosial mana gagasan itu diperuntukan. Itu sebabnya, Soekarno mengadaptasi doktrin sosial Islam dan gagasan besar Karl Marx menjadi Marhaenisme. Sebagaimana pernah ditempuh Soekarno dan Mohammad Hatta, cendekiawan muslim Nurcholish Madjid pun getol mendakwahkan perlunya Islam keindonesiaan.

Langkah mengenali sejarah hidup dan pemikiran para pendiri bangsa ini terasa demikian urgen belakangan ini, mengingat bukan saja muncul fenomena sebagian generasi muda bangsa ini yang merasa asing dengan sejarah hidup dan pemikiran para pendiri bangsanya, akan tetapi juga, berdasarkan pertimbangan betapa derasnya kritik terhadap sejarah perjalanan Indonesia yang disinyalir pernah beberapa kali – bahkan tidak menutup kemungkinan justru kini tengah – keluar jalur dari tujuan pembentukannya, baik sebagai nation (bangsa), sebagai state (negara), dan terutama sebagai nation state (negara bangsa).

Harsya W. Bachtiar telah menerangkan perbedaan Indonesia sebagai nation dan Indonesia sebagai state. Sebagai nation, kata Harsya, Indonesia merupakan suatu kesatuan solidaritas kebangsaan, sedangkan sebagai state, Indonesia merupakan suatu organisasi politik. Seseorang merupakan bangsa Indonesia ketika ia menganggap dirinya sebagai bagian dari nation Indonesia, yaitu suatu kesatuan solidaritas dari seseorang terhadap tujuan bersama masyarakat Indonesia, yang tercantum dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 (H.A.R. Tilaar, 2007: 30-31). Dalam menyikapi fenomena tersebut, muncul kalangan yang menggagas perlunya merumuskan kembali kebangsaan Indonesia. Bersamaan dengan itu, ada pula yang mencetuskan pentingnya mempelajari kembali pemikiran para pendiri bangsa, agar terjalin kesinambungan genealogi pemikiran dan perjuangan terus-menerus antar generasi warga negara bangsa ini, demi tercapainya kesadaran sejarah bersama dan tujuan pembentukan NKRI.

Adalah Michel Foucault, yang pernah mempopulerkan konsep genealogi pemikiran. Kemudian dalam sejarah pemikiran Indonesia kontemporer, konsep ini terlihat diadaptasi oleh cendekiawan Yudi Latif, setidaknya, untuk dua karya buku yang telah ditulisnya: “Intelegensia Muslim dan Kuasa: Genealogi Intelegensia Muslim Indonesia Abad ke-20” dan “Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila”. Inti dari konsep genealogi ini adalah mengenali kesinambungan dan ‘dialog’ pemikiran dari satu generasi ke generasi berikutnya. Hal ini bukan saja bermanfaat untuk menjalin ikatan sejarah bersama, melainkan juga mengevaluasi capaian sejarah tiap generasi.

Satu hal patut disadari bersama bahwa para pendiri bangsa ini bukanlah orang-orang dengan kualitas intelektual dan moral kacangan. Pada masanya, bahkan pada masa kini, mereka dapat diibaratkan cahaya dari pelupuk zaman kegelapan yang menerpa Nusantara manakala diterjang Imperialisme dan Feodalisme. Di antara mereka ada yang lahir dari pergulatan pendidikan tradisional keagamaan dan banyak pula yang lahir dari kawah candradimuka pendidikan modern. Di antara mereka ada yang menguasai banyak bahasa internasional, dan tentu saja, mereka berjiwa kuat dengan durabilitas (ketahanan) perjuangan yang berkobar, meski harus mengalami penyiksaan, diasingkan, bahkan pembunuhan.

Satu poin penting lagi jangan diabadikan begitu saja. Sebagian besar di antara para pendiri bangsa dan negara ini merupakan para pembaca buku dan penelusur gagasan yang rakus. Akan tetapi, hebatnya lagi, mereka bukan figur-figur latah dan tukang foto copy gagasan. Dari berbagai karya tulis, paparan lisan, dan jejak-jejak karya mereka, dapat kita simpulkan bahwa mereka adalah figur-figur adaptif dalam menggauli dunia pemikiran dan sejarah. Dalam keseluruhan ciri-ciri kepribadiannya, hampir semua figur pendiri bangsa ini merupakan manusia-manusia otentik, manusia-manusia yang relatif telah mengenali siapa dirinya yang sesungguhnya. Meminjam perkataan Anies Baswedan, mereka adalah orang-orang yang telah selesai dengan urusan pribadinya masing-masing.

Ketika kita tidak mempelajari sejarah hidup dan pemikiran mereka, tidak tertutup kemungkinan, apa yang telah pernah mereka pikirkan dan polemikan malah kita pikirkan dan polemikan ulang. Bagus jika hal itu didekati dengan pendalaman dan pengluasan pemikiran dengan perspektif tambahan yang bersesuaian dengan perkembangan zaman. Akan tetapi bila tidak, misalnya malah sebatas diulas di tataran permukaan dan menyempit dengan miskinnya perspektif, maka hal itu bukan saja menggambarkan tindakan mengulang pekerjaan dengan pendekatan yang lebih buruk sehingga cape dua kali, kalau tidak dapat disebut sebagai tindakan kesia-siaan.

Kita kontemporer tentu setuju untuk mengafirmasi kenyataan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan magnum opus yang sophisticated dari amal perbuatan para pendiri bangsa ini. Dari situ dapat kita simpulkan betapa peran luar biasa canggih telah didedikasikan oleh para pendiri bangsa ini. Manakala menyelidik ke kedalaman fakta suksesnya misi mereka dalam menyatukan geopolitik NKRI dari Sabang sampai Merauke dan dari Pulau Weh hingga Pulau Rote, selain tergambar adanya berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa, juga sesungguhnya tercermin kecanggihan pemikiran, kedalaman rasa, kesungguhan visi dan misi, serta kecerdasan dalam menyusun dan menempuh strategi dan taktik perjuangan para pendiri bangsa.

Di balik keberanian dan ketegasan makna teks proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia, sesungguhnya menggambarkan betapa berani dan tegasnya para pembuatnya. Di balik munculnya nilai-nilai Pancasila sebagai common concensus (konsensus bersama) NKRI dan Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, tersirat kejernihan, kecerdasan, ketegasan, dan rasa rendah hati para penggagasnya. Lebih dari itu, dari para pendiri bangsa ini kita melihat hadirnya manusia otentik dengan gap sangat minimal antara perkataan dan tulisan dengan perbuatannya. Mereka canggih dalam berpikir, namun sederhana dalam bersikap. Mereka relatif jujur dalam berpikir, dan apalagi dalam berbuat.

Tentu saja tulisan ini bukan sekonyong-konyong hendak mengkultuskan (the cult of individuals) figur-figur para pendiri bangsa. Ini hanya senarai luapan apresiasi atau semacam penghargaan terhadap para pendiri bangsa. Lebih daripada itu, tulisan ini diharapkan dapat memantik semangat dan perhatian kita untuk mempelajari kepribadian, sejarah hidup, dan pemikiran para pendiri bangsa ini. Bukankah Bung Karno pernah mengatakan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa-jasa para pahlawannnya? Artinya jika bangsa ini mau besar, maka hargailah para pahlawannya. Selain dengan merawat baik NKRI hingga sampai pada tujuan pembentukannya, ikhtiar menghargai jasa para pahlawan juga dapat ditempuh dengan mengenali identitas dan aneka polemik pemikiran di antara mereka. Tujuannya untuk mempelajari kembali gagasan-gagasannya yang pada akhirnya memperkaya khazanah pemikiran generasi masa kini dan masa depan.

Persamaan sejarah muncul sebagai unsur kebangsaan karena unsur ini merupakan salah satu yang terpenting demi menyatukan perasaan, pikiran, dan langkah-langkah masyarakat. Sejarah menjadi penting karena umat, bangsa, dan kelompok dapat melihat dampak positif atau negatif dari pengalaman masa lalu, kemudian mengambil pelajaran dari sejarah untuk melangkah ke masa depan yang lebih baik dan sejahtera. Sejarah yang gemilang dari suatu kelompok akan dibanggakan anggota kelompok serta keturunannya, demikian pula sebaliknya. Al Qur-an sangat menonjol dalam menguraikan peristiwa sejarah. Bahkan tujuan utama dari uraian sejarahnya adalah guna mengambil i’tibar (pelajaran), guna menentukan langkah berikutnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa unsur kesejarahan sejalan dengan ajaran Al-Quran. Sehingga kalau unsur ini dijadikan salah satu faktor lahirnya paham kebangsaan, hal ini inklusif didalam ajaran Al Qur-an, selama uraian kesejarahan itu diarahkan untuk mencapai kebaikan, kerukunan, kesejahteraan dan kemaslahatan.

Didalam Kitab Suci Al Qur-an terdapat hukum-hukum Alloh yang bertujuan untuk mengatur kehidupan umat manusia dan cinta akan tanah airnya dalam kehidupan berbangsa dan bernegara untuk dapat hidup bahagia, rukun, tentram, damai, makmur, sejahtera dan lain-lain. Mari kita lihat hukum-hukum Alloh sebagai berikut :

PERINTAH ALLOH SWT. UNTUK SALING KENAL MENGENAL
“Hai manusia, sesungguhnya KAMI menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku (bermacam-macam bahasa, bermacam-macam budaya) supaya kamu saling kenal mengenal (saling bersahabat ,saling hormat menghormati, kasih mengasihi, sayang menyayangi, tolong menolong dll.). Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling bertakwa diantara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (QS.49:13).
Jadi sudah sangat jelas dan sangat gamblang sekali bagi seorang muslim yang mau berfikir, merenung, menginsyafi dan melaksanakan hukum Alloh diatas, jelaslah bahwa Alloh menciptakan bermacam-macam bangsa, bermacam-macam suku, bermacam-macam bahasa, bermacam-macam budaya, bermacam-macam keluarga, bermacam-macam individu manusia adalah bertujuan agar satu sama lain saling kenal mengenal, saling belajar, saling bersahabat, saling berdagang, saling kasih mengasihi, saling sayang menyayangi, saling tolong menolong, saling hormat menghormati kepada masing-masing budaya, bahasa dan keyakinan (Yahudi, Nasrani, Budha, Islam dll.) dalam menjalankan kehidupan berbangsa dan bernegara yang sejahtera, damai, makmur dan bijaksana.

PERINTAH ALLOH SWT. UNTUK SALING BERSAHABAT
Orang-orang muslim wajib bersahabat dengan orang-orang non muslim menurut Alloh SWT. Melaksanakan perintah Alloh (QS.58:11 dan QS.49:13) agar bisa mengolah pemberian-pemberian Alloh dengan baik (QS.57:25). Mudah-mudahan Alloh menimbulkan kasih sayang antaramu dengan orang-orang yang kamu musuhi diantara mereka. Dan Alloh adalah Maha Kuasa. Dan Alloh Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS.60:7).

PERINTAH ALLOH SWT. TENTANG KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. dan Allah Sebaik-baik pembalas tipu daya” (QS 8:30).
Tanah air bukanlah milik pribadi, golongan atau agama tertentu. dia adalah milik setiap warga negaranya. Oleh karenanya tidak diperkenankan bagi seseorang mendoktrin yang lainnya, apalagi dalam urusan agama dan keyakinan. Harus bisa menampung semua hal dalam naungan satu tanah air.
Tanah air mengajarimu bahasa, memberikan kebudayaan, menumbuh kembangkan dirimu sesuai kebiasaan dan adat, menanamkan dalam dirimu nilai dan tatanannya. Seorang anak dilahirkan dalam keadaan suci, ia menghabiskan beberapa tahun pertamanya dalam asuhan keluarga, kemudian datang peran tempat tinggal melanjutkan misi kedua orang tua mengajar, mendidik dan membuat mereka beretika. Peran tempat tinggal tidak kalah penting dengan peran keluarga, bahkan merupakan sebuah proses kelanjutan, semenjak anak memasuki sekolah lalu lulus kuliah, kemudian menemukan profesi yang cocok untuknya, semua proses tersebut amat erat hubungannya dengan tempat tinggal anak-anak lainnya secara simbiosis aktif dan mutualisme. Keadaan ini akan terus berlanjut sepanjang kehidupan, apa yang menyengsarakan negrinya akan menyengsarakan dirinya dan sebaliknya. Sambung menyambung antara generasi nenek moyang dan setelahnya tetap ada melintasi kekayaan dan kebudayaan tanah air yang pada umumnya mempunyai corak tersendiri yang membedakannya dengan kebudayaan tempat lain. Adapun perubahan, pencerahan dan keterbukaan terhadap kebudayaan lain terjadi karena adanya interaksi media dan kebudayaan lain, hal itu bisa berlangsung cepat atau lambat.

PERINTAH ALLOH SWT. UNTUK CINTA TANAH AIR
Dan (ingatlah), ketika Ibrahim berdoa: Ya Tuhanku, jadikanlah negeri ini, negeri yang aman sentosa, dan berikanlah rezki dari buah-buahan kepada penduduknya yang beriman diantara mereka kepada Allah dan hari kemudian (QS.2:126)
Nabi Ibrohim berdoa untuk tanah airnya :
a.  Menjadi negeri yang aman sentosa.
b.  Penduduknya Dilimpahi rizqi.
c.  Penduduknya Iman kepada Allah dan hari akhir.
d.  Ini menunjukkan Nabi Ibrohim adalah seseorang yang begitu mendalam Cintanya akan tanah airnya.

Rasa kebangsaan tidak dapat dinyatakan adanya tanpa dibuktikan oleh patriotisme dan cinta tanah air. Cinta tanah air tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Agama, bahkan inklusif didalam ajaran Al Qur-an dan praktek Nabi Muhammad SAW. Hal ini bukan sekadar dibuktikan melalui Hadits Nabi Muhammad SAW. Hubbul Wathan minal Iman (Cinta tanah air adalah bagian dari iman).

Melainkan justru dibuktikan dalam praktek Nabi Muhammad SAW., baik dalam kehidupan pribadi maupun kehidupan bermasyarakat. Ketika Rasulullah SAW. berhijrah ke Madinah, Beliau Sholat menghadap ke Bait Al Maqdis tetapi setelah enam belas bulan rupanya Beliau rindu kepada Makkah dan Ka’bah, karena merupakan kiblat leluhurnya dan kebanggaan orang-orang Arab. Begitu tulis Al-Qasimi dalam tafsirnya. Wajah Beliau berbolak-balik menengadah ke langit, bermohon agar kiblat diarahkan ke Makkah, maka Alloh merestui keinginan ini dengan menurunkan firman-Nya:

Sungguh Kami (senang) melihat wajahmu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjid Al-Haram (QS 2:144).

Cinta Beliau kepada tanah tumpah darahnya tampak pula ketika meninggalkan kota Makkah dan berhijrah ke Madinah. Sambil menengok ke kota Makkah beliau berucap: Demi Alloh, sesungguhnya engkau adalah bumi Alloh yang paling aku cintai, seandainya bukan yang bertempat tinggal disini mengusirku, niscaya aku tidak akan meninggalkannya.

Sahabat-sahabat Nabi Muhammad SAW. pun demikian, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW. bermohon kepada Alloh: Wahai Allah, cintakanlah kota Madinah kepada kami, sebagaimana engkau mencintakan kota Makkah kepada kami, bahkan lebih (HR Bukhari, Malik dan Ahmad).

Memang, cinta kepada tanah tumpah darah merupakan naluri manusia, dan karena itu pula Nabi Muhammad SAW. menjadikan salah satu tolak ukur kebahagiaan adalah “diperolehnya rezeki dari tanah tumpah darah”.

Sungguh benar ungkapan; hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri, lebih senang di negeri sendiri. Bahkan Rasululloh SAW. mengatakan bahwa orang yang gugur karena membela keluarga, mempertahankan harta dan negeri sendiri dinilai sebagai syahid sebagaimana yang gugur membela ajaran Agama, bahkan Al Qur-an menggandengkan pembelaan Agama dan pembelaan negara dalam firman-Nya:

Allah tidak melarang kamu berbuat baik, dan memberi sebagian hartamu (berbuat adil) kepada orang yang tidak memerangi kamu karena agama, dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Alloh menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Alloh hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama, mengusir kamu dari negerimu, dan membantu orang lain mengusirmu (QS 60:8-9).

PERINTAH ALLOH SWT. UNTUK MENGIKUTI JEJAKNYA NABI IBROHIM
Kita umat Islam diperintah mengikuti millah (jejak) Ibrohim : Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan. Dan diantara millah Nabi Ibrohim adalah CINTA TANAH AIR.

PERINTAH ALLOH SWT. UNTUK BERBUAT KEBAIKAN
Pikiran dan perasaan satu kelompok atau umat tercermin antara lain dalam adat istiadatnya, dalam konteks ini kita dapat merujuk perintah Alloh dalam Al Qur-an antara lain:

Hendaklah ada sekelompok diantara kamu yang mengajak kepada kebaikan, memerintahkan yang ma’ruf dan mencegah yang mungkar(QS Ali ‘Imran 3:104).

Jadilah engkau pemaaf; titahkanlah yang ‘urf (adat kebiasaan yang baik), dan berpalinglah dari orang yang jahil (QS Al-A’raf 7:199).

Kata ‘urf dan ma’ruf pada ayat-ayat itu mengacu kepada kebiasaan dan adat istiadat yang tidak bertentangan dengan al-khair, yakni prinsip-prinsip ajaran Islam. Rincian dan penjabaran kebaikan dapat beragam sesuai dengan kondisi dan situasi masyarakat. Sehingga sangat mungkin suatu masyarakat berbeda pandangan dengan masyarakat lain. Apabila rincian maupun penjabaran itu tidak bertentangan dengan prinsip ajaran agama, maka itulah yang dinamai ‘urf/ma’ruf.

Pakar-pakar hukum menetapkan bahwa adat kebiasaan dalam suatu masyarakat selama tidak bertentangan dengan prinsip ajaran Islam dapat dijadikan sebagai salah satu pertimbangan hukum (al-adat muhakkimah). Demikian ketentuan yang mereka tetapkan setelah menghimpun sekian banyak rincian argumentasi keagamaan.

LARANGAN ALLOH SWT. UNTUK TIDAK BERBUAT DISKRIMINASI
Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu jadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Alloh, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum (yahudi, nasrani) mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS.5:8).
Berlaku adil artinya tidak boleh diskriminasi antara orang muslim dan non muslim. Duduk sama rendah tegak sama tinggi. Kalau dalam satu negeri terdapat orang-orang non Islam yang baik-baik maka mereka juga bisa menjadi pemimpin, atau menjadi seorang mentri dalam kabinet. Umat Islam tidak boleh memperlakukan diskriminasi, misalnya karena dia seorang Nasrani maka dia tidak diberi jabatan dalam pemerintahan sedangkan ilmunya memenuhi persyaratan untuk menjadi mentri atau pemimpin.
Jadi tidak ada diskriminasi antara hamba-hamba Alloh yang baik-baik walaupun berbeda keyakinan. Terasa sangat indah sekali apabila hukum Alloh ini benar-benar dijalankan oleh hambaNYA. Sehingga umat manusia dapat hidup damai dan saling bantu membantu dan saling berlomba lomba berbuat kebaikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

SEMUA AGAMA MENYEMBAH HANYA KEPADA TUHAN YANG MAHA ESA (AGAMA TAUHID)
Sesungguhnya agama Alloh adalah satu, yaitu agama ber-Tuhan Yang Maha Esa atau ber-Tauhid, inilah penjelasan dari Alloh kepada Nabi Ibrahim. “Sesungguhnya (Agama Tauhid) ini adalah agama kamu semua (Yahudi, Nasrani dan Muslim) Agama yang satu dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku”. (QS 21:92. QS.23:52).

Jadi semua Agama itu adalah Agama yang Tauhid. Menyembah hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa dan sudah menjadi kewajiban bagi bangsa Indonesia yang sudah memiliki dasar Negara Republik Indonesia (PANCASILA) yang sesuai dengan ajaran Al Qur-an ini, untuk bersyukur, melaksanakan dan menjaganya dengan sekuat tenaga agar tidak sampai dirubah oleh sekelompok orang yang ingin merubahnya dengan pandangan lain. Dan wajib disyukuri untuk dijalankan bahwa tatanan hukum Negeri INDONESIA tercinta ini (UUD 45) juga sesuai dengan ajaran Al Qur-an.

Dari uraian hukum-hukum Alloh diatas terlihat bahwa paham kebangsaan sama sekali tidak bertentangan dengan ajaran Al Qur-an dan Sunnah. Bahkan semua unsur yang melahirkan paham tersebut inklusif dalam ajaran Al Qur-an, sehingga seorang Muslim yang baik pastilah seorang anggota suatu bangsa yang baik. Kalau anggota suatu bangsa terdiri dari beragam agama, atau anggota masyarakat terdiri dari berbagai bangsa, hendaknya mereka dapat menghayati, menginsyafi, menyadari firman Alloh dalam Al Qur-an;

Dan bagi tiap-tiap umat ada kiblat (arah yang ditujunya), dia menghadap ke arah itu. Maka berlomba-lombalah kamu (melakukan) kebaikan dimana saja kamu berada pasti Alloh akan mengumpulkan kamu sekalian. Sesungguhnya Alloh Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 2:148).

Sekiranya setiap muslim mau berfikir, merenung, menginsyafi dan melaksanakan hukum-hukum Alloh diatas maka terjadilah Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang penuh kedamaian dan kesejahteraan, karena Alloh akan menurunkan rezeki yang berlimpah kepada orang yang mengikuti perintah-perintah Alloh dengan sempurna (Orang-orang bertaqwa) lihat (QS.65:2-3).

Semoga penjelasan yang singkat ini tentang bermasyarakat dengan umat non Islam berdasarkan hukum-hukum Alloh ada manfaatnya bagi umat muslim di Indonesia. Kalau benar itu datang dari Alloh hendaklah ditaati untuk dijalankan dan kalau salah itu datang dari saya yang lemah, mohon dimaafkan dan dikoreksi.

Yaa Alloh yaa Tuhan kami, lapangkanlah untuk kami dada kami, mudahkanlah setiap urusan-urusan kami, dan bukalah buhul-buhul lidah kami agar setiap kata yang kami ucapkan mudah dimengerti dan disenangi oleh para pembaca, kepada siapa lagi kami bermohon yaa Alloh kalau bukanlah kepada Mu Yang Maha Berkuasa dilangit dan dibumi ini. Amin.

Marilah kita menuju masyarakat yang bermanfaat di dunia berarti bermanfaat di akhirat. kita bersama-sama berdoa, berpikir dan berikhtiar untuk Kejayaan Negeri INDONESIA RAYA tercinta ini, Bhinneka Tunggal Ika.


Next
Posting Lebih Baru
Previous
This is the last post.

0 komentar:

Posting Komentar

 
Top